|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Makanan untuk Hati |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
(Food for the Heart) oleh Ajahn Chah |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
DAFTAR ISI
Kalahkan ketamakan, kalahkan kebencian, kalahkan kebodohan...
mereka ini merupakan musuh-musuh. Dalam praktik Buddha Dhamma, jalan
Sang Buddha, kita berjuang menggunakan Dhamma, menggunakan ketahanan
kesabaran. Kita berjuang dengan melawan suasana hati kita yang tak
terhitung banyaknya.
Dhamma dan dunia ini saling berhubungan. Di mana ada Dhamma di
sana ada dunia, di mana ada dunia di sana ada Dhamma. Di mana ada
kekotoran-batin di sana ada orang-orang yang menaklukkan kekotoran-batin,
yang berjuang melawan kekotoran-kekotoran batin. Inilah yang disebut
berjuang di dalam batin. Kalau berjuang secara fisik, orang-orang
menggunakan bom dan senapan untuk melempar dan menembak; mereka
menaklukkan dan ditaklukkan. Menaklukkan pihak lain adalah jalan duniawi.
Di dalam pelaksanaan Dhamma, kita tidak perlu menaklukkan pihak lain,
tapi sebaliknya menaklukkan pikiran kita sendiri, dengan sabar menahan
serta melawan semua suasana-hati kita.
Ketika mempraktikkan Dhamma kita tidak menyimpan kemarahan dan
kebencian, tetapi sebaliknya melepaskan semua bentuk itikad-jahat di
dalam perbuatan dan pikiran kita, membebaskan diri kita dari keirihatian,
ketidaksukaan dan kemarahan. Kebencian hanya dapat diatasi dengan tidak
menyimpan kemarahan dan dendam.
Perbuatan-perbuatan yang menyakitkan dan pembalasan dendam
adalah berbeda tetapi sangat berkaitan. Sekali perbuatan telah dilakukan,
tidaklah perlu dibalas dengan dendam dan permusuhan. Itulah yang disebut
'perbuatan'
(kamma).
'Pembalasan'
(vera)
berarti melanjutkan perbuatan itu dengan pikiran 'kamu melakukan hal ini
terhadapku maka aku akan membalasnya padamu'. Jika begini tidak akan ada
akhirnya. Ini menimbulkan pencarian kesempatan untuk selalu membalas
dendam, sehingga kebencian tidak pernah dihapuskan. Selama kita
bertindak rantai tetap tidak akan putus, tidak akan ada akhirnya. Ke
manapun kita pergi, permusuhan tetap berlanjut.
Guru yang Maha Sempurna (Yaitu Sang Buddha) mengajar kepada
dunia, beliau mengasihi semua makhluk. Meskipun demikian dunia tetap
berjalan seperti itu. Yang bijaksana harus mempertimbangkan dan memilih
hal-hal yang memiliki nilai yang benar. Sewaktu Sang Buddha sebagai
pangeran, Beliau telah terlatih dalam berbagai seni berperang, tetapi
Beliau menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak benar-benar berguna,
mereka terbatas hanya dunia dengan peperangan dan agresinya.
Oleh karena itu, dalam melatih diri seperti orang-orang yang
telah meninggalkan kehidupan duniawi, kita harus belajar melepaskan
semua bentuk kejahatan, melepaskan semua hal yang menyebabkan timbulnya
permusuhan. Kita menaklukkan diri kita sendiri, kita tidak mencoba untuk
menaklukkan pihak lain. Kita berperang, tetapi kita hanya memerangi
kekotoran-batin: jika ada ketamakan, kita perangi dia; jika ada
kebencian, kita perangi dia; jika ada kebodohan/khayalan, kita berjuang
untuk melepaskannya. Inilah yang disebut 'Perjuangan Dhamma'. Peperangan
batin ini sangatlah sulit, pada kenyataannya inilah yang tersulit di
antara semuanya. Kita menjadi bhikkhu adalah untuk merenungkan hal ini,
untuk mempelajari seni menaklukkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan/khayalan.
Inilah tanggung jawab utama kita.
Ini adalah peperangan di dalam diri, berperang dengan
kekotoran-kekotoran batin. Tetapi sangat sedikit orang yang berperang
seperti itu. Kebanyakan orang berperang dengan hal-hal lain, mereka
jarang memerangi kekotoran-kekotoran-batin. Mereka bahkan jarang
melihatnya.
Sang Buddha mengajarkan kita agar melepaskan semua bentuk
kejahatan dan mengembangkan kebajikan. Inilah jalan yang benar. Mengajar
dengan cara ini adalah bagaikan Sang Buddha mengambil kita dan
meletakkan kita pada awal dari sang jalan. Setelah sampai pada sang
jalan, terserah pada kita untuk menjalaninya atau tidak. Tugas Sang
Buddha sudah berakhir di situ. Beliau menunjukkan sang Jalan, mana yang
benar dan mana yang salah. Itu sudahlah cukup, selebihnya terserah pada
kita.
Sekarang, setelah Menemui sang jalan, kita masih belum
mengetahui apapun, kita masih belum melihat apapun, jadi kita harus
belajar. Untuk belajar kita harus bersiap-siap mengalami berbagai
kesulitan, sama seperti murid sekolah. Cukup susah untuk mendapatkan
ilmu dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun karir mereka.
Mereka harus bertahan. Jika mereka berpikir salah atau merasa enggan
atau malas, mereka harus memaksa diri mereka sendiri agar bisa lulus dan
mendapat pekerjaan. Begitu pula praktik bagi seorang bhikkhu. Jika kita
memutuskan untuk praktik dan merenungkan, pastilah kita akan menemukan
sang jalan.
Ditthimana
merupakan hal yang membahayakan,
Ditthi
berarti 'pandangan' atau 'pendapat'. Semua bentuk pandangan disebut
ditthi:
melihat kebaikan sebagai kejahatan, melihat kejahatan sebagai kebaikan...
bagaimanapun cara kita memandang sesuatu. Ini bukan persoalannya.
Persoalannya adalah terletak pada kemelekatan terhadap
pandangan-pandangan tersebut, yang disebut
mana;
berpegang pada pandangan-pandangan tersebut seolah-olah mereka merupakan
kebenaran. Inilah yang menyebabkan kita berputar dari kelahiran menuju
kematian, tidak pernah mencapai penyelesaian, hanya karena kemelekatan
itu. Itulah sebabnya Sang Buddha mendorong kita untuk melepaskan
berbagai pandangan.
Jika banyak orang hidup bersama, seperti kita di sini, mereka
tetap dapat praktik dengan nyaman jika pandangan mereka selaras/harmoni.
Tetapi walaupun hanya dua atau tiga orang bhikkhu, akan menghadapi
kesulitan jika pandangan mereka tidak baik atau selaras. Bila kita
merendah-hati dan melepaskan berbagai pandangan kita, biarpun kita
berbanyak, kita datang bersama ke hadapan Sang Buddha, Dhamma, dan
Sangha (Tiga
Permata: Sang Buddha,
Dhamma, Ajaran Beliau, serta
Sangha, Golongan Viharawan, atau
mereka yang telah memahami Dhamma.)
Adalah tidak tepat mengatakan bahwa akan ada perselisihan hanya
karena ada banyak orang di antara kita. Lihatlah si kaki-seribu. Ia
mempunyai banyak kaki, bukan? Dengan melihat padanya, kalian mungkin
berpikir ia akan sulit berjalan, tetapi sesungguhnya tidak. Ia memiliki
aturan dan iramanya sendiri. Begitu pula dalam praktik kita. Jika kita
praktik sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sangha Mulia dari Sang
Buddha, maka semuanya akan mudah. Mereka adalah,
supatipanno
—mereka yang praktik dengan baik;
ujupatipanno
—mereka yang praktik dengan lurus;
ñayapatipanno
—mereka yang praktik untuk mengatasi penderitaan, dan
samicipatipanno
—mereka yang praktik dengan semestinya. Empat sifat ini jika
dikembangkan dalam diri kita akan menjadikan kita anggota Sangha yang
sejati. Meskipun jumlah kita ratusan atau ribuan, tidak peduli berapapun
jumlah kita, kita semua menempuh jalan yang sama. Kita berasal dari
latar belakang yang berbeda-beda, tetapi kita adalah sama. Meskipun
pandangan kita mungkin berbeda-beda, jika kita praktik dengan benar maka
tak akan terjadi perselisihan. Sama seperti semua sungai besar dan kecil
yang mengalir ke laut... begitu mereka sampai ke laut, mereka akan
mempunyai rasa dan warna yang sama. Begitu pula halnya dengan
orang-orang. Bilamana mereka masuk ke dalam arus Dhamma, hanya ada satu
Dhamma. Walaupun mereka berasal dari tempat yang berbeda, mereka selaras
dan menyatu.
Tetapi pemikiran yang menyebabkan semua perselisihan dan
pertentangan disebut
ditthi-mana.
Oleh karena itulah Sang Buddha mengajarkan kita supaya melepaskan
berbagai bentuk pandangan. Jangan biarkan
mana
melekat pada berbagai pandangan yang berbeda di luar relevansinya.
Sang Buddha mengajarkan manfaat dari adanya
sati
—ingatan (Sati:
Biasanya diterjemahkan penuh perhatian, tetapi ingatan merupakan
terjemahan yang lebih tepat untuk kata-kata
'ra-leuk dai' dalam bahasa Thai)
yang terus-menerus. Apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk, atau
berbaring, di manapun kita berada, kita harus memiliki kekuatan ingatan
ini. Jika kita mempunyai
sati
kita bisa melihat diri kita sendiri, kita melihat batin kita sendiri.
Kita melihat 'tubuh yang ada di dalam tubuh', 'batin yang ada di dalam
batin'. Jika kita tidak mempunyai sati kita tidak mengetahui apapun,
kita tidak menyadari apa yang sedang terjadi.
Jati
sati
sangatlah penting. Dengan adanya
sati
yang terus-menerus kita akan mendengarkan Dhamma Sang Buddha pada setiap
saat. Ini adalah karena 'mata melihat bentuk-bentuk' adalah Dhamma; 'telinga
mendengar suara' adalah Dhamma; 'hidung mencium aroma' adalah Dhamma; 'lidah
mencicipi rasa' adalah Dhamma; 'tubuh merasakan sentuhan' adalah Dhamma;
ketika kesan muncul dalam batin, itupun Dhamma. Oleh karena itu orang
yang memiliki
sati
yang terus-menerus selalu mendengar ajaran Sang Buddha. Dhamma selalu
ada di sana. Mengapa? Karena adanya
sati,
karena kita selalu sadar.
Sati
adalah ingatan,
sampajañña
adalah kesadaran-diri. Kesadaran inilah Buddho yang sesungguhnya, Sang
Buddha. Jika ada
sati-sampajañña
maka pemahaman akan mengikutinya. Kita tahu apa yang sedang terjadi.
Ketika mata melihat bentuk-bentuk: apakah ini pantas atau tidak pantas?
Ketika telinga mendengar suara: apakah ini tepat atau tidak tepat?
Apakah membahayakan? Apakah salah, apakah benar? Begitulah seterusnya
terhadap segala sesuatu. Jika kita mengerti maka kita mendengar Dhamma
setiap saat.
Oleh karena itu marilah kita memahami bahwa saat ini juga kita
sedang belajar di tengah-tengah Dhamma. Apakah kita berjalan maju
ataupun mundur, kita bertemu dengan Dhamma —semuanya merupakan Dhamma
jika kita mempunyai
sati.
Bahkan ketika melihat hewan-hewan yang berlarian di hutan, kita dapat
merenungkan, melihat bahwa semua hewan sama seperti kita. Mereka menjauh
dari penderitaan dan mengejar kebahagiaan, sama seperti yang dilakukan
orang. Apapun yang tidak mereka sukai mereka hindari; mereka takut mati,
sama juga seperti orang. Jika kita merenungkan hal ini, kita melihat
bahwa semua makhluk di dunia, begitu pula manusia, memiliki kesamaan
dalam berbagai naluri mereka. Berpikir seperti ini disebut
'bhavana' (Bhavana
berarti 'pertumbuhan' atau
'perkembangan'; tetapi
biasanya digunakan untuk menunjuk cittabhavana, pertumbuhan-batin, atau
panna-bhavana, pertumbuhan kebijaksanaan atau perenungan.
Itulah sebabnya kita harus memiliki
sati.
Jika kita memiliki
sati
kita akan melihat keadaan batin kita. Apapun yang kita pikirkan atau
rasakan kita pasti mengetahuinya. Penguasaan ini disebut
Buddho,
Sang Buddha, ia yang mengetahui... yang mengetahui secara menyeluruh,
yang mengerti dengan jelas dan lengkap. Ketika batin mengetahui secara
lengkap, kita mendapati praktik yang benar.
Jadi cara langsung untuk melakukan praktik adalah memiliki
kesadaran,
sati.
Jika kalian tidak memiliki
sati
selama lima menit, kalian gila selama lima menit, lengah selama lima
menit. Kapan saja kalian kekurangan
sati,
kalian menjadi gila.
Sati
sangat diperlukan. Memiliki
sati
berarti mengetahui diri sendiri, mengetahui kondisi batin dan kehidupan
sendiri. Ini adalah memiliki pengertian dan ketajaman, untuk
mendengarkan Dhamma pada setiap saat. Setelah meninggalkan ceramah sang
guru, kalian tetap mendengar Dhamma, karena Dhamma berada di mana-mana.
Oleh karena itu, kalian semua, pastikan untuk praktik setiap
hari. Apakah sedang malas ataupun rajin, praktiklah yang sama. Praktik
Dhamma tidak dikerjakan dengan mengikuti selera atau suasana-hati
kalian. Jika kalian praktik mengikuti selera, maka itu bukanlah Dhamma.
Jangan bedakan antara siang dan malam, batin sedang tenang atau tidak...
tapi praktiklah.
Semuanya seperti seorang anak yang sedang belajar menulis.
Pertama tulisannya tidak bagus —besar, panjang dan bengkok-bengkok —ia
menulis seperti layaknya anak-anak. Tak lama kemudian dengan latihan
yang terus-menerus, tulisannya menjadi lebih baik. Praktik Dhamma juga
seperti itu. Pada awalnya kalian canggung... kadang tenang, kadang tidak,
kalian tidak mengerti apanya apa. Sebagian orang menjadi kecil hati.
Jangan patah semangat! Kalian harus tetap praktik. Hiduplah dengan usaha,
seperti anak sekolah: dengan bertambahnya usia ia menulis lebih baik.
Dari menulis jelek ia belajar menulis rapi, semuanya karena latihan
sejak masa kanak-kanak.
Praktik kita pun seperti ini. Usahakan untuk memiliki kesadaran
setiap saat: saat berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Jika kita
melakukan semua kewajiban kita dengan lancar dan baik, kita merasa damai.
Jika ada kedamaian dalam pekerjaan kita, kita akan mudah untuk
mendapatkan kedamaian dalam meditasi, karena mereka berjalan beriringan.
Karena itu kerahkanlah usaha. Anda semua harus berjuang untuk mengikuti
praktik. Inilah yang disebut dengan latihan.
Praktek kita ini tidaklah mudah. Kita mungkin mengetahui banyak hal, tetapi masih banyak hal lagi yang tidak kita ketahui. Misalnya, ketika kita mendengar ajaran seperti "ketahuilah jasmani, lalu ketahuilah jasmani dalam jasmani itu"; atau "ketahuilah batin, lalu ketahuilah batin dalam batin itu". Jika kita belum mempraktekkan hal-hal ini, ketika kita mendengar perkataan tersebut kita bisa bingung. Begitu pula dengan vinaya ("Vinaya" adalah istilah umum yang diberikan untuk tata tertib kebhikkhuan, aturan kehidupan viharawan. Secara harfiah "vinaya" berarti "mengantarkan keluar", karena pelaksanaan terhadap aturan ini "mengantarkan keluar dari" perbuatan yang tidak baik, dan diperluas menjadi keadaan-keadaan pikiran yang tidak baik. Sebagai tambahan, ia dapat dikatakan "mengantarkan keluar dari" kehidupan berumah-tangga, dan diperluas menjadi keterikatan terhadap dunia ini). Dahulu saya adalah seorang guru (Ini menunjukkan masa awal dari kebhikkhuan Yang Mulia Achan Chah, sebelum beliau praktek dengan tekun), tetapi hanya sebagai "guru kecil", bukan seorang guru besar. Mengapa saya katakan seorang "guru kecil"? Karena saya tidak praktek. Saya mengajar tentang vinaya tapi saya tidak melaksanakan hal itu. Ini saya sebut guru kecil, guru yang kurang bermutu. Saya katakan "guru yang kurang bermutu" karena ketika sampai pada praktek, saya kurang. Sebagian besar praktek saya sangatlah jauh dari teori, bagaikan saya belum mempelajari vinaya sama sekali. Bagaimanapun, saya ingin menegaskan bahwa dengan pengucapan-pengucapan saja, tidaklah mungkin untuk mengetahui vinaya secara lengkap, karena beberapa hal, apakah kita mengetahui atau tidak, tetaplah merupakan pelanggaran/kesalahan. Ini memang rumit. Namun ditekankan bahwa jika kita belum memahami aturan latihan atau ajaran tertentu, kita harus mempelajari peraturan tersebut dengan penuh semangat dan penuh hormat. Jika kita tidak tahu, kita harus berusaha untuk belajar. Jika kita tidak berusaha, dengan sendirinya itu merupakan suatu pelanggaran/kesalahan. Misalnya, jika kalian ragu-ragu... seandainya di sana ada seorang wanita dan tanpa mengetahui apakah ia seorang wanita atau pria, kalian menyentuhnya (Pelanggaran sanghadisesa kedua, yang berkaitan dengan menyentuh wanita dengan penuh nafsu.). Kalian tidak yakin, tetapi tetap menyentuh... itu tetap salah. Dahulu saya heran mengapa itu salah, tetapi ketika saya merenungkan prakteknya, saya menyadari bahwa seorang pemeditasi harus memiliki sati, ia harus sangat berhati-hati. Apakah ketika berbicara, menyentuh, atau memegang sesuatu, pertama-tama ia harus mempertimbangkan dengan cermat. Dalam hal/kasus ini kesalahannya adalah pada tiadanya sati, atau kurangnya perhatian pada saat itu. Ambil contoh lain, misalnya saat itu pukul sebelas siang tetapi langit berawan sehingga kita tidak bisa melihat matahari, dan kita tidak mempunyai jam. Sekarang seandainya kita memperkirakan saat itu telah lewat tengah hari... kita merasa yakin bahwa saat itu sudah lewat tengah hari... tapi kita tetap akan makan. Kita mulai makan dan kemudian awan berlalu dan kita melihat dari posisi matahari, saat itu baru lewat sebelas siang. Ini tetap merupakan pelanggaran (Menunjuk pelanggaran pacittiya No. 36, memakan makanan di luar waktu yang diizinkan —fajar sampai tengah hari.) Dahulu saya heran, "Eh? Belum lewat tengah hari, mengapa merupakan pelanggaran?" Di sini suatu kesalahan terjadi karena adanya kelalaian, kecerobohan, kita tidak cermat mempertimbangkannya. Ada kekurangan pengendalian diri. Jika ada keraguan dan kita bertindak atas keraguan itu, maka terjadilah pelanggaran dukkata (Dukkata —pelanggaran-pelanggaran karena "perbuatan salah", sekelompok pelanggaran yang paling ringan dalam vinaya yang banyak jumlahnya, parajika —pelanggaran-pelanggaran karena dikalahkan, sejumlah empat, merupakan yang terberat, termasuk dikeluarkan dari Bhikkhu Sangha.) karena bertindak atas dasar keraguan. Kita mengira telah lewat tengah hari yang pada kenyataannya belum. Tindakan makan itu sendiri tidak salah, tetapi ada pelanggaran di sini karena kita ceroboh dan lalai. Jika sudah lewat tengah hari tetapi kita mengira belum, maka terjadi pelanggaran pacittiya yang lebih berat. Jika kita bertindak dengan keraguan, apakah perbuatan itu salah atau tidak, kita tetap melakukan pelanggaran. Jika perbuatan itu sendiri tidak salah maka pelanggarannya lebih sedikit; jika salah maka pelanggaran yang lebih berat sudah kita lakukan. Oleh karena itu vinaya bisa menjadi cukup membingungkan. Pada suatu ketika saya mengunjungi Achan Mun (Yang Mulia Achan Mun Bhuridatto, merupakan Guru Meditasi yang sangat terkenal dan dihormati dari tradisi hutan di Thailand. Beliau mempunyai banyak murid yang sudah menjadi guru, di antaranya Achan Chah. Yang Mulia Achan Mun wafat pada tahun 1949). Saat itu saya baru mulai berlatih/praktek. Saya sudah membaca Pubbasikkha (Pubbasikkha Vannana —"Latihan Dasar" —Penjelasan tentang Dhamma-Vinaya dalam bahasa Thai yang berdasarkan pada Penjelasan-penjelasan dari bahasa Pali; Visuddhi Magga —"Jalan Kesucian" —penjelasan yang mendalam tentang Dhamma-Vinaya oleh Achariya Buddhaghosa.) dan cukup bisa memahaminya. Kemudian saya melanjutkan dengan membaca Visudhi Magga, di mana sang penulis itu menulis tentang Silanidesa (Bagian tentang Peraturan-peraturan/sila), Samadhinidesa (Bagian tentang Pelatihan-Batin/samadhi) dan Paññanidesa (Bagian tentang Kebijaksanaan/paññâ) ...saya merasa kepala saya mau pecah! (Setelah membaca buku itu, saya merasa bahwa semua itu berada di luar kemampuan manusia untuk mempraktekkannya. Tapi kemudian saya merenungkan bahwa Sang Buddha tidak akan mengajarkan sesuatu yang tidak bisa dipraktekkan. Beliau tidak akan mengajarkan dan membabarkannya, karena semua itu tidak akan bermanfaat, baik bagi Beliau sendiri maupun pihak lain. Silanidesa benar-benar sangat teliti, Samadhinidesa lebih dari itu, dan Paññanidesa bahkan jauh lebih dari itu! Saya duduk dan berpikir, "Tampaknya saya tak bisa melanjutkan. Tak ada jalan untuk maju". Sepertinya saya sudah sampai pada jalan buntu. Saat itu saya tengah berjuang dengan praktek saya... dan saya macet. Begitulah, sampai saya mempunyai kesempatan untuk menemui yang Mulia Achan Mun dan bertanya: "Yang Mulia Achan, apa yang harus saya lakukan? Saya baru saja mulai praktek tetapi saya tetap belum mengetahui cara yang benar. Saya mempunyai begitu banyak keraguan dan saya tak dapat menemukan landasan sama sekali dalam praktek saya". Beliau bertanya, "Apakah persoalannya?" "Pada saat berlatih, saya mengambil Visuddhi Magga dan membacanya, tetapi tampaknya itu mustahil untuk dipraktekkan. Isi dari Silanidesa, Samadhinidesa, dan Paññanidesa tampaknya sangat tidak praktis. saya pikir tidak seorang pun di dunia ini yang bisa melaksanakannya, bagian-bagian tersebut begitu mendetail dan cermat. Tak mungkin untuk mengingat setiap urutannya, itu berada di luar kemampuan saya". Beliau lalu berkata kepada saya, "Yang Mulia... memang banyak, itu benar, tetapi sesungguhnya itu hanyalah sedikit. Jika kita harus mencatat setiap aturan dalam Silanidesa itu memang sulit... benar... Tetapi sesungguhnya, apa yang kita sebut Silanidesa adalah berkembang dari batin manusia. Jika kita melatih batin ini untuk memiliki rasa malu dan takut untuk berbuat salah, maka kemudian kita akan terkendali, kita akan berhati-hati...". "Ini akan mengkondisikan kita untuk merasa puas dengan yang sedikit, dengan sedikit keinginan, karena kita tidak mungkin untuk mencari yang banyak. Bila ini terjadi maka sati kita menjadi lebih kuat. Kita bisa memiliki sati setiap saat. Dimanapun kita berada, kita akan berusaha untuk memiliki sati yang cermat. Kewaspadaan akan berkembang. Apapun yang kamu rasa ragu, jangan katakan tentang itu, jangan bertindak atas keraguan. Jika ada sesuatu yang tidak kamu pahami, tanyakanlah kepada guru. Berusaha untuk mempraktekkan setiap aturan tentu akan sangat memberatkan, tetapi kita harus menguji apakah kita siap untuk mengakui kesalahan-kesalahan kita atau tidak". Ajaran ini sangat penting. Tidaklah begitu banyak yang harus kita ketahui dari setiap aturan, jika kita mengetahui bagaimana melatih batin kita. "Semua bahan yang sudah kamu baca muncul dari dalam batin. Jika kamu tetap belum melatih batin untuk memiliki kepekaan dan kejelasan maka akan selalu ragu-ragu. Kamu harus berusaha mengingat ajaran-ajaran Sang Buddha. Milikilah batin yang tenang. Apapun yang muncul yang kamu ragukan, tinggalkanlah itu. Jika kamu benar-benar tidak tahu, janganlah katakan atau lakukan itu. Misalnya jika kamu bingung "Ini salah atau tidak?" —Berarti kamu tidak yakin —maka jangan katakan, jangan bertindak atas dasar itu, jangan tinggalkan pengendalian dirimu". Ketika saya duduk dan mendengarkan, saya merenungkan bahwa ajaran ini sesuai dengan delapan cara untuk menilai kebenaran ajaran Sang Buddha: Ajaran apapun yang membahas tentang pengikisan kekotoran-batin; yang mengantarkan keluar dari penderitaan; yang membahas tentang pelepasan (dari kesenangan-kesenangan inderawi); tentang kepuasan terhadap yang sedikit; tentang kerendahan hati dan tidak mementingkan kedudukan dan status; tentang pengasingan-diri dan penyepian; tentang usaha yang gigih; tentang mudah dirawat... delapan kualitas ini merupakan ciri dari Dhamma-Vinaya, ajaran Sang Buddha yang sejati. Apapun yang bertolak belakang dengan semua itu bukanlah ajaran Sang Buddha. "Jika kita benar-benar tulus kita akan mempunyai rasa malu dan takut terhadap perbuatan salah. Kita akan tahu jika terdapat keraguan di dalam batin kita, kita tak akan bertindak atau berbicara atas dasar itu. Silanidesa hanyalah kata-kata. Misalnya, hiri-ottappa (Hiri —rasa malu, Ottappa —takut akan perbuatan salah. Hiri dan Ottappa merupakan keadaan batin yang positif yang menjadi dasar bagi suara hati yang murni serta keutuhan sila. Mereka muncul berdasarkan pada rasa hormat untuk diri sendiri dan pihak lain.) di dalam buku adalah satu hal, tetapi di dalam batin kita adalah hal lain". Saya memperoleh banyak hal dari mempelajari vinaya kepada Yang Mulia Achan Mun. Ketika saya duduk dan mendengarkan, pemahaman muncul. Jadi, tentang vinaya saya sudah mempelajarinya. Beberapa hari selama pengasingan diri dalam Masa Vassa saya, belajar dari pukul enam petang sampai fajar keesokan hari. Saya cukup memahaminya. Semua faktor apatti (Apatti: istilah untuk pelanggaran dari berbagai kelompok bagi para bhikkhu.) yang tercakup di dalam Pubbasikkha saya catat dalam buku dan simpan dalam tas saya. Saya sungguh-sungguh mengerahkan usaha terhadap hal itu, tetapi selanjutnya secara bertahap saya lepaskan. Itu terlalu banyak. Saya tidak mengetahui mana intisari dan mana perlengkapannya, saya ambil semuanya. Ketika saya memahami lebih sempurna, saya lepaskan itu, karena itu terlalu berat. Saya hanya mengarahkan perhatian pada batin dan secara bertahap melepaskan naskah-naskah. Akan tetapi, saat mengajar para bhikkhu di sini saya tetap memakai Pubbasikkha sebagai standar saya. Selama bertahun-tahun di sini di Wat Ba Pong, hanya saya sendiri yang membacakannya pada kumpulan bhikkhu saat pertemuan. Pada waktu itu saya akan menempati kursi-Dhamma dan terus membacakannya paling tidak sampai pukul sebelas atau tengah malam, beberapa hari bahkan sampai pukul satu atau dua dini hari. Kami sangat berminat. Dan kami berlatih. Setelah mendengarkan pembacaan vinaya kami akan pergi dan merenungkan apa yang sudah kami dengar. Kalian tidak bisa memahami vinaya hanya dengan mendengarkan saja. Setelah mendengarkan kalian harus menguji serta menyelidikinya lebih lanjut. Walaupun saya sudah mempelajarinya selama bertahun-tahun, pengetahuan saya tetap belum sempurna, karena begitu banyak kedwiartian dalam naskah-naskah itu. Sekarang setelah lewat begitu lama dari saat saya mempelajari dari buku-buku, ingatan saya pada berbagai aturan latihan sudah agak berkurang, tetapi tak ada kekurangan dalam batin saya. Ada suatu standar di sana. Tidak ada keraguan, tapi terdapat pemahaman di sana. Saya singkirkan buku-buku itu dan memusatkan perhatian pada pengembangan batin. Saya tidak mempunyai keraguan terhadap aturan latihan (sila) yang manapun. Batin menghargai kebajikan sila, batin tak berani melakukan kesalahan, baik di depan umum maupun secara pribadi. Saya tidak membunuh binatang, bahkan yang kecil sekalipun. Seandainya seseorang, misalnya meminta saya agar sengaja membunuh seekor semut atau rayap, atau melumatnya dengan tangan saya, saya tidak dapat melakukannya, biarpun seandainya mereka akan memberikan banyak uang untuk itu. Hanya seekor semut atau rayap! Bagi saya, kehidupan semut itu lebih berharga daripada uang-uang itu. Akan tetapi, mungkin saya bisa menyebabkan kematiannya, seperti misalnya sesuatu merayap di kaki saya dan saya mengibaskannya. Mungkin ia mati, tetapi ketika saya melihat ke dalam batin tidak ada rasa bersalah di sini. Tidak ada kegoyahan atau keragu-raguan di sini. mengapa? Karena di sana tidak ada kehendak. Silam vadami bhikkhave cetanaham: "Kehendak adalah intisari dari latihan sila". Dengan pertimbangan itu saya melihat tidak ada kehendak untuk membunuh. Suatu saat ketika sedang berjalan saya mungkin menginjak serangga dan ia terbunuh. Pada masa lalu, sebelum saya betul-betul memahami, saya akan bersedih menghadapi kejadian seperti itu. Saya akan berpikir bahwa saya sudah melakukan pelanggaran. "Mengapa? Tidak ada kehendak di sana". "Tidak ada kehendak di sana, tetapi saya kurang berhati-hati!" Saya akan terus gundah dan gelisah. Jadi vinaya ini merupakan sesuatu yang bisa mengganggu para pelaksana Dhamma, tetapi ia juga mempunyai nilai tersendiri, berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh para guru —"Apapun aturan latihan yang belum kamu ketahui harus kamu pelajari. Jika kamu tidak tahu maka kamu harus menanyakannya kepada yang tahu". Mereka sangat menekankan hal ini. Sekarang jika kita tidak mengetahui aturan latihan, kita tidak akan menyadari pelanggaran yang sudah kita lakukan. Sebagai contoh misalnya, seorang Thera pada masa lampau, Achan Pow dari Wat Kow Wong Got di Propinsi Lopburi. Pada suatu hari seorang Maha (Maha: gelar yang diberikan kepada para bhikkhu yang sudah menyelesaikan pendidikan bahasa Pali sampai dengan tahun ke-empat atau lebih.), murid beliau, duduk bersamanya, ketika sekelompok wanita datang dan bertanya, "Luang Por! Kami ingin mengajak Anda berpiknik bersama kami, maukah Anda ikut?" Luang por Pow tidak menjawab. Si Maha yang duduk di dekat beliau menduga bahwa Yang Mulia Achan Pow tidak mendengar, sehingga ia berkata, "Luang Por, Luang Por! Apakah Anda dengar? Kelompok wanita ini mengundang Anda untuk pergi berpiknik". Beliau menjawab, "Saya dengar". Para wanita itu bertanya lagi, "Luang Por, Anda mau ikut atau tidak?" Beliau tetap duduk di sana tanpa menjawab, sehingga tak terjadi apapun dari undangan ini. Ketika mereka pergi, Maha berkata, "Luang Por, mengapa Anda tidak menjawab wanita-wanita itu?" Beliau berkata, "Oh Maha, tidakkah kamu mengetahui aturan ini? Mereka yang tadi datang kemari adalah kaum wanita. Jika kaum wanita mengajakmu pergi janganlah kamu setujui. Jika mereka berunding sendiri di antara mereka, itu baik. Jika saya mau pergi, saya bisa, karena saya tidak mengambil bagian dalam perundingan itu". Si Maha duduk dan berpikir, "Oh, saya telah bertindak bodoh". Vinaya menyebutkan bahwa membuat perundingan dan pergi bersama dengan kaum wanita, walaupun tidak hanya berdua, merupakan pelanggaran pacittiya. Kita ambil kasus lain lagi. Umat awam akan mempersembahkan uang di atas baki kepada Y.M. Achan Pow. Beliau akan mengulurkan kain penerima (Sehelai "kain penerima" merupakan kain yang dipakai oleh para bhikkhu Thai untuk menerima sesuatu dari kaum wanita, dari siapa mereka tidak menerima sesuatu secara langsung. Yang Mulia Achan Pow menarik tangan beliau dari kain penerima, menunjukkan bahwa beliau sesungguhnya tidak menerima uang itu.), dan memegangnya di satu ujung. Tetapi ketika mereka memindahkan dari baki ke kain, beliau akan menarik tangannya dari kain itu. Selanjutnya beliau akan meninggalkan uang itu di tempatnya. Beliau tahu ia di situ, tetapi beliau tidak peduli, hanya bangun dan pergi, karena di dalam vinaya dikatakan bahwa jika seseorang tidak menerima uang tidaklah perlu melarang umat awam untuk mempersembahkannya. Jika ia memiliki keinginan terhadapnya, ia harus memberitahu mereka. Jika kamu memiliki keinginan terhadapnya, kamu harus melarang mereka mempersembahkan sesuatu yang tidak diizinkan. Akan tetapi, seandainya kamu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadapnya (uang itu), hal itu tidak perlu dikatakan. Cukup kamu meninggalkannya di sana dan pergi. Walaupun Achan Pow dan para murid beliau hidup bersama selama bertahun-tahun, beberapa murid beliau tetap tidak memahami praktek Achan Pow. Ini sungguh keadaan yang menyedihkan. Untuk saya sendiri, saya menyelidiki dan memperhatikan berbagai pokok praktek yang lebih halus dari Yang Mulia Achan Pow. Vinaya bahkan bisa menyebabkan beberapa orang lepas jubah. Ketika mereka mempelajarinya, semua keragu-raguan muncul. Ia segera melihat masa lalunya... "Penahbisan saya, apakah sudah tepat (Ada aturan yang tepat dan rinci berkenaan dengan prosedur penahbisan yang jika tidak diikuti bisa menyebabkan penahbisan itu cacat.)? Apakah guru penahbis saya bersih? Tak seorang pun bhikkhu yang menghadiri penahbisanku mengetahui seluk-beluk vinaya, apakah mereka duduk pada jarak yang benar? Apakah pembacaan parittanya sudah betul?" Keraguan ini terus bergulir... "Tempat di mana saya ditahbiskan, apakah sudah tepat? Tempat itu begitu kecil..." Mereka meragukan segala sesuatu dan akhirnya jatuh ke dalam neraka. Jadi sampai kalian mengetahui bagaimana cara menjangkarkan batin kalian, itu benar-benar sulit. Kalian harus sangat tenang, kalian tidak boleh hanya menyela. Tetapi menjadi sangat tenang sehingga kalian sama sekali tidak peduli, juga salah. Saya begitu bingung sehingga hampir lepas jubah karena saya melihat banyak kesalahan dalam praktek saya serta beberapa dari guru saya. Saya gelisah dan tak bisa tidur karena berbagai keraguan. Semakin banyak saya ragu, semakin banyak saya bermeditasi, semakin banyak saya praktek. Dimana pun keraguan muncul, tepat di sana pula saya praktek. Kebijaksanaan timbul. Keadaan mulai berubah. Sungguh sulit untuk menjabarkan perubahan yang terjadi ini. Batin berubah sampai tidak terdapat keraguan lagi. Saya tidak tahu bagaimana ia berubah, seandainya saya harus mengatakannya kepada seseorang, mereka mungkin tidak bisa memahaminya. Jadi saya merenungkan ajaran paccattam veditabbo viññuhi —yang bijaksana harus mengetahui untuk dirinya sendiri. Itu haruslah menjadi pengetahuan yang muncul melalui pengalaman langsung. Mempelajari Dhamma-Vinaya tentunya betul, tetapi jika hanya belajar, itu masih ada yang kurang. Jika kalian langsung praktek, kalian mulai meragukan segala sesuatu. Sebelum saya mulai praktek saya tidak tertarik pada pelanggaran kecil, tetapi ketika saya mulai praktek, bahkan berbagai pelanggaran dukkata menjadi sepenting pelanggaran parajika. Pada awalnya, pelanggaran dukkata tampak sepele, hanya sesuatu yang tidak berarti. Begitulah saya menilai mereka. Mungkin di petang hari kalian dapat mengakui kesalahan tersebut dan itu bisa dilakukan. Dan kemudian kalian bisa melanggar lagi. Pengakuan semacam ini tidaklah tulus, karena kalian tidak menghentikannya, kalian tidak memutuskan untuk berubah. Tidak ada pengendalian diri, kalian harus melakukannya lagi. Tidak ada pemahaman terhadap kebenaran, tidak ada pelepasan. Sebenarnya, menurut kebenaran sejati, tidaklah perlu menjalankan kebiasaan rutin berupa pengakuan kesalahan/pelanggaran. Jika kita melihat batin kita bersih dan tidak ada tanda keraguan, maka pelanggaran itu gugur tepat di situ. Bahwa kita belum bersih adalah karena kita masih ragu, kita masih goyah. Kita belum sepenuhnya bersih sehingga kita tidak dapat melepaskannya. Kita tidak melihat diri kita sendiri, itulah permasalahannya. Vinaya kita bagaikan pagar untuk menjaga kita dari melakukan kesalahan, jadi itu merupakan sesuatu yang kita perlukan agar kita menjadi teliti dan hati-hati. Jika kalian tidak melihat nilai sejati dari vinaya bagi diri sendiri, maka itu akan sangat sulit. Bertahun-tahun sebelum saya datang ke Wat Ba Pong saya memutuskan untuk tidak terikat pada uang. Saya sudah memikirkannya selama dalam pengasingan diri selama Masa Vassa. Akhirnya saya ambil dompet saya dan menemui seorang Maha yang saat itu berdiam bersama saya, meletakkan dompet itu di hadapannya. "Maha, ambillah uang ini. Mulai saat ini dan seterusnya, selama saya masih menjadi seorang bhikkhu, saya tak akan menerima atau menyimpan uang. Anda dapat menjadi saksi saya". "Simpanlah Yang Mulia, mungkin Anda memerlukannya untuk keperluan belajar" ...Si Maha tidak tertarik untuk mengambil uang itu, ia merasa dipersulit... "Mengapa Anda ingin membuang semua uang ini?" "Anda tidak perlu mencemaskan saya. saya sudah mengambil keputusan. Saya putuskan tadi malam". Sejak saat ia menerima uang itu tampaknya terdapat jurang di antara kami, kami tak dapat saling memahami lagi. Ia tetap menjadi saksi saya sampai hari ini. Sejak hari itu saya tidak menggunakan uang atau terlibat dalam jual beli. Saya telah mengendalikan diri terhadap uang dalam berbagai segi. Saya selalu waspada terhadap perbuatan salah, walaupun saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya mempertahankan latihan meditasi di dalam batin. Saya sudah tidak memerlukan kekayaan, saya memandangnya sebagai racun. Apakah kalian memberikan racun pada manusia, anjing atau yang lainnya, tanpa kecuali itu menyebabkan kematian atau penderitaan. Jika kita melihat dengan jelas seperti ini kita akan selalu menjaga diri untuk tidak mengambil "racun" itu. Jika kita jelas melihat bahayanya, tidaklah sulit untuk melepaskannya. Mengenai masakan dan makanan yang dibawa sebagai persembahan/dana, jika saya meragukannya saya tak akan menerimanya. Tidak peduli betapa lezat atau nikmatnya masakan itu, saya tak akan memakannya. Ambil contoh sederhana, seperti asinan ikan mentah. Seandainya kalian hidup di hutan dan kalian pergi berpindapata dan hanya mendapatkan nasi dan sedikit asinan ikan yang dibungkus daun. Ketika kalian kembali ke kuti, membuka bungkusan itu dan kalian dapati bahwa itu adalah asinan ikan mentah... maka buanglah itu (Vinaya melarang para bhikkhu untuk makan daging atau ikan mentah.)! Memakan nasi putih lebih baik daripada melanggar aturan. Semuanya haruslah seperti ini sebelum kalian dapat mengatakan bahwa kalian benar-benar telah paham, maka kemudian vinaya menjadi lebih sederhana. Jika bhikkhu-bhikkhu lain ingin memberikan kebutuhan-kebutuhan kepada saya seperti mangkuk, alat pencukur atau yang lainnya, saya tak akan menerimanya, kecuali saya mengetahui bahwa mereka merupakan teman praktek dengan standar vinaya yang sama. Mengapa tidak? bagaimana kalian bisa mempercayai seseorang yang tidak mengendalikan diri? Mereka bisa melakukan hal-hal apa saja. Para bhikkhu yang tiak mengendalikan diri tidak melihat nilai vinaya, jadi mungkin saja mereka mendapatkan barang-barang tersebut dengan cara yang tidak pantas. Saya benar-benar mencermati hal itu. Sebagai akibatnya, beberapa teman bhikkhu saya tidak setuju pada saya... "Ia tak mau bergaul, ia tidak mau membaur..." Saya tidak goyah, saya pikir: "Pasti, kita akan berbaur ketika kita telah mati". Saya berpikir, "bilamana telah mati, kita semua berada dalam kapal yang sama". Saya hidup dengan kesabaran. Saya adalah orang yang sedikit bicara. Jika pihak lain mengkritik praktek saya, saya tidak goyah. Mengapa? Karena biarpun saya menjelaskannya kepada mereka, mereka tak akan mengerti. Mereka tak mengerti apa-apa tentang praktek. Seperti waktu itu ketika saya akan diundang untuk upacara pemakaman dan seseorang berkata, "...jangan dengarkan dia! Masukkan saja uang itu ke dalam tasnya dan jangan katakan apapun tentang hal itu.. jangan biarkan ia tahu (Walaupun merupakan pelanggaran bagi para bhikkhu untuk menerima uang, banyak juga yang melakukannya. Beberapa bhikkhu mau menerimanya walaupun tampaknya tidak, inilah mungkin yang menyebabkan umat awam menilai penolakan yang Mulia Achan untuk menerima uang, dengan berpikir bahwa beliau sesungguhnya mau menerima jika mereka tidak terang-terangan menyerahkan pada beliau, tetapi menyelipkannya dalam tas beliau.)". Saya katakan, "Hei, kamu pikir saya ini mati atau sejenisnya? Tahukah kalian, hanya karena orang menyebut alkohol sebagai wewangian, tidak akan menjadikannya sebagai wewangian. Tetapi, ketika kalian ingin minum alkohol kalian menyebutnya wewangian, maju terus dan meminumnya. Kalian pasti sudah gila!" Karena itu vinaya bisa menjadi sulit. Kalian harus puas dengan yang sedikit, menyendiri. Kalian harus melihat, dan melihat dengan benar. Suatu kali, ketika saya pergi melewati Saraburi, kelompok saya tinggal di vihara desa beberapa saat. Ketua vihara di sana kira-kira setua saya. Di pagi hari, kami semua pergi berpindapata bersama, kemudian kembali ke vihara dan meletakkan mangkuk kami. Kemudian umat-umat akan membawa berpiring-piring masakan ke dalam ruang makan dan meletakkannya. Selanjutnya para bhikkhu akan pergi dan mengambilnya, membuka dan meletakkannya dalam satu garis untuk diserahkan secara resmi. Satu bhikkhu akan meletakkan jarinya di atas piring pada satu sisi, dan seorang umat memegang piring di sisi yang lain. begitulah! Dengan demikian cara itu para bhikkhu akan membawa makanan-makanan itu dan membagikannya untuk dimakan. Kira-kira lima orang bhikkhu yang ikut pergi bersama saya saat itu, tetapi tidak seorang pun dari kami yang mau menyentuh masakan itu. pada pindapata, semua yang kami terima adalah nasi putih, jadi kita duduk bersama mereka dan memakan nasi putih, tidak seorang pun dari kami yang berani makan masakan dari piring-piring itu. Ini terjadi selama beberapa hari, sampai saya menyadari bahwa sang ketua vihara merasa terganggu dengan perilaku kami. Mungkin salah seorang bhikkhu di sana melaporkan, "Bhikkhu-bhikkhu tamu ini tidak mau memakan masakan manapun. Saya tidak tahu apa maunya mereka". Saya harus tinggal di sana untuk beberapa hari lagi, maka saya menemui sang ketua vihara untuk menjelaskan. Saya berkata, "Yang Mulia, bisakah saya mengganggu sebentar? Saat ini saya ada sedikit urusan yang mana saya harus meminta kesediaan Anda untuk menerima kami beberapa hari lagi, tetapi saya kuatir ada satu atau dua hal yang membuat Anda dan murid-murid Anda bingung, yaitu berkenaan dengan kami tidak memakan masakan yang diberikan oleh umat. Saya ingin menjelaskan hal ini kepada Anda. Sungguh tidak ada apa-apa, hanya saja saya sudah belajar untuk praktek seperti ini... yaitu, cara menerima dana/pemberian makanan. Ketika umat meletakkan masakan dan seterusnya para bhikkhu pergi dan membuka piring-piring itu, memilih mereka dan kemudian diserahkan secara resmi... ini salah. Ini pelanggaran dukkata. Terutama mengurus dan memegang masakan yang secara resmi belum diserahkan ke dalam tangan para bhikkhu, "merusak" masakan tadi. Menurut vinaya, bhikkhu yang makan masakan itu melakukan suatu pelanggaran. "Hanya karena itu, kawan. Saya tidak mengkritik siapapun, atau saya berusaha memaksa Anda dan para bhikkhu untuk berhenti berbuat begitu... sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengutarakan maksud baik saya, karena saya perlu tinggal di sini untuk beberapa hari lagi". Ia merangkapkan tangannya ber-anjali (Anjali —cara tradisional untuk memberi salam atau menunjukkan rasa hormat, seperti salam bahasa India "Namaste" atau "Wai" dalam bahasa Thai. Sadhu —"Itu baik" —adalah cara untuk menunjukkan penghargaan, atau persetujuan.), "Sadhu! Hebat! Saya belum pernah menjumpai seorang bhikkhu yang memegang peraturan-peraturan kecil di Saraburi. Sulit menemukan yang seperti ini di masa ini. Jika ada yang seperti itu, mereka pasti hidup di luar Saraburi. Saya menghargai Anda. Saya sama sekali tidak berkeberatan, itu sangat baik". Keesokan paginya ketika kami kembali pada pindapata, tak seorang bhikkhu pun mendekati piring-piring itu. Umat sendiri yang memilih dan menyerahkan makanan-makanan tersebut, karena mereka takut para bhikkhu tak mau memakannya. Sejak saat itu para bhikkhu dan samanera di sana tampak sangat cemas, maka saya berusaha untuk menjelaskannya pada mereka, untuk menentramkan batin mereka. Saya pikir mereka takut pada kami, mereka masuk ke dalam kamar dan mengunci diri dalam bebisuan. Saya mengambil Sang Buddha sebagai teladan saya. Ke mana pun saya pergi, apapun yang dilakukan orang lain, saya tak akan melibatkan diri. Saya hanya tekun melaksanakan praktek, karena saya peduli pada diri saya sendiri, saya peduli pada praktek. Mereka yang tidak menjalankan vinaya atau berlatih meditasi, tidak dapat hidup bersama dengan mereka yang berlatih, mereka pasti mengambil jalan yang terpisah. Oleh karena itu, kalian yang ingin pergi dan membangun pusat-pusat meditasi di hutan... jangan lakukan itu. Jika kalian belum benar-benar mengerti, jangan bersusah-susah mencoba, kalian hanya akan membuatnya menjadi kacau. Sebagian bhikkhu mengira bahwa dengan hidup di hutan mereka akan menemukan kedamaian, tetapi mereka tetap belum memahami hal-hal pokok tentang meditasi. Mereka memotong rumput sendiri (Pelanggaran lainnya pada peraturan tata-tertib, pelanggaran pacittiya.), melakukan semuanya sendiri... Mereka yang sudah memahami praktek tidak berminat pada tempat-tempat seperti itu, mereka tak akan sejahtera. Bertindak seperti itu tidak akan membawa kemajuan. Tidak peduli betapa damainya hutan itu kalian tidak akan mendapat kemajuan jika kalian mengerjakannya secara salah. Mereka melihat para bhikkhu-hutan hidup di hutan dan mereka pergi ke hutan untuk hidup seperti mereka, tetapi itu tidaklah sama. Jubah-jubah tidak sama, kebiasaan-kebiasaan makan tidak sama, semua berbeda. Yakni, mereka tidak mengendalikan diri mereka, mereka tidak praktek/berlatih. Tempat menjadi sia-sia, ia tidak mengenai sasaran. Jika ia memenuhi sasaran, hanyalah sebatas satu tempat untuk pamer atau publikasi, sama seperti pertunjukan penjual obat. Tidak lebih dari itu. Mereka yang berlatih hanya sejenak dan selanjutnya pergi mengajar orang lain sesungguhnya belum matang, mereka belum sepenuhnya mengerti. Mereka segera akan menyerah dan semuanya berantakan. Hal itu hanya menimbulkan persoalan. Jadi agaknya kita harus belajar, lihat Navakovada (Vavakovada —sebuah ringkasan sederhana tentang dasar-dasar Dhamma-Vinaya.), apa yang dikatakannya? Pelajari, ingat, sampai kalian memahaminya. Setiap waktu tanyakanlah kepada guru kalian berkenaan dengan pokok-pokok yang lebih dalam, beliau akan menjelaskannya. Belajarlah seperti itu sampai kalian benar-benar memahami vinaya.
Hari ini kita bertemu kembali seperti yang kita lakukan setiap tahun
setelah ujian Dhamma (Banyak
bhikkhu mengikuti ujian tertulis terhadap pengetahuan tentang kitab suci
mereka, yang kadang kala —seperti dinyatakan Achan Chah —mengganggu
penerapan mereka terhadap berbagai ajaran dalam kehidupan sehari-hari.)
tahunan. Kali ini kalian harus merenungkan pentingnya menjalankan
berbagai kewajiban terhadap vihara, terhadap pembimbing dan para guru.
Hal-hal ini yang menjadikan kita bersama sebagai satu kelompok, yang
memungkinkan kita hidup dalam keharmonisan dan kedamaian. Hal-hal ini
pula yang menuntun kita untuk saling menghormati, yang pada gilirannya
memberikan manfaat kepada masyarakat.
Dalam semua masyarakat, sejak zaman Sang Buddha sampai saat ini,
tidak peduli bentuk apapun yang mereka pilih, jika penghuninya tidak
mempunyai rasa saling menghormati, mereka tak akan berhasil. Apakah
masyarakat awam atau masyarakat viharawan, jika mereka tidak saling
menghormati maka mereka tidak memiliki solidaritas. Jika tidak ada
saling menghormati, timbul kelalaian dan akhirnya praktek memburuk.
Kelompok pelaksana Dhamma kita sudah tinggal di sini sekitar dua
puluh lima tahun, berkembang mantap, tetapi ini bisa merosot. Kita harus
menyadari hal ini. Tetapi jika kita semua penuh perhatian, mempunyai
rasa saling menghormati dan terus menegakkan norma praktek, saya rasa
keharmonisan kita akan kokoh. Praktek kita sebagai satu kelompok akan
menjadi sumber perkembangan agama Buddha di masa yang akan datang.
Sekarang mengenai belajar dan berlatih/praktek, mereka merupakan
pasangan. Agama Buddha telah tumbuh dan berkembang sampai saat ini
karena belajar dan berlatih berjalan seiring. Jika kita mempelajari
kitab suci dengan tanpa perhatian maka kelalaian akan muncul... Sebagai
contoh, pada tahun pertama di sini kami memiliki tujuh orang bhikkhu
yang menjalani Masa Vassa. Saat itu saya berpikir, "Setiap kali para
bhikkhu belajar untuk Ujian Dhamma, tampaknya praktek mulai menurun".
Menimbang hal ini, saya berusaha mencari penyebabnya, maka saya mulai
mengajar para bhikkhu yang berdiam di sana selama Masa Vassa —yaitu
mereka bertujuh. Saya mengajar kira-kira selama empat puluh hari, setiap
hari mulai sehabis makan sampai dengan pukul enam petang. Para bhikkhu
mengikuti ujian dan berhasil baik, ketujuhnya lulus.
Sejauh itu memang bagus, tetapi ada kesulitan tertentu untuk
mereka yang kurang berhati-hati. Belajar memerlukan banyak membaca dan
mengulang. Mereka yang kurang terkendali dan kurang siap cenderung lalai
dengan latihan meditasi dan menghabiskan seluruh waktu mereka untuk
belajar, mengulang, dan menghafal. Ini menyebabkan mereka melupakan
kebiasaan lama, norma praktek mereka. Dan ini sering terjadi.
Begitulah ketika mereka sudah selesai belajar dan mengikuti
ujian, saya melihat perubahan dalam prilaku mereka. Tidak ada meditasi
jalan, hanya sedikit meditasi duduk, dan peningkatan di dalam pergaulan.
Kurang ada mengendalikan diri dan ketenangan.
Sesungguhnya, dalam praktek kita, ketika kalian melakukan
meditasi jalan, kalian harus benar-benar memutuskan untuk berjalan;
ketika duduk bermeditasi, kalian harus memusatkan hanya melakukan hal
itu. Apakah kalian sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring,
kalian harus berjuang supaya tenang. Tetapi ketika orang banyak belajar,
pikiran mereka penuh dengan kata-kata, mereka mabuk pada buku dan
melupakan diri sendiri. Mereka tersesat pada keadaan-keadaan luar. Semua
itu hanya bagi mereka yang tidak mempunyai kebijaksanaan, yang tidak
terkendali dan tidak mempunyai
sati
yang kuat. Bagi orang-orang seperti itu belajar bisa menjadi sebab
kehancuran. Ketika orang seperti itu sedang belajar mereka tidak
melakukan meditasi duduk atau jalan serta menjadi semakin lalai. Batin
mereka menjadi lebih kacau. Mengobrol tanpa tujuan, kurang pengendalian
diri, serta bermasyarakat menjadi kegiatan sehari-hari. Inilah sebab
kehancuran praktek kita. Bukan karena belajar itu sendiri, tetapi karena
orang-orang tersebut tidak berusaha, mereka melupakan diri sendiri.
Sebenarnya kitab suci merupakan petunjuk jalan untuk praktek.
Jika kita sudah mengerti tentang praktek, selanjutnya membaca atau
belajar merupakan segi selanjutnya dari meditasi. Tetapi jika belajar
dan melupakan diri sendiri hal itu menimbulkan banyak percakapan dan
kegiatan yang tak bermanfaat. Mereka meninggalkan praktek meditasi dan
segera ingin lepas jubah. Banyak di antara mereka yang belajar dan gagal
lalu segera lepas jubah. Bukan berarti belajar itu tidak baik, atau
prakteknya tidak benar. Itu karena mereka gagal untuk menguji diri
sendiri.
Melihat hal ini, pada Masa Vassa yang kedua saya berhenti
mengajarkan kitab suci. Beberapa tahun kemudian lebih banyak pemuda yang
menjadi bhikkhu. Beberapa di antara mereka sama sekali tidak mengerti
tentang Dhamma-Vinaya dan meremehkan naskah-naskah, sehingga saya
memutuskan untuk memperbaiki keadaan dengan meminta para bhikkhu senior
yang sudah belajar untuk mengajar, dan mereka sudah mengajar sampai saat
ini. Inilah sebabnya kita menjadi memiliki kelas belajar di sini.
Bagaimanapun, setiap tahun setelah ujian berakhir, saya meminta
semua bhikkhu untuk membangun kembali latihan mereka. Semua bagian kitab
suci yang tidak berhubungan langsung dengan praktek, simpanlah di dalam
almari. Kembangkan kembali diri sendiri, kembali pada norma semula.
Bangun kembali latihan bersama seperti bersama-sama dalam
chanting
(pembacaan paritta) harian. Inilah norma kita. Lakukanlah itu meskipun
hanya untuk mengusir kemalasan dan keenggananmu. Ini menumbuhkan
ketekunan.
Jangan tinggalkan praktek dasar kalian: sedikit makan, sedikit
bicara, sedikit tidur; terkendali dan tenang/sabar; menyendiri; meditasi
berjalan dan duduk yang teratur; secara teratur bertemu pada saat yang
tepat. Setiap orang dari kalian, berusahalah untuk itu. Jangan biarkan
kesempatan baik ini terbuang. Berlatihlah. Kalian memiliki kesempatan
untuk berlatih di sini karena kalian hidup di bawah bimbingan guru. Ia
melindungi kalian dalam batas tertentu, jadi kalian harus mencurahkan
diri untuk berlatih. Sebelumnya kalian sudah melakukan meditasi berjalan,
sekarang kalian juga harus duduk. Pada waktu itu kalian sudah membaca
paritta bersama pada pagi dan petang hari, sekarang kalian juga harus
berusaha. Inilah tugas-tugas khusus kalian, curahkanlah tenaga untuk itu.
Ketahuilah bahwa mereka yang sekedar "membunuh waktu" di dalam
jubah tidak mempunyai kekuatan apapun. Mereka yang gelisah, rindu rumah,
bingung... apakah anda melihat mereka? Mereka inilah yang tidak
memusatkan batin pada latihan. Mereka tidak mempunyai pekerjaan untuk
dilakukan. Kita tidak bisa hanya berbaring di sini. Sebagai seorang
bhikkhu atau samanera, hidup kalian terjamin, janganlah kalian
menganggapnya memang mesti begitu.
Kamasukhallikanuyogo
(Menuruti
kesenangan indera, menuruti kegemaran.)
adalah suatu bahaya. Berusahalah untuk menemukan latihanmu sendiri.
Tingkatkanlah latihanmu, secara bertahap doronglah dirimu sendiri.
Apapun yang salah, perbaikilah, janganlah tersesat dengan
keadaan-keadaan luar.
Mereka yang bersemangat tak akan melewatkan meditasi berjalan
dan duduk, tak pernah berhenti menjaga pengendalian diri dan ketenangan/kesabaran.
Cobalah perhatikan para bhikkhu di sini. Siapa saja, setelah
selesai makan atau pekerjaan lain, setelah meletakkan jubah, berjalan
bermeditasi —dan ketika kita melewati
kuti (Kuti
—tempat tinggal seorang bhikkhu, sebuah gubuk.)
nya kita melihat jejak pada jalur jalan, dan kita sering melihatnya
—bhikkhu ini tidak jemu berlatih. Inilah orang yang memiliki usaha dan
yang memiliki semangat.
Jika kalian mencurahkan perhatian pada praktek seperti ini maka
tak akan timbul banyak persoalan. Jika kalian tidak berlatih, meditasi
berjalan dan duduk, itu adalah tidak lebih dari sekedar berjalan-jalan.
Tidak senang di sini kalian ke sana; tidak senang di sana kalian kembali
ke sini. Kalian hanya berjalan terus ke mana saja.
Orang-orang seperti ini tak akan bertahan, ini tidak baik.
Kalian tidak perlu terlalu banyak berkeliling, tinggallah di sini dan
kembangkan latihan, pelajarilah dengan seksama. Pergi berkeliling bisa
dilakukan kelak, itu tidak sulit. Kalian semua, kerahkanlah usaha.
Keberhasilan dan kehancuran bergantung pada hal ini. Jika kalian
benar-benar ingin melakukan dengan benar, maka belajar dan prakteklah
secara berimbang; gunakanlah keduanya bersama-sama. Ia bagaikan batin
dan jasmani. Jika batin tenang serta jasmani bebas dari penyakit dan
sehat, selanjutnya batin menjadi tenang. Jika batin kacau, biarpun
jasmani kuat akan muncul kesulitan, apalagi bila jasmani mengalami
gangguan.
Belajar meditasi adalah belajar mengembangkan dan melepaskan.
Yang saya maksudkan dengan belajar di sini adalah: bilamana batin
merasakan suatu sentuhan, apakah kita masih melekat padanya? Apakah kita
masih menciptakan persoalan di sekitar itu? Apakah kita masih merasakan
kesenangan atau keengganan terhadapnya? Secara sederhana: apakah kita
masih tersesat dalam pikiran kita? Ya, masih. Jika kita tidak menyukai
sesuatu kita bereaksi dengan keengganan; jika kita suka kita bereaksi
dengan kegembiraan, batin menjadi kotor dan ternoda. Jika begitu
kasusnya maka kita harus melihat bahwa kita masih mempunyai kesalahan,
kita belum sempurna, masih ada yang harus kita kerjakan. Lebih banyak
yang harus dilepaskan serta lebih gigih mengembangkan batin. Inilah yang
saya maksud dengan belajar. Jika kita melekat pada sesuatu, kita
mengenali bahwa kita melekat. Kita mengetahui keadaan kita, dan kita
berusaha memperbaiki diri.
Hidup secara bersama atau terpisah dari guru haruslah sama.
Sebagian orang merasa takut. Mereka takut guru akan mencela atau
memarahinya jika mereka tidak melakukan meditasi jalan. Pada satu sisi
ini baik, tetapi dalam praktek sebenarnya kalian tidak perlu takut pada
orang lain, hanya waspadailah kesalahan yang timbul di dalam perbuatan,
ucapan atau pikiran sendiri, kalian harus menjaga diri sendiri.
Attano jodayattanam
—"kalian
harus menasehati diri kalian sendiri", jangan minta orang lain untuk
melakukannya. Kita harus secepatnya meningkatkan diri, mengenal diri
sendiri. Inilah yang disebut "belajar", mengembangkan dan melepaskan.
Perhatikan hal ini sampai kalian memahaminya dengan jelas.
Hidup dengan cara ini berarti kita bersandar pada kesabaran,
keteguhan dalam menghadapi semua kekotoran-batin. Meskipun ini bagus,
ini tetap berada pada tingkat "mempraktekkan Dhamma sebelum melihatnya".
Jika kita sudah mempraktekkan Dhamma serta sudah melihatnya, maka kita
akan sudah menghindari apapun yang salah, apapun yang bermanfaat akan
telah kita kembangkan. Melihat itu dalam diri sendiri, kita merasakan
kesejahteraan. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kita
mengenali batin kita, kita tidak goyah. Kita merasa damai di manapun.
Sekarang para bhikkhu dan samanera yang baru mulai berlatih
mungkin berpikir bahwa Acjhan senior tampaknya tidak banyak melakukan
meditasi jalan dan duduk. Dalam hal ini jangan meniru beliau. Kalian
harus berusaha melebihi, bukannya meniru. Berusaha untuk melewati adalah
satu hal, meniru merupakan hal lain. Kenyataannya, Achan senior itu
berdiam dalam kediaman khususnya sendiri yang membahagiakan. Walaupun
tampaknya beliau tidak berlatih, tetapi di dalam batin beliau berlatih.
Apapun yang ada di dalam batin beliau tak bisa dilihat dengan mata.
Praktek agama Buddha adalah praktek batin. Walaupun praktek itu tidak
jelas kelihatan dalam perbuatan atau ucapan, batin merupakan hal yang
lain.
Jadi seorang guru yang sudah berlatih dalam waktu lama, yang
cakap dalam praktek, tampaknya seperti mengacuhkan perbuatan dan
ucapannya, tetapi beliau menjaga batinnya. Beliau tenang. Hanya dengan
melihat perbuatan luarnya saja kalian boleh berusaha meniru beliau,
melepaskan dan mengatakan apa yang ingin dikatakan, tetapi semuanya
tidak sama. Kalian tidak berada dalam tingkatan yang sama. Camkan hal
ini.
Ada perbedaan yang nyata, kalian bertindak dari tempat yang
berbeda. Walaupun Achan tampaknya hanya duduk santai, beliau sama sekali
tidak sembrono. Beliau hidup bersama berbagai barang tetapi tidak
bingung oleh barang-barang tersebut. Kita tidak bisa melihat itu, apapun
yang ada dalam batin beliau tidak dapat kita lihat. Janganlah hanya
menilai dari penampilan saja, batin sesungguhnya yang terpenting. Ketika
kita berbicara, pikiran kita mengikuti pembicaraan itu. Perbuatan apapun
yang kita lakukan, pikiran kita mengikuti, tetapi orang yang sudah
berlatih bisa melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak diikuti
pikirannya, karena ia menyatu dengan Dhamma dan Vinaya. Misalnya, suatu
saat Achan mungkin keras pada muridnya, ucapannya tampak kasar dan
sembrono, perbuatannya tampak kasar. Melihat hal itu, semua yang bisa
kita lihat adalah perbuatan jasmani dan ucapannya, tetap batin yang
menyatu dengan Dhamma dan Vinaya tidak bisa dilihat. Taat pada instruksi
Sang Buddha: "Janganlah lengah". "Kewaspadaan adalah jalan menuju
ketanpa-matian. Kelalaian adalah jalan menuju kematian". Camkanlah hal
ini. Apapun yang dilakukan orang lain tidaklah penting, janganlah lengah,
inilah yang terpenting.
Semua yang sudah saya katakan di sini hanyalah untuk
mengingatkan kalian bahwa sekarang, setelah menyelesaikan ujian, kalian
mempunyai kesempatan untuk pergi berkeliling dan melakukan banyak hal.
Semoga kalian selalu ingat bahwa kalian adalah pelaksana Dhamma; seorang
pelaksana harus tenang, terkendali dan sangat berhati-hati.
Mempertimbangkan ajaran yang mengatakan "Bhikkhu adalah orang
yang mencari sedekah". Jika kita mendefinisikannya dalam cara seperti
ini latihan kita... ini sangat kasar. Jika kita memahami kata ini sesuai
dengan yang Sang Buddha definisikan, sebagai "orang yang melihat
bahayanya
Samsara (Samsara
—lingkaran kelahiran yang berkondisi, dunia khayalan.
Orang yang melihat bahayanya
samsara
adalah orang yang melihat kesalahan-kesalahan dan kekurangan dunia ini.
Di dunia ini ada begitu banyak bahaya, tetapi kebanyakan orang tidak
melihatnya, mereka melihat kenikmatan dan kesenangan dunia ini. Sekarang
Sang Buddha mengatakan bahwa seorang bhikkhu adalah orang yang melihat
bahayanya
samsara.
Apakah
samsara
itu? Penderitaan dari
samsara
sangatlah besar, sangatlah berat. Kesenangan adalah juga
samsara.
Sang Buddha mengajar kita agar tidak melekat pada mereka. Jika
kita tidak melihat bahayanya
samsara,
maka ketika timbul kesenangan kita melekat pada kesenangan dan melupakan
penderitaan. Kita mengabaikannya, seperti seorang anak kecil yang tidak
mengenal api.
Jika kita memahami praktek Dhamma dalam cara begini... "Bhikkhu:
orang yang melihat bahayanya
samsara"
...jika kita mempunyai pengertian ini, ajaran ini dengan kuat mengilhami
keberadaan kita, apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk atau
berbaring, ke manapun kita, kita akan merasa tenang. Kita merenungkan
diri sendiri, kewaspadaan ada di sana. Bahkan ketika duduk santai, kita
merasakannya dalam cara itu. Apapun yang kita kerjakan, kita melihat
bahaya ini, jadi kita berada dalam keadaan yang sangat berbeda. Praktek
ini disebut "orang yang melihat bahayanya
samsara".
Seseorang yang melihat bahayanya
samsara,
hidup di dalam
samsara
dan juga tidak. Artinya, ia mengerti konsep-konsep dan ia mengerti
kelebihan mereka. Apapun yang dikatakan oleh orang seperti itu tidaklah
sama dengan orang kebanyakan. Apapun yang dikerjakannya juga tidak sama,
apapun yang dipikirkannya juga tidak sama. Kelakuannya jauh lebih
bijaksana.
Oleh karena itu dikatakan: "Berusahalah untuk melebihi tetapi
jangan meniru". Ada dua jalan —melebihi dan meniru. Orang yang dungu
akan mengambil segala sesuatu. Kalian jangan lakukan itu! Jangan lupakan
dirimu sendiri.
Untuk saya, tahun ini badan saya kurang sehat. Beberapa hal akan
saya limpahkan kepada bhikkhu-bhikkhu dan samanera-samanera lainnya
untuk membantu mengerjakannya. Mungkin saya akan beristirahat. Sejak
dahulu kala selalu begitu, demikian pula di dunia: selama ayah dan ibu
masih hidup, anak-anak sehat dan sejahtera. Ketika orang tua telah
meninggal, anak-anak terpisah. Dari kaya mereka menjadi miskin.
Begitulah pada umumnya yang terjadi dalam kehidupan awam, dan orangpun
bisa melihatnya di sini. Misalnya, ketika Achan (guru) masih hidup,
semuanya baik dan sejahtera. Begitu beliau wafat, kehancuran segera
terjadi. Mengapa begini? Karena ketika sang guru masih hidup orang
merasa puas diri dan melupakan diri sendiri. Mereka tidak berusaha untuk
belajar dan berlatih. Seperti dalam kehidupan awam, ketika ibu dan ayah
masih hidup, anak-anak menyerahkan semuanya pada mereka. Mereka
bersandar pada orang tua dan tidak tahu bagaimana cara menjaga diri
mereka sendiri. Ketika orang tua meninggal mereka jadi miskin. Begitu
pula dalam kebhikkhuan. Jika Achan pergi atau wafat, para bhikkhu
cenderung bergaul bebas, terpisah dalam kelompok serta hanyut dalam
kemunduran, hampir begitu setiap saat.
Mengapa demikian? Karena mereka melupakan diri sendiri. Dengan
hidup dari kebaikan sang guru semua berjalan lancar. Ketika sang guru
wafat, para siswa cenderung bercerai-berai. Pandangan mereka berbenturan.
Mereka yang berpikir keliru hidup di satu tempat, mereka yang berpikir
benar hidup di tempat lain. Mereka yang merasa tidak nyaman,
meninggalkan teman lamanya serta mendirikan tempat baru dan memulai
garis baru dengan kelompok murid mereka sendiri. Begitulah semua terjadi.
Saat inipun demikian. Semua itu karena kita salah. Ketika sang guru
masih hidup kita bersalah, kita hidup ceroboh. Kita tidak mempelajari
norma-norma praktek yang diajarkan oleh guru serta mengembangkannya di
dalam batin kita. Kita tidak bersungguh-sungguh mengikuti jejak beliau.
Bahkan pada zaman Sang Buddha pun begitu, ingat kitab suci?
Bhikkhu tua itu, siapa namanya... ya, Bhikkhu Subhadda! Ketika Yang
Ariya Maha Kassapa kembali dari Pava, dalam perjalanan beliau menanyai
seorang pertapa, "Apakah Sang Buddha baik-baik saja?" Si pertapa
menjawab, "Sang Buddha telah memasuki Parinibbana tujuh hari yang lalu".
Para bhikkhu yang belum mencapai kesucian sangatlah berduka,
menangis dan meratap. Mereka yang sudah menembus Dhamma merenungkan pada
diri mereka sendiri, "Ah, Sang Buddha telah wafat. Beliau telah pergi".
Tetapi mereka yang masih dipenuhi kekotoran, seperti Bhikkhu Subhadda
berkata:
"Untuk apa kalian menangis? Sang Buddha telah wafat. Itu bagus!
Sekarang kita bisa hidup santai. Ketika Sang Buddha masih hidup Beliau
selalu mengganggu kita dengan aturan-aturan atau yang lainnya, kita
tidak dapat melakukan ini atau mengatakan itu. Sekarang Sang Buddha
telah wafat, itu baik! Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan,
mengatakan apa yang kita mau... Untuk apa kalian menangis?"
Keadaannya selalu begitu sejak dahulu sampai saat ini.
Akan tetapi, walaupun tidak mungkin untuk melindungi secara
keseluruhan... Seperti misalnya kita mempunyai satu gelas dan kita
merawatnya dengan baik. Setiap kali kita memakainya kita bersihkan dan
menyimpannya di tempat yang aman. Dengan berhati-hati terhadap gelas itu
kita bisa menggunakannya untuk waktu yang lama, dan ketika kita sudah
selesai memakainya orang lain juga dapat memakainya. Sekarang,
menggunakan gelas dengan ceroboh dan memecahkannya setiap hari, serta
memakai satu gelas selama sepuluh tahun sebelum ia rusak, manakah yang
lebih baik?
Praktek kitapun seperti itu. Sebagai contoh, jika dari semua
yang hidup di sini, berlatih terus-menerus, hanya sepuluh yang berlatih
dengan baik, maka Wat Ba Pong akan sejahtera. Seperti di desa-desa,
dalam satu desa dengan seratus rumah, andaikan hanya ada lima puluh saja
orang yang baik maka desa itu akan sejahtera. Sesungguhnya untuk mencari
sepuluh saja cukup sulit. Atau ambil satu vihara seperti ini di sini:
sangatlah sulit untuk menemukan lima atau enam orang bhikkhu yang
benar-benar bertanggung jawab, yang benar-benar melaksanakan latihan/praktek.
Bagaimanapun juga, sekarang kita tidak mempunyai tanggung jawab
apapun, selain daripada untuk berlatih sebaik mungkin. Pikirkanlah itu,
apakah yang kita miliki di sini? Kita tidak memiliki harta, kekayaan,
dan keluarga lagi. Makanpun kita hanya sekali sehari. Kita sudah
melepaskan banyak hal, bahkan yang lebih baik dari semua itu. Sebagai
bhikkhu dan samanera kita melepaskan segala sesuatu. Kita tidak memiliki
apapun. Hal-hal yang digemari orang sudah kita buang. Pergi menjadi
bhikkhu adalah dalam rangka praktek. Mengapa kemudian kita mengharapkan
hal-hal lain, menuruti ketamakan, kemalasan atau khayalan? Mengisi batin
kita dengan hal-hal lain adalah sudah tidak pantas lagi.
Pikirkan: mengapa kita menjadi pertapa? Mengapa kita berlatih?
Kita menjadi pertapa untuk berlatih. Jika kita tidak berlatih maka kita
hanya bermalas-malasan. Jika kita tidak berlatih, maka kita lebih buruk
daripada umat awam, kita tidak mempunyai fungsi apapun. Jika kita tidak
melakukan pekerjaan apapun atau menerima tanggung-jawab kita, itu
merupakan kesia-siaan dari kehidupan
samana (Samana:
seorang pencari kebenaran yang meninggalkan kehidupan duniawi. Berasal
dari istilah Sansekerta untuk "seseorang yang berjuang", kata itu
manunjukkan seseorang yang sudah berjanji menjalankan latihan keagamaan.).
Itu bertentangan dengan tujuan seorang
samana.
Jika demikian kasusnya maka berarti kita lalai. Lalai itu
bagaikan mati. Tanyalah dirimu sendiri, apakah kamu punya waktu untuk
berlatih ketika kamu mati? Teruslah tanyakan pada dirimu, "Kapan aku
akan mati?" Jika kita merenungkan dalam cara ini, batin kita akan
waspada setiap saat, kewaspadaan akan selalu hadir. Jika waspada, ada
sati,
maka ingatan terhadap "apa adalah apa" dengan sendirinya akan mengikuti.
Kebijaksanaan akan jernih, melihat dengan jelas segala sesuatu
sebagaimana adanya. Ingatan menjaga sang batin, mengenali munculnya
semua perasaan pada setiap saat, siang dan malam. Itulah arti dari
memiliki
sati.
Memiliki
sati
berarti tenang. Tenang berarti waspada. Jika seseorang waspada maka ia
berlatih dengan benar. Inilah tanggung jawab khusus kita.
Jadi hari ini saya ingin menyampaikan hal ini pada kalian. Jika
kelak kalian meninggalkan tempat ini ke salah satu vihara cabang atau ke
manapun, jangan lupakan diri kalian sendiri. Kenyataannya kalian masih
belum sempurna, masih belum selesai. Kalian masih mempunyai banyak
pekerjaan yang harus dilakukan, banyak tanggung jawab yang harus dipikul,
yaitu praktek untuk mengembangkan dan melepaskan. Masing-masing dari
kalian, harap perhatikan benar hal ini. Apakah kalian hidup di sini atau
di vihara cabang, pertahankan norma-norma latihan ini. Sekarang ini
jumlah kita banyak, banyak pula vihara-vihara cabang. Semua vihara
cabang ini mengakui Wat Ba Pong sebagai asal mereka. Bisa kita katakan
bahwa Wat Ba Pong adalah "orang tua", guru, contoh bagi semua vihara
cabang. Jadi, terutama para guru, bhikkhu dan samanera dari Wat Ba Pong,
haruslah berusaha untuk memberi contoh, menjadi panduan bagi semua
vihara cabang lainnya, teruslah untuk tekun dalam praktek dan tanggung
jawab sebagai seorang
samana.
Di Wat Wana Potiyahn (Salah
satu cabang utama Vihara Achan Chah, Wat Ba Pong)
ini sangatlah tenang, tetapi ini tidak akan berarti jika batin kita
tidak tenang. Semua tempat sesungguhnya tenang. Bahwa beberapa tempat
tampak kacau itu adalah karena batin kita yang kacau. Bagaimanapun,
tempat yang sepi bisa membantu untuk menjadi tenang, dengan memberi
orang kesempatan untuk berlatih sehingga menjadi harmonis dengan
ketenangannya.
Kalian semua harus mengingat bahwa latihan ini sulit. Berlatih
hal-hal yang lain tidaklah begitu sulit, bahkan mudah, tetapi batin
manusia sangat sulit untuk dilatih. Sang Buddha melatih batin Beliau.
Batin merupakan hal yang penting. Segala sesuatu yang ada dalam susunan
batin-jasmani menjadi satu pada pikiran. Mata, telinga, hidung, lidah,
dan tubuh, semuanya menerima sentuhan dan mengirimkannya ke dalam batin,
yang merupakan pengawas dari semua alat indera. Oleh karena itu
sangatlah penting untuk melatih batin. Jika batin terlatih dengan baik
semua persoalan akan berakhir. Jika masih ada persoalan berarti batin
masih ragu, ia tidak mengetahui sesuai dengan kebenaran. Itulah sebabnya
mengapa timbul persoalan-persoalan.
Jadi sadarilah bahwa kalian semua sudah siap sepenuhnya untuk
berlatih Dhamma. Apakah dengan berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring,
alat-alat yang kalian perlukan untuk berlatih sudah tersedia, di manapun
kalian berada. Mereka ada di sana, sama seperti Dhamma. Dhamma merupakan
sesuatu yang berlimpah ruah di mana saja. Di sini, di daratan atau di
dalam air... di mana saja... Dhamma selalu ada di sana. Dhamma itu
sempurna dan lengkap, tetapi latihan kitalah yang belum lengkap.
Sang Buddha yang Tercerahkan dengan Sempurna mengajarkan satu
cara yang dengannya kita semua dapat berlatih dan mengenali Dhamma. Ia
bukan sesuatu yang besar, hanyalah sesuatu yang kecil, tetapi benar.
Misalnya, lihatlah rambut. Jika kita mengenali hanya sehelai rambut,
maka kita mengetahui setiap helai, baik milik kita maupun orang lain.
Kita mengerti mereka hanya sekedar "rambut". hanya dengan mengenali
sehelai rambut kita mengetahui semuanya.
Atau lihatlah manusia. Jika kita melihat kondisi-kondisi alamiah/sebenarnya
di dalam diri kita sendiri maka kita juga akan mengerti semua orang
lainnya di dunia ini, karena semua orang adalah sama. Begitu pula
Dhamma. Ia merupakan sesuatu yang kecil tetapi juga besar. Jadi untuk
melihat kebenaran satu kondisi haruslah melihat kebenaran dari mereka
semuanya. Bilamana kita mengetahui kebenaran sebagai apa adanya, semua
persoalan akan berakhir.
Meskipun begitu, latihannya cukup sulit. Mengapa hal itu sulit?
Ia menjadi sulit karena keinginan,
tanha.
Jika kalian tidak "menginginkan" maka kalian tidak akan berlatih. Tetapi
jika kalian berlatih atas dasar nafsu-keinginan maka kalian tidak akan
melihat Dhamma. Ingatlah hal itu. Jika kalian tidak ingin berlatih maka
kalian tidak bisa praktek. Pertama kalian harus ingin berlatih agar
benar-benar melaksanakan praktek. Apakah melangkah maju atau melangkah
mundur kalian menemukan nafsu. Inilah sebabnya para pelaksana di masa
lalu mengatakan bahwa praktek ini merupakan sesuatu yang sangat sulit
untuk dikerjakan.
Kalian tidak melihat Dhamma karena adanya nafsu-keinginan.
Kadang kala nafsu ini sangat kuat, kalian ingin segera melihat Dhamma,
tetapi Dhamma bukanlah batin kalian —batin kalian belum menjadi Dhamma.
Dhamma merupakan satu hal dan batin adalah hal yang lainnya. Bukanlah
berarti apa yang kalian sukai adalah Dhamma dan apa yang tidak kalian
sukai bukan Dhamma. Bukan begitu rumusannya.
Sesungguhnya batin kita hanyalah satu keadaan dari Alam, seperti
sebuah pohon di hutan. Jika kalian menginginkan papan atau balok ia
harus dihasilkan dari pohon, tetapi pohon itu tetap saja pohon. Ia belum
menjadi balok atau papan. Sebelum ia dapat dimanfaatkan, kita harus
menebang pohon serta menggergajinya menjadi balok atau papan. Ia
merupakan pohon yang sama tetapi berubah menjadi sesuatu yang lain. Pada
hakikatnya ia hanyalah sebatang pohon, satu keadaan dari Alam. Tetapi
dalam keadaan mentahnya ia tidaklah banyak bermanfaat bagi mereka yang
memerlukan kayu. Batin kita adalah seperti keadaan itu. Ia merupakan
satu keadaan Alam. Seperti ia merasakan buah pikiran, ia membedakannya
ke dalam indah, jelek, dan sebagainya.
Batin kita ini harus dilatih lebih lanjut. Kita tidak bisa
membiarkannya begitu saja. Ia merupakan satu keadaan dari Alam...
latihlah untuk menyadari bahwa ia merupakan satu keadaan dari Alam.
Naikkan pada Alam sehingga ia cocok dengan kebutuhan kita, yaitu Dhamma.
Dhamma merupakan sesuatu yang harus dipraktekkan dan dihasilkan.
Jika kalian tidak berlatih kalian tak akan mengetahuinya. Terus
terang kalian tidak akan memahami Dhamma dengan cara membaca atau
mempelajarinya. Atau jika kalian mengetahuinya pengetahuan kalian masih
tetap kurang. Misalnya, tempolong ini. Setiap orang tahu bahwa ini
tempolong tetapi mereka tidak sepenuhnya mengetahui tempolong. Mengapa
mereka tidak sepenuhnya mengetahuinya. Jika saya menyebut tempolong ini
sebagai panci-gagang, apa yang kalian katakan? Seandainya setiap kali
saya memerlukannya saya berkata, "tolong ambilkan panci-gagang itu
kemari", hal itu akan membingungkan kalian. Mengapa begitu? Karena
kalian belum sepenuhnya mengetahui tentang tempolong. Jika kalian
mengetahuinya maka tak akan ada persoalan. Kalian hanya akan mengambil
barang itu dan memberikannya kepada saya, karena sesungguhnya tidaklah
ada tempolong. Apakah kalian paham? Ia menjadi tempolong karena
kebiasaan. Kebiasaan ini diterima di seluruh negeri, jadi ia merupakan
sebuah tempolong. Tetapi sesungguhnya tidak ada "tempolong" sejati. Jika
seseorang ingin menyebutnya panci-gagang ia bisa menjadi panci-gagang.
Ia bisa menjadi apa saja yang kalian sebutkan. Ini disebut "konsep".
Jika kita sepenuhnya mengerti tentang tempolong, bahkan jika seseorang
menyebutnya panci-gagang tak akan ada persoalan apapun. Apapun sebutan
orang terhadapnya kita tidak ragu karena kita tidak buta terhadap
keadaan sebenarnya. Inilah orang yang mengerti Dhamma.
Sekarang marilah kita kembali pada diri kita sendiri. Seandainya
seseorang berkata, "Kamu gila!" atau "Kamu bodoh", misalnya. Meskipun
hal itu tidak benar, kalian akan merasa tidak enak. Segala sesuatu
menjadi sulit karena ambisi kita untuk memiliki dan mencapai. Karena
nafsu-nafsu untuk memperoleh dan manjadi ini, karena kita tidak
mengetahui sesuai dengan kebenaran maka kita tidak mempunyai kepuasan.
Jika kita mengerti Dhamma, memahami Dhamma, keserakahan, kebencian, dan
khayalan akan lenyap. Jika kita memahami benda-benda sebagaimana mereka
adanya maka tiada lagi sandaran bagi mereka.
Mengapa praktek ini begitu sulit dan sukar? Karena
nafsu-keinginan. Begitu kita duduk untuk bermeditasi kita ingin tenang.
Jika kita tidak ingin mencari ketenangan kita tidak akan duduk, kita
tidak akan berlatih. Begitu kita duduk kita ingin ketenangan langsung
ada di sana, tetapi menginginkan batin menjadi tenang malah membuat kita
bingung dan kita merasa resah. Begitulah prosesnya. Jadi Sang Buddha
bersabda, "Janganlah berbicara dikarenakan oleh nafsu, janganlah duduk
karena nafsu, janganlah berjalan karena nafsu... Apapun yang kalian
kerjakan; janganlah melakukannya dengan nafsu. Nafsu berarti
menginginkan. Jika kalian tidak ingin melakukan sesuatu kalian tidak
akan mengerjakannya. Jadi praktek kita sampai pada titik ini kita bisa
agak patah semangat. Bagaimana kita bisa berlatih? Begitu kita duduk ada
nafsu di batin.
Karena hal inilah jasmani dan batin sulit untuk diamati. Jika
mereka bukan pribadi ataupun milik pribadi lalu milik siapakah mereka
itu? Sangat sulit untuk memutuskan hal ini, kita harus bersandar pada
kebijaksanaan. Sang Buddha bersabda kita harus berlatih dengan "melepaskan".
Sungguhlah sulit untuk benar-benar mengerti "berlatih dengan melepaskan"
ini, bukan? Jika kita melepaskan maka kita tidak berlatih, bukan? ...Karena
kita sudah melepaskan.
Seandainya kita pergi membeli beberapa butir kelapa di pasar,
dan ketika kita membawanya pulang seseorang bertanya:
"Untuk apa Anda membeli kelapa itu?"
"Saya membeli mereka untuk dimakan".
"Apakah Anda akan memakan sabutnya juga?"
"Tidak".
"Saya tidak percaya. Jika Anda tidak akan memakan sabutnya
mengapa Anda membelinya juga?"
Nah, sekarang apa yang akan kalian katakan? Bagaimana kalian
akan menjawab pertanyaan mereka? Kita berlatih dengan nafsu. Jika kita
tidak mempunyai nafsu kita tak akan berlatih. Praktek dengan nafsu
adalah
tanha.
Merenungkan dengan cara ini, kalian tahu, bisa menimbulkan kebijaksanaan.
Misalnya, kelapa tadi: apakah kalian akan memakan sabutnya juga? Tentu
tidak. Lalu mengapa kalian membawa mereka juga? Karena waktunya belum
tiba bagi kalian untuk membuang mereka. Mereka berguna untuk membungkus
kelapa. Jika, setelah memakan kelapanya, kalian buang sabutnya, maka
tidak ada persoalan.
Begitulah praktek kita. Sang Buddha bersabda, "Jangan bertindak
berdasarkan nafsu, jangan berbicara berlandaskan nafsu, jangan makan
berlandaskan nafsu". Berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring... apapun...
jangan melakukannya dengan nafsu. Ini berarti mengerjakan dengan
melepaskan. Seperti membeli kelapa di pasar. Kita tak akan memakan
sabutnya tetapi belum waktunya untuk membuang mereka. Pertama kita
simpan mereka. Begitulah dengan praktek. Konsep dan Yang melampaui
Konsep (Konsep
(sammutti) menunjuk pada kenyataan semu atau sementara,
sedangkan yang melampaui/transenden (vimutti) menunjuk pada
kebebasan dari kemelekatan atau khayalan yan ada di dalamnya.)
saling berdampingan, seperti kelapa. Daging, kulit dan sabut semua
menjadi satu. Ketika kita membelinya kita membeli semuanya. Jika
seseorang ingin menuduh kita memakan sabut kelapa, itu urusan mereka,
kita tahu apa yang kita lakukan.
Kebijaksanaan adalah sesuatu yang harus kita temukan untuk diri
kita sendiri. Untuk melihatnya kita harus berjalan tidak terlalu cepat
maupun lambat. Apa yang harus kita lakukan? Pergilah ke mana tidak ada
cepat maupun lambat. Berjalan dengan cepat atau berjalan dengan lambat
bukanlah sang jalan.
Tetapi kita semua tidak sabar, kita tergesa-gesa. Begitu kita
mulai, kita ingin bergegas mencapai akhir, kita tidak ingin tertinggal.
Kita ingin berhasil. Ketika saatnya untuk mengatur batin untuk
bermeditasi, beberapa orang berjalan terlalu jauh... Mereka menyalakan
dupa, bersujud dan bertekad, "Selama dupa ini belum habis terbakar saya
tak akan bangkit dari duduk saya, sampai pun saya pingsan atau mati,
tidak jadi persoalan apapun... aku akan mati duduk?" Setelah mengucapkan
tekadnya mereka mulai duduk. Begitu mereka duduk gerombolan
Mara
(Mara:
personifikasi Buddhis untuk kejahatan, si Penggoda, yang kekuatannya
menentang setiap usaha untuk mengembangkan kebajikan dan sila.)
datang menyerang mereka dari semua sisi. Mereka baru duduk sejenak lalu
sudah berpikir bahwa dupanya telah habis terbakar. Mereka membuka mata
mengintip... "Oh, masih tersisa begitu banyak!"
Mereka menggertakkan gigi dan duduk lebih lama, merasa panas,
bingung, gelisah, dan kacau... Sampai akhir batas mereka berpikir, "Pasti
sudah habis sekarang" ...Mengintip lagi... "Oh, tidak! Bahkan belum
separuh jalan!"
Dua atau tiga kali ia begitu dan dupa itu tetap belum habis,
jadi mereka meyerah, memasukkannya dan duduk di sana membenci diri
sendiri. "Aku begitu bodoh, aku begitu tak ada harapan!" Mereka duduk
dan membenci diri sendiri, merasa tidak ada harapan. Ini hanya
menimbulkan frustasi dan rintangan. Ini disebut rintangan dari
itikad-jahat
(vyapada).
Mereka tidak bisa menyalahkan orang lain jadi mereka menyalahkan diri
sendiri. Mengapa begini? Semuanya karena keinginan.
Sesungguhnya tidaklah perlu seperti itu. Memusatkan perhatian
berarti konsentrasi dengan melepaskan, bukan mengkonsentrasikan diri
kalian sendiri ke dalam ikatan-ikatan.
Tetapi kita mungkin membaca kitab suci, tentang kehidupan Sang
Buddha, bagaimana beliau duduk di bawah pohon Bodhi dan memutuskan untuk
diri sendiri, "Selama Aku belum mencapai Penerangan Sempurna Aku tak
akan bangkit dari tempat ini, biarpun darahku mengering".
Membaca hal itu di dalam buku, kalian mungkin berpikir untuk
mencobanya sendiri. Kalian akan melakukannya seperti Sang Buddha. Tetapi
kalian belum mempertimbangkan bahwa kendaraan kalian hanyalah kecil.
Kendaraan Sang Buddha sungguh besar, beliau bisa membawa semuanya
mungkin kalian membawa semuanya sekaligus? Ini merupakan cerita yang
sungguh berbeda.
Mengapa kita berpikir seperti demikian? Karena kita terlalu
ekstrim. Kadang-kadang kita berjalan terlalu rendah, kadang kala kita
berjalan terlalu tinggi. Titik keseimbangan begitu sulit untuk ditemukan.
Sekarang saya berbicara hanya dari pengalaman. Pada waktu yang
lalu, praktek saya seperti itu. Praktek dalam rangka melampaui keinginan...
jika kita tidak ingin, dapatkah kita berlatih? Saya terhenti di sini.
Tetapi berlatih dengan nafsu-keinginan merupakan penderitaan. Saya tidak
tahu apa yang harus saya lakukan, saya bingung. Kemudian saya menyadari
bahwa praktek yang mantap adalah hal yang penting. Orang harus berlatih
dengan terus-menerus. Mereka menyebutnya praktek yang "teguh dalam semua
sikap badan". Tetaplah membersihkan praktek/latihan kita, jangan biarkan
ia menjadi malapetaka. Praktek merupakan satu hal, malapetaka adalah
yang lainnya (Di
sini permainan kata-kata Thai "pbadtibut" (praktek) dan "wibut"
(malapetaka) tak terdapat di dalam bahasa Inggris.).
Orang pada umumnya menciptakan malapetaka. Ketika mereka merasa malas
mereka tidak mempedulikan latihan, mereka hanya berlatih ketika mereka
merasa bersemangat. Begitulah kecenderungan saya saat itu.
Sekarang kalian bertanyalah pada diri sendiri apakah ini benar?
Berlatih ketika kalian menyukainya, tidak ketika tidak menyukainya:
apakah ini sesuai dengan Dharma? Apakah ini bersungguh-sungguh? Apakah
ini sejalan dengan ajaran? Inilah yang membuat praktek tidak teratur.
Apakah kalian merasa suka atau tidak, kalian harus berlatih yang
sama: demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha. Orang pada umumnya
menunggu sampai mereka berselera berlatih; ketika mereka tidak suka,
mereka tidak peduli. Beginilah cara mereka. Inilah yang disebut
malapetaka, ini bukanlah praktek. Dalam praktek yang sebenarnya, tak
peduli apakah kalian berbahagia atau tertekan, kalian tetap berlatih;
apakah mudah atau sulit kalian berlatih; apakah panas atau dingin,
kalian berlatih. Praktek benar-benar seperti ini. Dalam praktek yang
sebenarnya, apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring
kalian harus berkehendak untuk meneruskan praktek secara mantap, buatlah
sati
kalian tetap di semua sikap badan.
Pada pemikiran pertama, tampaknya kalian seperti harus berdiri
selama kalian berjalan, berjalan selama kalian duduk, duduk selama
kalian berbaring... Saya telah mencobanya tetapi saya tidak bisa
melakukannya. Jika seorang pemeditasi harus membuat berdiri, berjalan,
duduk, dan berbaring semua sama, selama berapa harikah ia bisa
mewujudkannya? Berdiri selama lima menit, duduk selama lima menit,
berbaring selama lima menit... saya tak bisa melakukannya untuk waktu
yang lama. Maka saya duduk dan memikirkannya lagi beberapa saat. "Apakah
arti semua ini? Orang di dunia tidak dapat berlatih seperti ini!"
Lalu saya menyadari... "Oh, itu tidak betul, itu tak benar
karena itu tidak mungkin dikerjakan. Berdiri, berjalan, duduk, berbaring...
buatlah semuanya konsisten. Untuk menjadikan sikap badan tetap seperti
dalam cara yang mereka terangkan dalam buku adalah tidak mungkin".
Tetapi mungkin untuk melakukan ini: Batin... hanya perhatikan
batin. Milikilah
sati
—ingatan,
sampajañña
—kesadaran-diri, dan
pañña
—kebijaksanaan menyeluruh... ini bisa kalian lakukan. Ini merupakan
sesuatu yang sangat berharga untuk dipraktekkan. Ini berarti ketika
berdiri kita mempunyai
sati,
ketika berjalan kita mempunyai
sati,
ketika duduk kita mempunyai
sati,
dan ketika berbaring kita mempunyai
sati
—secara terus-menerus. Ini memungkinkan. Kita menempatkan kesadaran di
dalam sikap-sikap badan kita seperti ketika sedang berdiri, berjalan,
duduk, berbaring.
Ketika batin sudah terlatih seperti ini ia akan terus-menerus
mengingat Buddho, Buddho, Buddho... yang berarti "mengetahui".
Mengetahui apa? Mengetahui apa yang benar dan apa yang salah pada setiap
saat. Ya, ini mungkin. Ini mendekati praktek yang sesungguhnya. Yaitu,
apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, di sana terdapat
sati
yang berkesinambungan.
Kemudian kalian harus memahami kondisi-kondisi yang harus
dilepaskan dan yang harus dikembangkan. Kalian mengerti kebahagiaan dan
ketidak-bahagiaan, batin kalian akan berada pada titik yang bebas dari
kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan. Kebahagiaan adalah jalan yang longgar,
kamasukhallikanuyogo.
Ketidak-bahagiaan adalah jalan sempit,
attakilamathanuyogo
(Ini
merupakan dua ekstrim yang dinyatakan sebagai jalan yang salah oleh Sang
Buddha dalam Khotbah Pertama Beliau. Mereka biasanya diterjemahkan "Menuruti
berbagai kesenangan inderawi" dan "penyiksaan diri).
Jika kita mengetahui kedua ekstrim ini, walaupun mungkin batin cenderung
pada satu atau yang lainnya, kita bisa menariknya kembali. Kita tahu
ketika batin cenderung ke arah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan dan
kita menariknya kembali, kita tidak mengizinkannya untuk mengikutinya.
Kita mempunyai kesadaran semacam ini, kita taat pada Satu Jalan, Dhamma
yang tunggal. Kita taat pada kesadaran, tidak mengizinkan batin untuk
mengikuti kecenderungannya.
Dalam praktek, yang penting adalah
patipada.
Apakah
patipada
itu? Ia hanyalah berbagai kegiatan kita, berdiri, berjalan, duduk,
berbaring dan yang lainnya. Inilah
patipada
dari jasmani. Sekarang
patipada
dari batin: dalam sepanjang hari ini berapa kalikah kalian merasa
tertekan? Berapa kali kalian merasa tersanjung? Adakah perasaan-perasaan
yang kelihatan jelas? Kita harus memahami diri kita seperti ini. Setelah
mengenali perasaan itu dapatkah kita melepaskannya? Apapun yang belum
dapat kita lepaskan, kita harus mengusahakannya. Bila kita tahu bahwa
kita belum bisa melepaskan perasaan tertentu maka kita harus mengambil
dan memeriksanya dengan kebijaksanaan. Carilah alasannya. Benahilah.
Inilah praktek. Sebagai misal, ketika kalian merasa bersemangat,
berlatihlah, dan ketika kalian merasa malas, cobalah untuk terus
berlatih. Jika kalian tidak bisa meneruskan dengan "kecepatan penuh",
paling tidak gunakan separuh kecepatan. Jangan buang-buang waktu dengan
bermalasan dan tidak berlatih. Dengan bersikap seperti itu, akan membawa
malapetaka, itu bukan cara seorang pelaksana.
Saya mendengar beberapa orang berkata,
"Oh, tahun ini saya sungguh tidak beruntung".
"Bagaimana bisa?"
"Sepanjang tahun saya sakit. Saya sama sekali tak bisa berlatih".
Oh! Jika mereka tidak berlatih ketika kematian sudah mendekat,
kapan mereka akan pernah berlatih? Jika mereka merasa baik apakah kalian
pikir mereka akan berlatih? Tidak, mereka hanya terlena dalam
kebahagiaan. Jika mereka menderita mereka tetap tidak berlatih, mereka
terlena di sana. Saya tidak tahu kapan orang berpikir bahwa mereka akan
berlatih! Mereka hanya bisa melihat bahwa mereka sakit, nyeri, hampir
mati karena demam... itu benar, bawalah beban itu, di situlah praktek
itu. Ketika orang merasa bahagia itu hanya memenuhi kepala mereka dan
mereka menjadi somsong dan congkak.
Inilah sebabnya para pelaksana di masa lalu semuanya
mempertahankan latihan batin yang mantap. Jika ada yang salah, biarlah
itu hanya kesalahan jasmani, bukan kesalahan di dalam batin.
Suatu ketika dalam praktek saya, setelah saya berlatih sekitar
lima tahun, saya merasa bahwa hidup bersama orang lain merupakan
rintangan. Saya duduk di
kuti
dan mencoba untuk bermeditasi, tapi orang-orang tetap datang untuk
berbincang dan mengganggu saya. Saya pergi untuk hidup sendiri. Saya
pikir saya tidak bisa berlatih dengan orang yang mengganggu. Saya bosan,
saya pergi untuk hidup di satu vihara kecil yang sepi di hutan, dekat
sebuah desa kecil. Saya tinggal di sana seorang diri, tidak berbicara
pada siapapun —karena tidak ada orang lain untuk diajak berbicara.
Setelah saya berada di sana selama kira-kira lima belas hari,
muncul pikiran, "Hm. Akan sangat baik jika saya ditemani oleh seorang
samanera atau
pa-kow ("Pa-kow":
seorang calon yang menjalani delapan sila, yang sering tinggal bersama
para bhikkhu dan, selain melakukan praktek meditasi untuk dirinya,
mereka juga membantu para bhikkhu dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu
yang tidak boleh dilakukan para bhikkhu berdasarkan vinaya.)
di sini. Ia bisa membantu saya dalam beberapa pekerjaan ringan". Saya
tahu itu akan muncul, dan pasti, inilah dia!
"Hei! Kamu memang aneh! Kamu katakan bosan dengan teman-temanmu,
bosan dengan para bhikkhu dan samanera, dan sekarang kamu menginginkan
seorang samanera. Apa ini?"
"Tidak", katanya, "aku menginginkan seorang samanera yang baik".
"Nah! Di manakah semua orang yang baik, dapatkah kamu
menemukannya? Di mana kamu akan menemukan orang baik? Di seluruh vihara
hanya ada orang tidak baik. Kamulah satu-satunya orang yang baik, yang
harus melarikan diri seperti ini!"
...Kalian harus mengikutinya seperti ini, mengikuti jalan
pikiran kalian sampai kalian melihat...
"Hm. Inilah yang terpenting. Di manakah bisa ditemukan orang
baik? Tidak ada orang baik, kalian harus menemukan orang baik di dalam
diri kalian sendiri!"
Sampai sekarang saya tetap mengajar murid saya seperti ini.
Kalian tak akan menemukan kebaikan di manapun, kalian harus mencari di
dalam diri sendiri. Jika kalian baik maka ke manapun kalian pergi akan
jadi baik. Apakah orang lain mengkritik atau memuji kalian, kalian tetap
baik. Jika kalian tidak baik, maka ketika orang mengkritik kalian,
kalian menjadi marah, dan ketika mereka memuji, kalian menjadi senang.
Saat itu saya merenungkan hal ini dan merasa bahwa itu benar
dari saat itu sampai sekarang. Kebaikan harus dicari di dalam. Segera
setelah saya melihatnya, perasaan ingin melarikan diri lenyap.
Selanjutnya, setiap saya mempunyai keinginan itu saya melepaskannya.
Kapan saja ia muncul saya menyadarinya dan menempatkan kesadaran saya di
sana. Dengan cara itu saya mempunyai landasan yang kokoh. Di manapun
saya hidup, apakah orang mencela saya atau apapun yang akan mereka
katakan, saya akan merenungkan bahwa masalahnya bukan "mereka" itu baik
atau jahat. Baik dan jahat harus dilihat dalam diri kita sendiri.
Bagaimanapun orang lain, itu adalah urusan mereka.
Janganlah berpikir, "Oh, hari ini terlalu panas", atau, "hari
ini terlalu dingin", atau "hari ini..." Bagaimanapun hari ini itulah
perwujudannya. Kalian mencela cuaca hanya karena kemalasan kalian
sendiri. Kita harus melihat Dhamma di dalam diri sendiri, maka di sana
ada jenis kedamaian yang lebih pasti.
Walaupun beberapa di antara kalian mungkin merasakan kedamaian
ketika sedang duduk bermeditasi, janganlah tergesa-gesa untuk menyalami
diri kalian. Demikian pula jika terjadi kebingungan, janganlah mencela
diri sendiri. Jika sesuatu terlihat baik, jangan menyenangi mereka dan
jika mereka tidak baik janganlah membenci mereka. Amati saja mereka
semua, amati apa yang kalian miliki. Hanya mengamati, jangan mengadili.
Jika baik jangan menggenggamnya erat-erat; jika buruk, jangan melekat
padanya. Baik dan buruk keduanya bisa menggigit, jadi jangan menggenggam
mereka.
Praktek ini adalah hanya duduk, duduk dan mengamati semuanya.
Suasana hati yang baik dan buruk datang dan pergi sesuai dengan
alamiahnya. Jangan hanya memuji batin kalian atau hanya mencelanya,
ketahuilah saat-saat yang tepat untuk hal-hal ini. Jika saatnya untuk
memberi salam maka salamilah, tetapi sedikit saja, jangan berlebihan.
Tepat seperti mengajar seorang anak, kadang kala kalian boleh memukul
pantatnya sedikit. Di dalam praktek kita, kadang kala kita harus
menghukum diri sendiri, tetapi janganlah menghukum dirimu sepanjang
waktu. Jika kalian selalu menghukum dirimu sepanjang waktu, maka kalian
akan berhenti berlatih. Tetapi kalian juga tidak boleh memanjakan diri
dan menganggap enteng. Itu bukan cara berlatih. Kita berlatih sesuai
dengan Jalan Tengah. Apakah Jalan tengah itu? Jalan Tengah ini sulit
diikuti, kalian tidak bisa mempercayakan pada suasana-hati atau
keinginan-keinginan kalian.
Jangan berpikir bahwa duduk dengan mata terpejam saja adalah
praktek. Jika kalian berpikir seperti itu cepatlah ubah pikiran kalian!
Praktek yang mantap adalah mempunyai sikap praktek saat berdiri,
berjalan, duduk, dan berbaring. Jika berhenti dari meditasi duduk jangan
berpikir bahwa kalian berhenti bermeditasi, renungkan bahwa kalian hanya
mengubah sikap badan. Jika kalian merenungkan seperti itu maka kalian
akan mendapatkan kedamaian. Di manapun kalian berada, kalian akan
memiliki sikap praktek ini terus-menerus, kalian akan mempunyai
kesadaran yang mantap di dalam diri kalian sendiri.
Mereka yang setelah menyelesaikan saat duduk di malam hari, lalu
menuruti suasana-hati mereka, menghabiskan waktu sepanjang hari dengan
membiarkan batin berkelana ke mana ia suka, akan merasa pada malam
selanjutnya ketika duduk bermeditasi, semua yang mereka dapatkan adalah
"akibat buruk" dari berpikir tanpa tujuan di siang hari. Tidak ada
landasan ketenangan karena mereka telah membiarkannya beku sepanjang
hari. Jika kalian berlatih seperti ini batin kalian secara bertahap akan
menjauh dari sang praktek. Ketika saya menanyai beberapa murid saya, "Bagaimana
dengan meditasi kalian?" Mereka berkata, "Oh, semuanya sudah hilang
sekarang". Kalian lihat? Mereka bisa mempertahankan untuk satu atau dua
bulan tetapi dalam satu atau dua tahun semuanya sudah berakhir.
Mengapa bisa begini? Karena mereka tidak menerapkan pokok
penting ini ke dalam praktek mereka. Ketika mereka telah selesai duduk
mereka melepaskan
samadhi
mereka. Mereka mulai duduk untuk masa yang lebih singkat dan singkat
lagi, sampai mereka mencapai titik di mana begitu mereka mulai duduk
mereka segera ingin mengakhirinya. Akhirnya mereka bahkan tidak duduk
sama sekali. Sama halnya dengan bersujud di hadapan arca Sang Buddha.
Pada awalnya mereka berusaha untuk bersujud setiap malam sebelum mereka
tidur, tetapi sesaat kemudian batin mereka mulai menyimpang. Seterusnya
mereka tidak peduli dengan bersujud lagi, mereka hanya mengangguk,
sampai akhirnya semua hilang. Mereka membuang semua prakteknya.
Oleh karena itu, sadarilah pentingnya
sati,
berlatihlah terus-menerus. Latihan yang benar adalah latihan yang mantap.
Apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring latihan harus
berkelanjutan. Ini berarti bahwa praktek, atau meditasi, dikerjakan di
dalam batin, tidak di dalam jasmani. Jika batin kita bersemangat,
bersungguh-sungguh dan sangat rajin, maka di sana ada kesadaran. Batin
merupakan sesuatu yang penting. Batinlah yang mengawasi segala sesuatu
yang kita lakukan.
Jika kita memahami dengan benar maka kita berlatih dengan benar.
Jika kita berlatih secara benar kita tak akan tersesat. Biarpun kita
hanya melakukan sejenak ia tetap benar. Misalnya, ketika kalian selesai
duduk bermeditasi, ingatkan diri kalian bahwa sesungguhnya kalian tidak
selesai meditasi, kalian hanyalah mengubah sikap badan. Batin kalian
tetap tenang. Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring,
kalian tetap memiliki
sati.
Jika kalian memiliki kesadaran semacam ini kalian dapat mempertahankan
praktek di dalam batin kalian. Pada malam hari ketika kalian kembali
duduk, praktek kalian berlanjut tanpa terganggu. Usaha kalian tidak
gagal, mengantarkan batin untuk mencapai ketenangan.
Ini disebut latihan yang mantap. Apakah kita sedang berjalan
atau mengerjakan hal lain kita harus berusaha menjadikan praktek tetap
berlanjut. Jika batin kita mempunyai ingatan dan kesadaran secara
terus-menerus, praktek kita dengan sendirinya akan berkembang, ia
akhirnya akan menyatu. Batin akan menemukan kedamaian, akrena ia akan
mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Ia akan melihat apa yang
terjadi dalam diri kita serta menemukan kedamaian.
Jika kita mau mengembangkan
sila
(pengendalian moral), atau
samadhi
(ketetapan batin) pertama-tama kita harus mempunyai
pañña
(kebijaksanaan). Sebagian orang berpikir bahwa mereka akan mengembangkan
pengendalian
sila
selama setahun,
samadhi
pada tahun berikutnya dan setelah itu mereka akan mengembangkan
kebijaksanaan. Mereka pikir tiga hal ini saling terpisah. Mereka pikir
bahwa tahun ini mereka akan mengembangkan, tetapi jika batinnya tidak
kokoh
(samadhi),
bagaimana mereka bisa mengerjakannya? Jika tidak ada pemahaman
(pañña)
bagaimana mereka bisa melakukannya? Tanpa
samadhi
atau
pañña,
sila
akan lemah.
Pada kenyataannya ketiga hal ini terjadi bersamaan pada titik
yang sama. Jika kita memiliki
sila
kita memiliki
samadhi,
jika kita memiliki
samadhi
kita memiliki
pañña.
Mereka semuanya satu, seperti mangga. Apakah kecil atau besar, ia tetap
mangga. Ketika masak ia tetap mangga yang sama. Jika kita berpikir
secara sederhana seperti ini kita bisa lebih mudah melihatnya. Kita tak
perlu belajar banyak hal, cukup pahami hal ini, pahami praktek kita.
Ketika bermeditasi ada orang yang tidak mendapatkan apa yang
mereka inginkan, sehingga mereka menyerah, dengan berkata bahwa saat ini
mereka belum memiliki cukup kebajikan untuk praktek meditasi. Mereka
bisa melakukan hal-hal buruk, mereka mempunyai bakat semacam itu, tetapi
mereka tidak berbakat untuk berbuat baik. Mereka mengabaikannya dengan
mengatakan bahwa mereka belum mempunyai cukup dasar. Begitulah orang
pada umumnya, mereka berdampingan dengan kekotoran-kekotoran batin
mereka.
Sekarang kalian memiliki kesempatan untuk berlatih, cobalah
pahami bahwa apakah kalian merasa sulit atau mudah untuk mengembangkan
samadhi,
semuanya terserah pada kalian, bukan pada
samadhi.
Jika sulit, itu karena kalian berlatih secara salah. Di dalam praktek,
kita harus mempunyai "Pandangan Benar"
(sammaditthi).
Jika pandangan kita benar maka yang lainnya juga benar. Pandangan benar,
pikiran benar, ucapan benar, konsentrasi benar —Jalan Mulia berunsur
delapan. Jika ada pandangan benar, semua faktor lainnya akan mengikuti.
Apapun yang terjadi, jangan biarkan batin kalian keluar dari
jalur. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan kalian akan melihat secara
jelas. Untuk praktek yang terbaik, seperti yang saya lihat, tidaklah
perlu untuk membaca terlalu banyak buku. Ambillah semua buku itu dan
simpanlah. Bacalah hanya pikiran kalian. Kalian semua sudah mengubur
diri di dalam buku sejak saat kalian bersekolah. Saya pikir sekarang
kalian berkesempatan serta mempunyai waktu, ambillah semua buku,
tempatkan mereka dalam lemari dan kuncilah pintunya. Bacalah hanya
pikiran kalian.
Ketika sesuatu muncul di dalam batin, apakah kalian menyukainya
atau tidak, apakah ia tampak betul atau salah, potonglah dengan "ini
bukanlah sesuatu yang pasti". Apapun yang muncul pangkaslah, "tidak
pasti, tidak pasti". Hanya dengan satu kapak ini kalian bisa memotong
semuanya. Semuanya "tidak pasti".
Selama bulan depan di mana kalian akan tetap tinggal di vihara
hutan ini, kalian harus mencapai banyak kemajuan. Kalian akan melihat
kebenaran. "Tidak pasti" ini sangatlah penting. Ia mengembangkan
kebijaksanaan. Lebih banyak kalian mengamati, lebih banyak kalian akan
melihat "ketidak-pastian" ini. Setelah kalian memotong sesuatu dengan "tidak
pasti" ia akan berputar dan akan muncul lagi. Ya, itu sungguh "tidak
pasti". Kalian melekat pada tanda... "tidak pasti" ...dan sebentar
kemudian giliran muncul, ia bersemi lagi... "Ah tidak pasti". Galilah di
sini! Tidak pasti. Kalian akan melihat hal tua yang sama ini telah
membodohi kalian selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, sejak kalian
dilahirkan. Hanya satu inilah yang telah mengelabui kalian selama ini.
Amatilah hal ini dan sadarilah bagaimana ia sebenarnya.
Ketika praktek kalian mencapai titik ini kalian tak akan melekat
pada sensasi/perasaan, karena mereka semua tidak pasti. Pernahkah kalian
memperhatikannya? Mungkin kalian melihat sebuah jam dan berpikir, "Oh,
ini bagus". Belilah dan amati... tidak berapa lama kalian sudah bosan
padanya. "Pena ini sungguh indah", maka kalian bersusah-payah membelinya.
Dalam beberapa bulan sekali lagi kalian bosan padanya. Begitulah adanya.
Di manakah ada kepastian?
Jika kita melihat semua hal ini sebagai tidak pasti maka
nilainya jadi memudar. Semuanya menjadi tidak berarti. Mengapa kita
harus menggenggam benda-benda yang tidak bernilai ini? Kita menyimpannya
hanya seperti kita menyimpan keset tua untuk membersihkan kaki kita.
Kita melihat semua sensasi sama nilainya karena mereka semua bersifat
sama.
Ketika kita memahami sensasi, kita memahami dunia ini. Dunia
adalah sensasi dan sensasi adalah dunia. Jika kita tidak dikelabui oleh
sensasi kita tidak dikelabui oleh dunia. Jika kita tidak dikelabui oleh
dunia kita tidak dikelabui oleh sensasi/perasaan.
Batin yang
melihat hal ini akan mempunyai landasan kebijaksanaan yang kokoh. Batin
seperti itu tidak akan mempunyai banyak persoalan. Persoalan-persoalan
apapun yang datang akan dapat ia selesaikan. Jika tidak ada persoalan
lagi, maka tidak ada lagi keraguan. Kedamaian muncul sebagai manfaatnya.
Inilah yang disebut
"Praktek".
Jika kita benar-benar
berlatih ia haruslah seperti ini.
Perhatikan contoh Sang Buddha. Baik praktek
maupun cara mengajar Beliau kepada para siswaNya patut diteladani. Sang
Buddha mengajarkan standar-standar/norma-norma praktek sebagai alat yang
bermanfaat untuk bebas dari kesombongan. Beliau tidak dapat melakukan
praktek tersebut untuk kita. Setelah mendengarkan ajaran itu, kita harus
mengajar diri sendiri lebih mendalam, berlatih untuk diri sendiri.
Hasilnya akan muncul di sini, bukan pada sang ajaran.
Ajaran Sang Buddha hanya memungkinkan
kita untuk mendapatkan pemahaman awal tentang Dhamma, tetapi Dhamma
sendiri belum berada di dalam hati kita. Mengapa begitu? Karena kita
belum berlatih, kita belum mengajar diri kita sendiri. Dhamma muncul di
dalam praktek. Jika kalian mengetahuinya, kalian mengetahuinya lewat
praktek. Jika kalian meragukannya, ragukanlah pada prakteknya. Ajaran
Sang Buddha memang benar, tetapi hanya dengan mendengarkan Dhamma
tidaklah cukup untuk membuat kita merealisasinya. Sang Ajaran hanya
menunjukkan jalan untuk relisasi. Untuk merealisasi Dhamma kita harus
mengambil ajaran itu dan menempatkannya di dalam batin kita. Bagian
untuk jasmani kita terapkan untuk jasmani, bagian untuk batin kita
terapkan pada batin. Ini berarti setelah mendengarkan Dhamma kita
selanjutnya harus mengajar diri sendiri untuk mengetahui Dhamma itu,
untuk menjadi Dhamma itu sendiri.
Sang Buddha mengatakan bahwa mereka
yang hanya mempercayai orang lain tidaklah sepenuhnya bijaksana. Seorang
bijaksana berlatih sampai ia menjadi satu dengan Dhamma, sampai ia
mempunyai keyakinan di dalam dirinya, tidak tergantung pada orang lain.
Pada suatu ketika, ketika Yang Ariya
Sariputta sedang duduk, dengan penuh perhatian mendengarkan Sang Buddha
membabarkan Dhamma, Sang Buddha menengok ke arahnya dan bertanya, "Sariputta,
apakah kamu mempercayai ajaran ini?" Yang Ariya Sariputta menjawab, "Tidak,
saya belum mempercayainya".
Ini merupakan gambaran yang baik. Yang
Ariya Sariputta mendengarkan, dan beliau memperhatikan. Ketika beliau
menjawab bahwa beliau belum percaya tersebut bukannya beliau ceroboh,
tapi beliau berkata jujur. Beliau baru saja memperhatikan ajaran itu,
maka beliau mengatakan pada Sang Buddha bahwa beliau belum mempercayai —karena
memang beliau tidak percaya. Dengan mengeluarkan kata-kata ini
sepertinya Yang Ariya Sariputta tidak sopan, tetapi sesungguhnya tidak
begitu. Beliau mengatakan kebenaran, dan untuk itu Sang Buddha memujinya.
"Bagus, bagus, Sariputta. Seorang bijak tidak percaya begitu saja, ia
harus mempertimbangkan dahulu sebelum mempercayainya".
Keyakinan pada suatu kepercayaan dapat
berwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk pertama adalah penalaran sesuai
dengan Dhamma, sedangkan yang lainnya bertentangan dengan Dhamma. Cara
yang kedua ini berbahaya, itu adalah pemahaman yang membabi-buta,
micchaditthi,
pandangan salah. Orang tersebut tidak akan mendengarkan siapapun juga.
Ambillah contoh Brahmana Dighanakha.
Brahmana ini hanya mempercayai dirinya, ia tidak mau percaya pada orang
lain. Pada satu ketika saat Sang Buddha sedang beristirahat di Rajagaha,
Dighanakha pergi untuk mendengarkan ajaran Sang Buddha. Atau bisa
dikatakan bahwa Dighanakha pergi untuk mengajar Sang Buddha, karena ia
bermaksud untuk menguraikan pandangannya sendiri...
"Saya berpandangan bahwa tidak ada
yang cocok denganku".
Itulah pandangannya. Sang Buddha
mendengarkan pandangan Dighanakha lalu menjawabnya, "Brahmana,
pandanganmu juga tidak cocok untukmu".
Ketika Sang Buddha menjawab demikian,
Dighanakha terbungkam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sang
Buddha menjelaskan dalam berbagai cara, sampai di Brahmana mengerti. Ia
berhenti untuk merenungkan dan melihat...
"Hmm, pandanganku ini tidak benar".
Ketika mendengar jawaban Sang Buddha
si Brahmana melepaskan pandangannya yang congkak dan segera melihat
kebenaran. Ia segera berubah, berpaling, seperti orang yang membalikkan
telapak tangannya. Ia memuji ajaran Sang Buddha, sebagai berikut: "Mendengarkan
ajaran Sang Buddha, batinku diterangi, sama seperti orang yang hidup
dalam kegelapan melihat cahaya. Batinku seperti baskom terbalik yang
ditegakkan kembali, seperti orang tersesat yang menemukan jalannya".
Pada saat itu satu pengetahuan
tertentu muncul dalam batinnya, di dalam batin yang telah diluruskan.
Pandangan salah lenyap dan muncul pandangan benar. Kegelapan hilang dan
muncul cahaya.
Sang Buddha menyatakan bahwa Brahmana
Dighanakha merupakan orang yang telah membuka Mata Dhamma. Awalnya
Dighanakha terikat pada pandangan sendiri dan tidak berniat untuk
mengubahnya. Tetapi ketika ia mendengarkan ajaran Sang Buddha batinnya
melihat kebenaran, ia melihat bahwa kemelekatannya pada pandangan itu
salah. Ketika pengertian benar muncul ia mampu melihat bahwa
pengertiannya dahulu sebagai kesalahan, sehingga ia membandingkan
pengalamannya dengan orang yang hidup dalam kegelapan yang kini telah
menemukan cahaya. Begitulah keadaannya. Saat itu Brahmana Dighanakha
mengatasi pandangan salahnya.
Sekarang kita harus berubah seperti
itu. Sebelum kita bisa melepaskan kekotoran-kekotoran batin, kita harus
mengubah pandangan kita. Kita harus mulai berlatih dengan benar dan baik.
Sebelumnya kita tidak berlatih dengan benar dan baik, tetapi kita pikir
kita benar dan baik. Jika kita benar-benar memperhatikan permasalahannya,
kita meluruskan diri sendiri, seperti membalikkan telapak tangan. Ini
berarti bahwa "Sesuatu yang Mengetahui", atau kebijaksanaan, muncul di
dalam batin, sehingga ia mampu melihat segala sesuatu secara benar.
Suatu kesadaran baru muncul.
Oleh sebab itu para pelaksana Dhamma
harus berlatih untuk mengembangkan pengetahuan ini, yang kita sebut
Buddho,
Sesuatu Yang Mengetahui, di dalam batin mereka. Awalnya, sesuatu yang
mengetahui ini tidak ada di sana, pengetahuan kita tidak jernih, tidak
benar atau lengkap. Oleh karena itu pengetahuan ini terlalu lemah untuk
melatih sang batin. Tetapi batin selanjutnya berubah, atau berbalik,
sebagai akibat dari kesadaran ini, yang disebut kebijaksanaan atau
pandangan terang, yang melampaui kesadaran kita sebelumnya. "Sesuatu
yang Mengetahui" sebelumnya adalah belum sepenuhnya mengerti sehingga ia
tidak bisa membawa kita kepada tujuan.
Itulah sebabnya Sang Buddha mengajar
untuk melihat ke dalam,
opanayiko.
Lihatlah ke dalam, jangan melihat ke luar. Atau jika kalian melihat ke
luar maka lihatlah ke dalam, untuk melihat sebab dan akibat di sana.
Lihatlah kebenaran pada semua hal, karena obyek di luar dan di dalam
selalu berpengaruh satu sama lain. Praktek kita adalah untuk membangun
bentuk kesadaran tertentu sampai ia menjadi lebih kuat daripada
kesadaran kita yang sebelumnya. Ini menyebabkan kebijaksanaan dan
pandangan terang muncul di dalam batin, yang memungkinkan kita untuk
mengetahui secara jelas bekerjanya batin, bahasa batin, serta jalan dan
cara dari semua kekotoran-batin.
Sang Buddha, ketika Beliau pertama
kali meninggalkan rumah untuk mencari pembebasan, mungkin tidak yakin
apa yang harus dikerjakan, seperti juga kita. Beliau mencoba berbagai
cara untuk mengembangkan kebijaksanaannya. Beliau mencari guru, seperti
Udaka Ramaputra, pergi ke sana untuk berlatih meditasi... kaki kanan di
atas kaki kiri, tangan kanan di atas tangan kiri... badan tegak... mata
dipejamkan... melepaskan segala sesuatu... sampai Beliau bisa mencapai
tingkat penyerapan yang tinggi,
samadhi (Tingkat
dari kekosongan, salah satu dari "penyerapan tanpa-bentuk",
kadang-kadang disebut "jhana" atau penyerapan ketujuh).
Tetapi ketika Beliau ke luar dari samadhi itu, pemikiran kuno Beliau
muncul dan Beliau akan melekat padanya seperti dahulu. Melihat hal ini,
Beliau menyadari bahwa kebijaksanaan belum muncul. Pemahaman Beliau
belum menembus kebenaran, ia tetap belum lengkap, tetap kurang, namun
melihat hal ini Beliau memperoleh sedikit pengertian —bahwa ini belumlah
puncak dari praktek —lalu Beliau meninggalkan tempat itu untuk mencari
guru yang baru lagi.
Ketika Sang Buddha meninggalkan guru
lamanya, Beliau tidak mencelanya, Beliau melakukannya seperti lebah yang
menghisap sari bunga tanpa merusak kelopaknya.
Sang Buddha lalu melanjutkan belajar
pada Alara Kalama dan mencapai keadaan samadhi yang lebih tinggi, tetapi
ketika Beliau keluar dari keadaan itu, Bimba dan Rahula (Bimba,
atau Putri Yasodhara, mantan istri Sang Buddha; Rahula, putra Beliau.)
kembali lagi ke dalam pikiran Beliau, ingatan-ingatan dan
perasaan-perasaan masa lalu muncul lagi. Beliau tetap mempunyai nafsu
dan keinginan. Merenungkan di dalam batin seperti ini, Beliau melihat
bahwa Beliau tetap belum mencapai tujuannya, sehingga Beliau
meninggalkan pula guru itu. Beliau mendengar kepada guru-gurunya dan
melakukan yang terbaik dalam mengikuti ajaran mereka. Beliau
terus-menerus mengamati hasil dari prakteknya, Beliau tidak hanya
melakukan sesuatu lalu membuangnya untuk sesuatu yang lain.
Bahkan ketika sampai pada praktek
pertapaan, setelah Beliau mencobanya, Beliau menyadari bahwa kelaparan
sampai seseorang bagaikan tengkorak hanyalah sesuatu untuk jasmani.
Jasmani tidak mengetahui apapun. Praktek dengan cara itu bagaikan
menghukum orang yang tidak bersalah dengan membiarkan pencuri yang
sesungguhnya merajarela.
Ketika Sang Buddha benar-benar melihat
persoalannya, Beliau melihat bahwa praktek bukanlah soal jasmani, ia
merupakan persoalan batin.
Attakilamathanuyoga
(penyiksaan-diri) —Sang Buddha telah mencobanya dan menyadari bahwa itu
hanya terbatas pada jasmani. Pada kenyataannya, para Buddha mencapai
penerangan di dalam batin.
Berkenaan dengan jasmani ataupun batin,
buanglah semuanya sebagai Sementara, Tidak Sempurna, dan Tanpa Pemilik —anicca,
dukkha,
dan
anatta.
Mereka hanyalah kondisi-kondisi dari Alam. Mereka muncul bergantung pada
faktor-faktor pendukung, muncul sesaat lalu lenyap. Jika ada kondisi
yang cocok, mereka muncul lagi; setelah muncul mereka bertahan sejenak
lalu lenyap lagi. Keadaan-keadaan ini bukanlah "diri", "makhluk", "kita"
atau "mereka". Tidak ada siapapun di sana, hanya perasaan. Kebahagiaan
tidak mempunyai diri yang hakiki, penderitaan tidak memiliki diri yang
hakiki. Tak ada diri yang bisa ditemukan, hanya ada unsur-unsur Alam
yang muncul, bertahan dan lenyap. Mereka berjalan pada lingkaran
perubahan yang terus-menerus.
Semua makhluk, termasuk manusia,
cenderung untuk melihat kemunculan sebagai diri mereka, keberadaan
sebagai diri mereka, dan penghentian sebagai diri mereka. Jadi mereka
terikat pada segala sesuatu. Mereka tidak menginginkan segala sesuatu
berjalan sebagai apa adanya, mereka menginginkan hal-hal tersebut
menjadi sebaliknya. Misalnya, setelah muncul mereka tidak
mengharapkannya lenyap; setelah merasakan kebahagiaan, mereka tidak
menginginkan penderitaan. Jika penderitaan muncul mereka menginginkan
agar penderitaan pergi secepat mungkin, bahkan lebih baik ia tidak
muncul sama sekali. Ini karena mereka melihat jasmani dan batin sebagai
diri mereka, atau menjadi milik mereka, sehingga mereka meminta semuanya
mengikuti keinginan mereka.
Pemikiran semacam ini seperti
membangun waduk atau tambak tanpa membuat saluran untuk dilewati air.
Akibatnya bendungan itu bobol. Begitulah dengan pemikiran semacam ini.
Sang Buddha melihat bahwa cara pemikiran semacam inilah penyebab dari
penderitaan. Melihat sebab ini, Sang Buddha melepaskannya.
Inilah Kesunyataan Mulia tentang
Penyebab Penderitaan. Kebenaran tentang Penderitaan, Penyebabnya,
Penghentiannya, dan Jalan Menuju Penghentian itu. Orang-orang melekat di
sini. Jika orang harus mengatasi keragu-raguannya maka di situlah pokok
permasalahannya. Setelah melihat bahwa hal ini hanyalah
rupa
dan
nama,
atau jasmaniah dan badaniah, yang ternyata bahwa mereka bukanlah makhluk,
orang, "kita" atau "mereka". Mereka hanya mengikuti hukum alam.
Praktek kita adalah untuk mengetahui
segala sesuatu dalam cara ini. Kita tidak memiliki kekuatan untuk
sepenuhnya mengendalikan keadaan ini, kita bukanlah pemilik mereka.
Berusaha untuk mengendalikan mereka hanya menyebabkan penderitaan,
karena mereka tidak sepenuhnya di bawah kendali kita. Baik jasmani
maupun batin, bukanlah pribadi atau yang lainnya. Jika kita mengetahui
keadaan ini sebagaimana adanya maka kita melihat dengan jelas. Kita
melihat kebenaran, kita menyatu dengannya. Bagaikan melihat potongan
besi panas yang telah dipanaskan dalam pembakaran. Semuanya panas.
Apakah kita memegang di atas, di bawah, atau di sisi, semuanya panas.
Tidak peduli di mana kita memegangnya, semuanya panas. Begitulah
seharusnya kalian melihat segala sesuatu.
Biasanya ketika kita mulai berlatih
kita ingin mencapai, memperoleh, mengetahui dan melihat, tetapi kita
belum mengetahui apakah yang ingin kita capai atau ketahui. Pernah ada
seorang murid saya yang prakteknya diganggu dengan kebingungan dan
keragu-raguan. tetapi ia tetap berlatih, dan saya tetap memberinya
petunjuk, sampai ia mulai menemukan sedikit kedamaian. Tetapi ketika
akhirnya ia menjadi sedikit tenang ia terperangkap dalam
keragu-raguannya lagi, dengan berkata, "Apa yang selanjutnya harus
kukerjakan?" Nah! kebingungan muncul lagi. Ia berkata ia menginginkan
kedamaian tetapi ketika ia mendapatkannya, ia tak menghendakinya, ia
bertanya selanjutnya apa yang harus ia kerjakan!
Jadi di dalam praktek ini kita harus
mengerjakannya dengan melepaskan. Bagaimana kita melepaskan? Kita
melepaskan dengan melihat segala sesuatu dengan kelas. Ketahuilah
sifat-sifat jasmani dan batin sebagaimana adanya. Kita bermeditasi untuk
menemukan kedamaian, tetapi dengan melakukan ini kita melihat apa yang
tidak tenang. Ini karena sifat batin adalah bergerak.
Ketika berlatih samadhi kita
memutuskan perhatian kita pada keluar-masuknya napas di ujung hidung
atau bibir atas. "Mengangkat" batin untuk memusatkannya disebut
vitakka,
atau "mengangkat". Ketika kita sudah "mengangkat" batin dan mantap pada
satu obyek, ini disebut
vicara,
perenungan terhadap napas pada ujung hidung. Sifat
vicara
ini secara alamiah akan bercampur dengan perasaan-perasaan mental
lainnya, dan kita mungkin berpikir bahwa batin kita tidak tenang, ia
tidak mau mengendap, tetapi sesungguhnya ini hanya proses kerja dari
vicara
ketika ia bercampur dengan perasaan-perasaan lainnya. Apabila hal ini
berjalan terlalu jauh pada arah yang salah, batin kita akan kehilangan
ketenangan, maka selanjutnya kita harus menata batin sekali lagi,
mengangkatnya pada obyek konsentrasi dengan
vitakka.
Segera setelah kita membangun perhatian kita,
vicara
akan mengambil alih, bercampur dengan berbagai macam perasaan mental
lainnya.
Sekarang apabila kita melihat hal ini
terjadi, pengertian kita yang masih lemah mungkin mengarahkan kita untuk
berpikir: "Mengapa pikiranku selalu mengembara? Saya inginkan dia agar
tenang/diam, mengapa ia tidak tenang?" Ini adalah berlatih dengan
kemelekatan.
Sesungguhnya batin hanya mengikuti
alamiahnya, tetapi kita berjalan dan menambahkan kegiatan dengan
menginginkan batin untuk tenang, dan berpikir, "Mengapa ia tidak tenang?"
Kebencian muncul dan kita menambahkannya pada yang lain-lainnya pula,
memperbesar keragu-raguan kita, memperbesar penderitaan kita dan
memperbesar kebingungan kita. Jadi jika ada
vicara,
renungkanlah berbagai kejadian dalam batin dengan cara ini, kita harus
dengan cara bijaksana mempertimbangkan... "Ah, batin hanyalah seperti
ini". Nah, di sana "Sesuatu Yang Mengetahui" sedang berbicara, berkata
pada kalian untuk melihat segala sesuatu sebagaimana mereka adanya.
Batin hanyalah seperti itu. Kita lepaskan hal itu dan batin akan menjadi
tenang. Jika ia sudah tidak terpusat lagi sekali lagi kita angkat
vitakka,
dan segera ada ketenangan lagi.
Vitakka
dan
vicara
bekerjasama seperti ini. Kita menggunakan
vicara
untuk merenungkan berbagai sensasi/perasaan yang timbul. Ketika
vicara
secara berangsur-angsur terpencar maka sekali lagi kita "angkat"
perhatian kita dengan
vitakka.
Yang terpenting di sini adalah praktek
kita pada titik ini harus dilakukan dengan melepaskan. Melihat proses
vicara
saling mempengaruhi dengan sensasi-sensasi batin, kita mungkin mengira
bahwa batin bingung dan marah terhadap proses ini. Inilah sebab
sesungguhnya. Kita tidak berbahagia hanya karena kita menginginkan batin
menjadi tenang. Ini adalah penyebab pandangan salah. Seandainya kita
memperbaiki pandangan kita sedikit saja, melihat kegiatan ini hanya
sebagai sifat batin, ini saja cukup untuk mengatasi kebingungan. Ini
disebut
melepaskan.
Sekarang, jika kita tidak melekat,
jika kita berlatih dengan melepaskan... melepas di dalam kegiatan dan
kegiatan di dalam melepas... jika kita belajar berlatih seperti ini,
maka
vicara
secara alamiah cenderung kurang berpengaruh. Jika batin kita berhenti
terganggu,
vicara
akan cenderung untuk merenungkan Dhamma, karena jika kita tidak
merenungkan Dhamma, batin akan kembali terganggu.
Jadi ada
vitakka
lalu
vicara,
vitakka
lalu
vicara,
vitakka
lalu
vicara
dan seterusnya, sampai
vicara
akhirnya menjadi lebih halus. Pada mulanya
vicara
pergi mengenbara ke berbagai tempat. Bilamana kita memahami hal ini
hanya sebagai kegiatan batin, ia tak akan mengganggu kita kecuali jika
kita melekat padanya. Ia bagaikan air yang mengalir. Jika kita tergoda,
bertanya "Mengapa ia mengalir?" Maka tentu saja kita menderita. Jika
kita mengerti bahwa air mengalir karena itu memang merupakan sifatnya
maka tidak ada penderitaan. Begitulah
vicara.
Ada
vitakka,
lalu
vicara,
berinteraksi dengan sensasi-sensasi batin. Kita bisa menjadikan
sensasi-sensasi ini sebagai obyek meditasi kita, menenangkan batin
dengan memperhatikan sensasi-sensasi itu.
Jika kita mengetahui sifat alamiah
batin seperti ini maka kita akan melepaskan, seperti membiarkan air
mengalir.
Vicara
menjadi lebih halus. Mungkin batin cenderung merenungkan jasmani, atau
kematian misalnya, atau beberapa pokok Dhamma lainnya. Jika pokok
perenungan itu benar maka akan muncul perasaan gairah. Apakah perasaan
gairah itu? Itu adalah
piti
(kegairahan).
Piti,
kegairahan, muncul. Ia bisa berwujud sebagai tegaknya bulu roma, rasa
sejuk atau ringan. Batin terpesona. Inilah yang disebut
piti.
Ada pula kesenangan,
sukha,
datang dan perginya berbagai perasaan; dan
ekaggatarammana,
atau keterpusatan.
Sekarang jika kita berbicara kerkenaan
dengan konsentrasi
(jhana)
tingkat pertama, ia harus seperti ini:
vitakka, vicara,
piti, sukha, ekaggata.
Lalu seperti apakah tingkat yang kedua? Karena batin menjadi semakin
halus, maka
vitakka
dan
vicara
terasa menjadi relatif kasar, sehingga mereka diabaikan, hanya tersisa
piti,
sukha
dan
ekaggata.
Ini merupakan sesuatu yang dikerjakan oleh batin sendiri, kita tidak
perlu menerkanya, hanya sadarilah segala sesuatu sebagaimana adanya.
Setelah batin menjadi lebih halus,
piti
akhirnya disingkirkan dan hanya menyisakan
sukha
dan
ekaggata,
jadi kita memperhatikan itu. Ke manakah
piti
pergi? Ia tidak pergi ke manapun, itu hanya karena batin menjadi lebih
halus sehingga ia membuang sifat-sifat yang terlalu kasar baginya.
Apapun yang terlalu kasar ia buang, dan ia tetap membuang seperti itu
sampai ia mencapai puncak kehalusan, yang di dalam buku diketahui
sebagai
jhana
ke empat, tingkat penyerapan tertinggi. Di sini batin semakin membuang
apapun yang menjadi terlalu kasar baginya, sampai di sana hanya tersisa
ekaggata
dan
upekkha,
keseimbangan. Tidak ada yang lebih lanjut, inilah batasnya.
Ketika batin mengembangkan
tingkat-tingkat
samadhi
ia harus berlangsung dalam cara ini, tetapi hendaknya kita mengerti
dasar-dasar dari praktek. Kita ingin membuat batin tenang tetapi ia
tidak mau tenang; ini namanya berlatih atas dasar keinginan, tetapi kita
tidak menyadarinya. Kita mempunyai keinginan untuk tenang. Batin sudah
terganggu dan kita mengganggunya lebih jauh dengan menginginkan
membuatnya tenang. Keinginan inilah penyebabnya. Kita tidak melihat
bahwa keinginan untuk menenangkan batin adalah
tanha
(keinginan). Ini seperti menambah beban. Semakin banyak kita
menginginkan ketenangan, semakin pikiran menjadi terganggu, sampai kita
dapat melepaskannya. Kita selesai bertarung, setiap kali kita duduk dan
bekerja keras dengan diri kita sendiri.
Mengapa begini? Karena kita tidak
merenungkan kembali bagaimana kita sudah menyusun batin kita. Ketahuilah
bahwa kondisi-kondisi batin hanyalah cara alamiah mereka sendiri. Apapun
yang muncul, amati saja. Itu hanyalah sifat batin, ia tidak berbahaya
kecuali jika kita tidak mengetahui sifatnya. Ia tidak membahayakan jika
kita melihat untuk apakah kegiatannya. Jadi kita berlatih dengan
vitakka
dan
vicara
sampai batin menjadi tenang, kita bergaul dengan mereka dan memahaminya.
Bagaimanapun, biasanya kita cenderung
untuk mulai bertarung dengan mereka, karena sejak awal kita memutuskan
untuk menenangkan batin. Begitu kita duduk, bentuk-bentuk pikiran datang
mengganggu kita. Begitu kita mulai menyusun obyek meditasi, perhatian
kita mengembara, batin pergi mengikuti semua bentuk pikiran, dengan
berpikir bahwa bentuk-bentuk pikiran itu datang mengganggu kita, tetapi
sesungguhnya persoalan muncul di sini, yaitu dari sangat menginginkan.
Jika kita melihat bahwa batin hanya
berperilaku sesuai dengan sifatnya, bahwa wajar ia datang dan pergi
seperti ini, dan jika kita tidak terlalu memperhatikannya, kita bisa
mengetahui sifatnya yang tak jauh berbeda seperti anak kecil. Anak-anak
tidak mengetahui dengan baik, mereka bisa mengatakan apa saja. Jika kita
memahami mereka kita hanya membiarkannya berbicara, anak-anak memang
berbicara seperti itu. Jika kita membiarkan seperti ini maka tidak ada
gangguan dengan si anak. Kita bisa berbicara pada tamu kita tanpa
terganggu, ketika si anak mengobrol dan bermain. Begitulah batin. Ia
tidak berbahaya kecuali jika kita mencengkram dan merasa terganggu.
Itulah penyebab gangguan yang sebenarnya.
Ketika
piti
muncul orang merasakan kesenangan yang tak dapat digambarkan, hanya
mereka yang berpengalaman yang bisa mengerti.
Sukha
(kesenangan) muncul, dan disana juga ada sifat keterpusatan. Ada
vitakka,
vicara, piti, sukha
dan
ekaggata.
Kelima sifat ini semua berkumpul pada satu tempat. Meskipun mereka
merupakan sifat-sifat yang berbeda, mereka semua terkumpul pada satu
tempat, dan kita bisa melihat mereka semua di sana, seperti melihat
berbagai jenis buah di dalam satu mangkok.
Vitakka, vicara,
piti, sukha
dan
ekaggata
—kita dapat melihat mereka semua dalam satu batin, semua dari kelima
sifat itu. Seandainya orang bertanya, "Bagaimanakah
vitakka
di sana, bagaimanakah
vicara
di sana, bagaimanakah
piti
dan
sukha
di sana?" ...Sangatlah sulit untuk menjawabnya, seperti ketika mereka
berkumpul di dalam batin kita akan melihat bagaimana mereka untuk diri
kita sendiri.
Pada titik ini praktek kita menjadi
sedikit istimewa. Kita pasti mempunyai ingatan dan kesadaran diri serta
tidak tersesat. Mengetahui segala sesuatu seperti apa adanya. Inilah
tingkatan-tingkatan meditasi, kemampuan dari batin. Jangan ragukan
apapun berkenaan dengan praktek. Bahkan seandainya kalian ditelan bumi
atau melayang di udara, atau bahkan "mati" saat hidup, jangan ragukan
itu. Apapun sifat-sifat batin yang muncul, tetaplah mengetahuinya.
Inilah dasar kita memiliki
sati,
ingatan dan
sampajañña,
kesadaran diri; apakah sedang berdiri, berjalan, duduk atau berbaring.
Apapun yang muncul, biarkanlah, jangan terpaku padanya. Apakah ia
menyenangkan atau tidak menyenangkan, kebahagiaan atau penderitaan,
keraguan atau kepastian, renungkanlah dengan
vicara
dan ukurlah hasil dari sifat-sifat itu. Jangan berusaha untuk menamai
segala sesuatu, cukup kita ketahui saja. Sadarilah bahwa semua yang
muncul di dalam batin hanyalah sensasi-sensasi. Mereka bersifat
sementara. Mereka muncul, bertahan dan lenyap. Begitulah mereka semua,
mereka tidak mempunyai pribadi atau diri, mereka bukanlah "kita" maupun
"mereka". Mereka tidaklah berharga untuk dilekati, yang manapun.
Apabila kita melihat semua
rupa
dan
nama (Rupa
—obyek-obyek materi atau jasmani; nama —obyek-obyek bukan
materi atau batin, unsur pokok dari jasmani dan batin suatu makhluk.)
dalam cara ini dengan kebijaksanaan, maka kita akan melihat cara ini
dengan kebijaksanaan, maka kita akan melihat jejak-jejak yang lama. Kita
akan melihat kesementaraan dari batin, kesementaraan dari jasmani,
kesementaraan dari kebahagiaan, kesementaraan dari penderitaan, cinta,
dan benci. Mereka semuanya tidak kekal. Melihat ini, batin menjadi bosan;
bosan terhadap jasmani dan batin, bosan terhadap segala sesuatu yang
muncul dan lenyap serta bersifat sementara. Ketika batin merasa kecewa,
ia akan mencari jalan keluar dari semua hal itu. Ia tidak ingin lagi
melekat pada segala sesuatu, ia melihat kekurangan dari dunia ini dan
kekurangan dari kelahiran ini.
Ketika batin melihat seperti ini, ke
manapun kita pergi, kita melihat
anicca
(kesementaraan),
dukkha
(ketidak-sempurnaan), dan
anatta
(ketanpa-pemilikan). Tidak ada yang tersisa untuk dipertahankan. Apakah
kita pergi untuk duduk di bawah pohon, di puncak gunung atau di
kedalaman lembah, kita bisa mendengarkan ajaran Sang Buddha. Semua pohon
akan tampak satu, semua makhluk terlihat satu, tidak ada yang istimewa
tentang mereka. Mereka muncul, bertahan sejenak, tua, lalu mati.
Dengan demikian kita melihat dunia
dengan lebih jelas, melihat jasmani dan batin ini dengan lebih lebih
jelas. Mereka menjadi lebih jelas di bawah sinar kesementaraan, lebih
jelas di bawah sinar ketidak-sempurnaan, dan lebih jelas di bawah sinar
ketanpa-pemilikan. Jika orang terlalu terikat mereka akan menderita.
Beginilah cara munculnya penderitaan. Jika kita melihat jasmani dan
batin hanya sebagai apa adanya maka tidak ada penderitaan yang muncul,
karena kita tidak terikat pada mereka. Kemanapun kita pergi, kita akan
mempunyai kebijaksanaan. Bahkan melihat sebatang pohon pun kita bisa
mempertimbangkannya dengan kebijaksanaan. Melihat rumput dan berbagai
serangga akan menjadi makanan bagi perenungan.
Jika semua direnungkan dalam cara
seperti itu maka mereka akan jatuh pada perahu yang sama. Mereka semua
adalah Dhamma, mereka tanpa kecuali bersifat sementara. Inilah kebenaran,
inilah Dhamma yang sejati, inilah yang pasti. Bagaimana ia pasti? Ia
pasti di dalam hal bahwa dunia adalah dalam cara itu, dan tidak pernah
bisa menjadi sebaliknya. Tidak ada yang lebih daripada itu. Jika kita
bisa melihat dengan cara ini maka kita sudah menyelesaikan perjalanan
kita.
Dalam agama Buddha, berkenaan dengan
pandangan, dikatakan bahwa dengan merasa bahwa kita lebih bodoh daripada
yang lain adalah tidak benar; merasa bahwa kita sama dengan yang lain
adalah tidak benar; dan merasa bahwa kita lebih baik daripada yang lain
adalah tidak benar... Karena tidak ada "kita". Begitulah adanya, kita
harus mencabut kesombongan.
Ini disebut
lokavidu
—memahami dunia dengan jelas sebagaimana adanya. Jika kita melihat
kebenaran, batin akan mengetahui dirinya secara lengkap dan akan
memotong sebab penderitaan. Jika tidak ada sebabnya lagi, hasilnya tidak
bisa muncul. Beginilah cara praktek kita harus berlanjut.
Dasar-dasar yang perlu kita kembangkan
adalah: yang pertama, harus lurus dan jujur; yang kedua, waspada
terhadap perbuatan salah; yang ketiga, memiliki sifat rendah-hati di
dalam hati, menyendiri dan puas dengan yang sedikit. Jika kita puas
dengan yang sedikit berkenaan dengan ucapan dan hal-hal lainnya, kita
akan mengerti diri kita sendiri, kita tidak akan hanyut di dalam
kebingungan. Batin akan memiliki landasan
sila, samadhi,
dan
pañña.
Oleh karena itu para pelaksana Sang
Jalan tidak boleh ceroboh. Meskipun jika kalian benar, janganlah ceroboh.
Jika kalian salah, jangan ceroboh. Jika semua berjalan lancar atau
kallian merasa berbahagia, janganlah ceroboh. Mengapa saya katakan "jangan
ceroboh"? Karena semua hal itu tidak pasti. Perhatikan mereka seperti
demikian. Jika kalian mendapat kedamaian biarkanlah rasa damai itu.
Kalian mungkin sangat ingin mengikutinya tetapi kalian harus mengetahui
kebenaran tentang hal itu, begitu pula halnya dengan sifat-sifat yang
tidak menyenangkan.
Praktek batin ini bergantung pada
setiap orang. Guru hanya menerangkan cara untuk melatih batin, karena
batin itu berada di dalam setiap orang. Kita tahu apa yang ada di dalam,
tak ada seorangpun yang bisa mengetahui batin kita sebaik yang kita bisa.
Praktek ini memerlukan kejujuran semacam itu. Kerjakan dengan benar,
jangan kerjakan dengan setengah hati. Ketika saya mengatakan "kerjakan
dengan benar", apakah itu berarti kalian harus menghabiskan tenaga
kalian? Tidak, kalian tidak perlu menghabiskan tenaga kalian, karena
praktek itu dikerjakan di dalam batin. Jika kalian mempunyai
sati
dan
sampajañña,
kalian dapat melihat kebajikan dan keburukan di dalam diri kalian. Jika
kalian mengetahui hal ini maka kalian akan mengetahui prakteknya. Kalian
tidak perlu banyak. Hanya gunakanlah norma praktek untuk merenungkan di
dalam diri kalian sendiri.
Kamogha...
banjir nafsu: (kita) tenggelam di dalam penglihatan-penglihatan, di
dalam suara-suara, di dalam bebauan, di dalam rasa-rasa kecapan, di
dalam sentuhan-sentuhan jasmani. (Kita) tenggelam karena kita hanya
melihat pada yang di luar, kita tidak melihat ke dalam diri kita.
Orang-orang tidak melihat pada diri mereka sendiri, mereka hanya melihat
kepada orang-orang lainnya. Mereka dapat melihat setiap orang yang lain
tetapi mereka tidak dapat melihat diri mereka sendiri. Sebenarnya hal
itu tidaklah sulit dilakukan, hanya saja orang-orang tidak mencobanya
dengan sungguh-sungguh.
Sebagai
contoh misalnya, melihat kepada seorang wanita cantik. Apa yang terjadi
pada diri anda? Begitu anda melihat wajahnya, anda melihat
keseluruhannya pula. Apakah demikian? Cobalah lihat ke dalam batin.
Apakah sebenarnya yang suka melihat seorang wanita itu? Begitu mata
melihat hanya yang sedikit, batin sudah langsung melihat keseluruhan
lainnya. Mengapa ia begitu cepat?
Itu karena
anda tenggelam di dalam air! Anda sedang tenggelam, anda memikirkannya,
mengkhayalkannya, dan melekat kepadanya. Itu mirip seperti menjadi
seorang budak... seseorang lainnya yang menguasai diri anda. Ketika
mereka menyuruhmu duduk, anda harus duduk, ketika mereka menyuruhmu
berjalan, anda harus berjalan... anda tidak dapat membantah mereka
karena anda adalah budak mereka. Diperbudak oleh nafsu-nafsu adalah juga
sama. Tak peduli bagaimana kerasnya anda berusaha, anda tampaknya tidak
dapat melepaskannya. Dan jika anda mengharapkan orang lain untuk
melakukannya untuk anda, anda benar-benar masuk ke dalam masalah. Anda
harus melepaskannya untuk diri anda sendiri.
Oleh karena
itulah Sang Buddha menyerahkan latihan Dhamma, untuk mengatasi
penderitaan kepada kita.
Nibbana
(Nibbana —Keadaan
terbebasnya dari semua keadaan yang berkondisi.),
contohnya. Sang Buddha telah tercerahkan dengan sepenuhnya, tetapi
mengapa Beliau tidak menggambarkan nibbana dengan mendetail? Mengapa
Beliau hanya berkata bahwa kita harus berlatih dan menemukan sendiri hal
tersebut bagi kita? Mengapa demikian? Tidak haruskah Beliau menjelaskan
seperti apa nibbana itu?
"Latihan yang
dilakukan oleh Sang Buddha, mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan
selama berkalpa-kalpa demi semua makhluk, lalu mengapa Beliau tidak
menjelaskan
nibbana agar mereka semua dapat
melihatnya dan menuju ke sana pula?" Sebagian orang berpikir seperti
begini. "Jika Sang Buddha benar-benar mengetahuinya maka Ia akan
mengatakannya kepada kita. Mengapa Ia mesti merahasiakan sesuatu?"
Sebenarnya
pikiran-pikiran semacam itu adalah salah. Kita tidak dapat melihat
Kesunyataan dengan cara itu. Kita harus berlatih, kita harus
mengusahakannya sendiri, untuk dapat melihat. Sang Buddha hanya
menjelaskan cara untuk mengembangkan kebijaksanaan, hanya itu. Beliau
mengatakan bahwa kita sendirilah yang harus berlatih. Siapapun yang mau
berlatih, ia akan mencapai tujuan.
Tetapi jalan
yang Sang Buddha ajarkan itu berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan kita.
Untuk hidup sederhana, untuk mengendalikan diri... kita sesungguhnya
tidak menyukai hal-hal ini, sehingga kita berkata, "Tunjukkanlah kepada
kami jalan, tunjukkanlah kami jalan ke nibbana, agar orang-orang yang
suka gampangnya, seperti kami ini, dapat pergi ke sana juga". Sama pula
halnya dengan kebijaksanaan. Sang Buddha tidak dapat menunjukkan
kebijaksanaan kepadamu, itu bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah
dibawa-bawa. Sang Buddha dapat menunjukkan cara untuk mengembangkan
kebijaksanaan, tetapi apakah anda mengembangkannya banyak atau sedikit,
itu tergantung pada tiap-tiap individu. Jasa kebaikan dan timbunan
kebajikan dari orang-orang adalah berbeda-beda.
Lihat saja
pada obyek material, seperti patung-patung singa-kayu di depan aula ini.
Orang-orang datang dan melihat pada patung-patung itu dan tampaknya
tidak sepakat dengan apa yang dikatakan oleh salah satu orang, "Oh,
betapa cantiknya", sementara yang lain berkata, "Oh betapa menyeramkan!"
ini adalah satu singa, yang dapat dinilai cantik dan buruk. Contoh ini
cukup untuk menjelaskannya.
Oleh karena
itu, perealisasian Dhamma kadang-kadang lambat, kadang-kadang cepat.
Sang Buddha dan para muridNya, semuanya sama dalam hal berlatih bagi
mereka sendiri; tetapi meskipun demikian mereka tetap bergantung kepada
guru-guru mereka untuk menasihati mereka dan memberi mereka
teknik-teknik dalam berlatih.
Sekarang,
bila kita mendengar uraian Dhamma, kita mungkin ingin mendengarnya
sampai semua keraguan kita lenyap, tetapi keragu-raguan tersebut tidak
pernah dapat tuntas lenyap hanya dari mendengar (Dhamma) saja. Keraguan
tidaklah semata-mata dapat diatasi dengan cara mendengar atau berpikir,
tetapi kita pertama-tama harus membersihkan batin kita. Untuk
membersihkan batin berarti memperbaiki latihan kita. Tak peduli berapa
banyak atau berapa lama kita telah mendengar kepada uraian atau
khotbah-khotbah guru kita tentang kebenaran, kita tidak dapat mengetahui
atau melihat kebenaran tersebut hanya dari mendengar. Jika kita
melakukan hal seperti itu, maka itu hanya akan menjadi suatu perkiraan
atau terkaan saja.
Namun
meskipun hanya dari mendengar kepada Dhamma itu saja tidak menuntun
kepada perealisasian, itu tetap bermanfaat. Ada satu kisah pada masa
Sang Buddha, di mana seseorang merealisasi Dhamma bahkan merealisasi
tingkat tertinggi-Arahat, ketika sedang mendengarkan uraian Dhamma.
Tetapi orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang telah tinggi
perkembangan batinnya, batin mereka telah mengerti akan beberapa
penguasaan. Itu sama seperti sebuah bola. Ketika sebuah bola dipompa
dengan udara, ia mengembung. Sekarang udara yang ada di dalam bola
tersebut saling mendesak untuk keluar, tetapi tidak ada lubang baginya
untuk keluar. Begitu ada jarum yang menusuk bola tersebut, udara di
dalam bola tersebut keluar dengan cepat.
Sama halnya
dengan ini. Batin-batin dari murid-murid yang langsung mencapai
pencerahan ketika mendengar kepada Dhamma, adalah sama seperti demikian.
Sejauh tidak ada katalisator yang dapat menyebabkan reaksi dari 'tekanan'
ini di dalam mereka, itu sama seperti sebuah bola. Batin belum terbebas
dikarenakan oleh hal kecil yang menghalangi kebenaran. Begitu mereka
mendengar uraian Dhamma dan ia mengenai titik yang tepat, maka
kebijaksanaan muncul. Mereka dengan seketika mengerti, dengan seketika
dapat melepas, dan merealisasi kebenaran Dhamma. Demikianlah jalannya.
Cukup mudah. Sang Batin meluruskan dirinya sendiri. Ia berubah, atau
berbelok, dari satu pandangan ke pandangan lainnya. Anda dapat saja
mengatakan bahwa itu adalah jauh, atau anda dapat mengatakan itu sangat
dekat.
Ini adalah
sesuatu yang harus kita lakukan bagi diri kita sendiri. Sang Buddha
hanya mampu memberikan teknik-teknik atau cara-cara bagaimana untuk
mengembangkan kebijaksanaan, dan demikian juga dengan guru-guru zaman
sekarang. Mereka memberikan uraian-uraian/khotbah-khotbah Dhamma, mereka
membicarakan tentang kebenaran, tetapi tetap mereka tidak dapat
menjadikan kebenaran tersebut menjadi milik kita. Mengapa tidak dapat?
Karena ada sebuah 'film' yang mengaburkannya. Anda dapat mengatakan
bahwa kita telah tenggelam di dalam banjir.
Kamogha
—'banjir' nafsu.
Bhavogha —'banjir' dumadi.
'Dumadi'
(bhava)
berarti 'alam kelahiran'. Nafsu-nafsu ragawi lahir pada
penglihatan-penglihatan, suara-suara, rasa-rasa kecapan, bebauan,
perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran, yang mengindentifikasi diri
dengan hal-hal ini. Batin mencengkeram dengan cepat dan ia melekat
kepada nafsu-nafsu ragawi tersebut.
Sebagian 'pencari
kebenaran' merasa bosan, merasa tak sanggup, lelah terhadap latihan, dan
malas. Anda tidak harus melihat sangat jauh, cukup lihat pada bagaimana
orang-orang tampaknya tidak dapat memelihara Dhamma di dalam batinnya,
dan seandainya mereka dimarahi, mereka akan mengingatnya sampai
bertahun-tahun. Mereka mungkin mendapat marah (dimarahi) pada awal masa
Retret, dan bahkan sesudah selesai masa retret, mereka masih belum
melupakannya. Dalam seluruh hidupnya, mereka tetap tidak mau
melupakannya jika itu tertanam cukup dalam.
Tetapi bila
itu terhadap ajaran Sang Buddha, yang menyuruh kita untuk hidup
sederhana, untuk dapat mengendalikan diri, dan berlatih dengan
bersungguh-sungguh... mengapa orang-orang tidak mengingat hal ini di
dalam hati mereka? Mengapa mereka dengan mudah melupakan hal-hal ini?
Anda tidak perlu melihat jauh-jauh, cukup lihat pada latihan kita di
sini. Sebagai contoh, aturan-aturan yang telah ditetapkan, seperti:
sehabis makan, saat mencuci mangkuk, jangan mengobrol! Bahkan hal ini
tampaknya terlalu sulit untuk dilakukan. Meskipun kita tahu bahwa
mengobrol itu adalah tidak bermanfaat dan dapat menyeret kita kepada
kenafsuan... orang-orang tetap suka bicara. Dalam pembicaraan itu,
sebentar saja mereka sudah mulai tidak setuju dan akhirnya menjadi
berbeda pendapat dan bercekcok. Tidak ada yang lebih lagi daripada ini.
Orang-orang
tampaknya belum mau melakukan usaha yang cukup untuk itu. Mereka
mengatakan bahwa mereka ingin melihat Dhamma, tetapi mereka ingin
melihatnya dengan ketentuan/syarat-syarat mereka sendiri, mereka tidak
ingin untuk mengikuti jalannya latihan tersebut. Itulah sejauh ini yang
mereka lakukan. Semua aturan latihan ini adalah alat-alat yang berguna
untuk dapat menembus dan melihat Dhamma, tetapi orang-orang tidak
berlatih sesuai dengan aturan.
Untuk
mengatakan 'latihan yang senyatanya' atau 'latihan yang bersemangat'
tidaklah perlu berarti anda harus mengeluarkan seluruh energi, tetapi
cukup berikan sedikit usaha ke dalam batinmu, membuat (sedikit) usaha
terhadap semua perasaan yang timbul, khususnya terhadap
perasaan-perasaan yang terbenam dalam kenafsuan. Mereka-mereka ini
adalah musuh-musuh kita.
Tetapi
orang-orang tampaknya tidak dapat melakukannya. Setiap tahun, menjelang
saat hari terakhir masa retret, mereka menjadi semakin payah/memburuk
keadaannya. Beberapa bhikkhu telah mencapai batas dari kesabaran mereka,
'tidak sabar lagi'. Semakin mendekati hari terakhir retret, semakin
memburuk kondisi mereka, mereka tidak konsisten (mantap) lagi dalam
latihan. Saya mengatakan tentang hal ini tiap tahun tapi tampaknya
orang-orang tidak mengingatnya. Kami menetapkan aturan-aturan tertentu
dan belum sampai setahun itu sudah diabaikan. Begitu hampir selesai
retret, sudah mulai terjadi: obrolan-obrolan, kumpul-kumpul, dan
sebagainya. Semuanya menjadi hancur. Inilah kecenderungan-kecenderungan
yang terjadi.
Mereka
benar-benar tertarik dengan latihan haruslah memikirkan mengapa hal ini
terjadi. Ini karena orang-orang tidak melihat akibat-akibat yang
merugikan dari hal-hal ini.
Bilamana kita
telah diterima dalam kebhikkhuan, kita hidup dengan sederhana. Meskipun
mereka yang telah melepaskan jubahnya dan pergi ke garis depan di mana
peluru-peluru terbang melewati mereka setiap hari, mereka lebih suka itu
seperti demikian. Mereka benar-benar ingin pergi. Bahaya ada di
sekelliling mereka tetapi toh mereka bersiap-siap untuk pergi. Mengapa
mereka tidak melihat bahaya tersebut? Mereka siap mati oleh senjata
tetapi tak seorang pun yang ingin mati karena mengembangkan kebajikan/sila.
Dengan melihat pada hal ini saja sudah cukup... itu karena mereka
diperbudak; tidak ada yang lainnya mengertikan hal ini dan engkau akan
mengetahui tentang semuanya. Orang-orang tidak melihat bahaya.
Ini
benar-benar mencengangkan, bukan? Anda pikir mereka dapat melihat ini
tetapi nyatanya mereka tidak dapat. Jika mereka tidak dapat melihatnya
juga, maka tidak ada jalan keluar bagi mereka. Mereka diharuskan untuk
berputar terus di dalam lingkaran
Samsara.
Inilah kejadiannya. Hanya dengan membicarakan masalah yang sederhana
seperti ini, kita sudah mulai dapat mengerti.
Jika
seandainya anda bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau lahir?" mereka
akan menemui banyak kesulitan dalam menjawab; itu karena mereka tidak
dapat melihat atau memahaminya. Mereka tenggelam di dalam dunia nafsu
inderawi dan tenggelam dalam dumadi
(bhava) (Kata
bahasa Thai untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah umum bagi
pendengar khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti 'alam
dari kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn Chah
adalah sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian yang
lebih praktis daripada istilah tersebut.). Bhava adalah alam kelahiran,
tempat lahir kita. Untuk mudahnya, dari manakah makhluk-makhluk lahir?
Bhava adalah kondisi awal dari kelahiran. Dimana kelahiran terjadi, di
situlah bhava.
Sebagai
contoh, andaikata kita mempunyai kebun pohon apel yang benar-benar kita
sukai. Itulah
"bhava" bagi kita jika kita tidak
merenungkannya dengan kebijaksanaan. Bagaimana caranya? Andaikata kebun
buah kita itu berisi seratus atau seribu pohon apel... tak peduli jenis
pohon apapun yang ada, apabila kita menganggap mereka sebagai
pohon-pohon 'milik kita'.... maka nanti kita akan 'lahir' sebagai 'cacing'
pada setiap batang pohon tersebut. Kita dengan cepat menuju ke setiap
pohon meskipun badan kita masih ada di dalam rumah; kita mengirim 'alat-alat
peraba/tentakel' kepada setiap pohon tersebut.
Sekarang,
bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah bhava? Itu adalah bhava
(alam/biang dari suatu eksistensi) karena kemelekatan kita kepada
pemikiran bahwa pohon-pohon itu adalah milik kita, bahwa kebun buah itu
adalah milik kita. Jika misalnya ada orang lain datang membawa kapak dan
menebang salah satu pohon tersebut, maka si pemilik yang berada di dalam
rumah, ikut 'mati' bersama pohon tersebut. Dia menjadi sangat marah, dan
merasa harus pergi untuk menyelesaikan masalah tersebut, untuk berkelahi
dan bahkan mungkin untuk membunuhnya, pertengkaran itu adalah 'kelahiran'.
'Bidang/alam dari kelahiran' tersebut adalah kebun buah itu yang kita
lekati sebagai milik kita. Kita 'lahir' tepat pada titik di mana kita
menganggap mereka sebagai milik kita, lahir dari
"bhava"
tersebut. Meskipun jika kita mempunyai seribu pohon apel, jika
seandainya seseorang menebang hanya satu, itu akan seperti memotong
pemiliknya.
Apapun yang
kita lekati, tepat di sana kita lahir, kita eksis tepat di sana. Kita
lahir segera ketika kita 'mengetahui'. Ini adalah 'mengetahui' yang
melalui ketidaktahuan: kita mengetahui bahwa seseorang telah menebang
salah satu pohon kita. Tetapi kita tidak tahu bahwa pohon-pohon itu
adalah sebenarnya bukan milik kita. Inilah yang dikatakan dengan 'mengetahui
lewat tidak-mengetahui'. Kita terikat untuk dilahirkan ke dalam
"bhava"
tersebut.
Vatta, roda
dari keadaan yang berkondisi, berjalan seperti ini. Orang-orang melekat
kepada bhava, mereka tergantung kepada bhava. Jika mereka mengharapkan
bhava, ini adalah kelahiran. Selama kita belum dapat melepas, kita
menempel pada jejak dari samsara, berputar terus seperti sebuah roda.
Lihatlah pada hal ini, renungkanlah ini. Apapun yang kita lekati sebagai
kita atau milik kita, di sanalah tempat bagi suatu kelahiran.
Di sana pasti
ada bhava (suatu bidang/tempat/alam dari kelahiran), sebelum terjadinya
suatu kelahiran. Oleh karena itu Sang Buddha berkata, apapun yang engkau
miliki, jangan 'memilikinya'. Biarkan ia apa adanya tetapi jangan
jadikan itu sebagai milikmu. Anda harus mengerti kata 'memiliki' dan 'jangan
memiliki' ini; mengetahui kesunyataan/kebenaran mereka, jangan terseret
dalam penderitaan.
Tempat dari
mana kita lahir; anda ingin kembali ke sana dan dilahirkan kembali,
benar tidak? Kalian semua para bhikkhu dan samanera, tahukah kalian dari
mana tempat kalian lahir? Kalian ingin kembali ke sana, bukan? Tepat di
sana, lihatlah hal ini. Semua dari kalian sudah bersiap-siap. Semakin
dekat kita pada hari terakhir retret ini, semakin kalian bersiap-siap
untuk kembali dan lahir lagi di sana.
Sungguh, anda
akan berpikir bahwa orang-orang dapat menghargai hal itu, hidup di dalam
perut/rahim seseorang. Bagaimana tidak nyamannya itu? Coba lihat, hanya
tinggal di dalam kuti cukup satu hari saja. Tutup semua pintu dan
jendela maka anda akan kekurangan nafas. Bagaimana lalu dibandingkan
dengan berbaring di dalam perut seseorang selama 9 atau 10 bulan?
Pikirkanlah tentang hal ini.
Orang-orang
tidak melihat kekurangan dari benda-benda/hal-hal. Tanyakan kepada
mereka mengapa mereka hidup, atau mengapa mereka dilahirkan, dan mereka
tidak dapat menjawabnya. Apakah anda semua masih ingin untuk kembali ke
dalam perut lagi? Mengapa? Itu seharusnya sudah jelas/nyata, tetapi
kalian tidak dapat melihatnya? Apa yang kalian lekati, apa yang kalian
gantungi? Pikir-pikirkanlah untuk dirimu sendiri.
Itulah bhava.
Akarnya tepat ada di sana, ia berputar di sekitar sana. Sang Buddha
mengajarkan untuk merenungkan titik ini. Orang-orang berpikir tentang
hal ini tetapi tetap masih belum dapat melihat/mengerti. Mereka semua
sudah bersiap-siap untuk kembali ke sana lagi. Mereka tahu bahwa akan
tidak begitu menyenangkan berada di sana, tetapi toh mereka tetap ingin
menempelkan kepala mereka di sana, menaruh leher mereka di dalam
jeratannya sekali lagi. Meskipun mereka mungkin tahu bahwa jeratan ini
benar-benar tidak mengenakkan, mereka tetap ingin menaruh kepala mereka
di sana. Mengapa mereka tidak mengerti ini? Ini adalah di mana
kebijaksanaan datang, di mana kita harus merenungkannya.
Bila saya
berbicara seperti ini, orang-orang berkata, "Jika itu masalahnya maka
setiap orang harus menjadi bhikkhu... dan kemudian bagaimana dunia ini
akan dapat berfungsi?" Anda tidak akan pernah mendapati setiap orang
menjadi bhikkhu, jadi tidak usah kuatir. Dunia ini ada karena adanya
makhluk-makhluk yang matanya tertutup debu/batinnya bernoda, jadi ini
bukanlah masalah yang sepele.
Saya mulanya
menjadi samanera pada usia 9 tahun. Saya mulai berlatih sejak saat itu.
Tetapi pada masa-masa itu saya tidak benar-benar mengetahui tentang apa
semua ini. Saya menjadi mengerti ketika saya telah menjadi seorang
bhikkhu. Sejak menjadi seorang bhikkhu saya menjadi sangat hati-hati.
Kesenangan-kesenangan inderawi yang digemari oleh orang-orang tampaknya
tidak terlalu menarik bagi saya. Saya melihat penderitaan di dalamnya.
Sama seperti melihat sebuah pisang yang enak yang saya tahu sangat manis
rasanya tetapi yang juga saya tahu itu beracun. Tak peduli bagaimanapun
manis atau menariknya ia, jika saya memakannya maka saya akan mati.
Setiap saya merenungkan dalam cara ini... setiap kali saya ingin memakan
buah pisang tersebut, saya akan melihat 'racun' tertanam di dalamnya.
Dengan demikian akhirnya saya dapat mengusir ketertarikan saya terhadap
hal-hal tersebut. Sekarang, pada usia saya sekarang ini, hal-hal semacam
itu sama sekali tidak menggoda lagi.
Sebagian
orang tidak melihat 'racun' tersebut; sebagian melihatnya tetapi tetap
ingin mencoba keberuntungan mereka. "Jika tanganmu terluka janganlah
menyentuh racun, ia akan meresap ke dalam lukamu".
Berbicara
tentang nafsu inderawi, itu sulit untuk ditaklukkan. Sungguh-sungguh
sulit untuk melihat dia sebagaimana adanya. Kita harus menggunakan
alat-alat yang amat canggih. Anggaplah kesenangan-kesenangan inderawi
itu seperti memakan daging yang mana ia akan tersangkut di gigimu.
Sebelum anda habis makan, anda harus mencari tusuk-gigi untuk
mengeluarkannya. Saat daging tersebut keluar, anda merasa sedikit enak/lega,
sehingga mungkin anda berpikir bahwa anda tidak akan memakan daging lagi.
Tetapi ketika anda melihatnya lagi, anda tidak dapat menahan diri lagi.
Anda makan (lebih banyak) lagi dan ia menyangkut lagi. Ketika ia
menyangkut, anda harus mencabutnya keluar lagi, yang memberikan sedikit
rasa enak/lega lagi, hingga anda makan lebih banyak daging lagi...
Itulah semua yang terjadi padanya. Kesenangan-kesenangan inderawi adalah
persis seperti ini, tidak lebih baik dengan ini. Ketika serpihan daging
menyangkut di gigi, anda merasa tidak enak/sakit. Anda mengambil
tusuk-gigi dan mencongkelnya keluar dan merasakan sedikit lega. Tidak
ada yang lebih pada itu daripada nafsu-nafsu inderawi ini... Tekanan
tersebut menekan dan menekan hingga anda melepaskannya sedikit... Oh!
Begitulah rasanya. Saya tidak tahu tentang apa saja semua kerepotan itu.
Saya tidak
mempelajari hal-hal ini dari siapapun juga, hal-hal tersebut muncul pada
diri saya dalam latihan saya. Saya duduk dalam meditasi dan merenungkan
kesenangan inderawi itu seperti sebuah sarang semut merah (Keduanya,
baik semut-semut merah maupun telur-telurnya, digunakan sebagai makanan
di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan terhadap sarang mereka
bukanlah hal yang asing). Seseorang mengambil sebatang kayu dan menyodok
sarang tersebut hingga semut-semutnya keluar, merayap turun melalui kayu
itu dan menuju ke muka orang itu, menggigit mata dan hidung orang
tersebut. Dan mereka tetap masih belum melihat mereka sedang dalam
kesulitan.
Bagaimanapun,
itu bukanlah sesuatu yang di luar kemampuan kita. Dalam ajaran Sang
Buddha, dikatakan bahwa jika kita telah melihat bahaya dari sesuatu, tak
peduli bagaimana baiknya itu tampaknya, kita harus mengetahui bahwa itu
membahayakan. Apapun yang belum kita lihat bahayanya, kita berpikir ia
baik. Jika kita belum melihat bahaya dari benda-benda, kita tidak dapat
melepaskannya.
Pernahkah
anda mengamatinya? Tak peduli bagaimana kotornya itu, orang-orang tetap
senang padanya. Jenis dari 'kerja' ini tidaklah bersih, tetapi meskipun
anda tidak membayar orang-orang untuk melakukannya, mereka dengan senang
hati rela melakukannya. Terhadap jenis pekerjaan kotor lainnya, meskipun
jika anda membayar dengan bayaran yang tinggi, orang-orang tidak mau
melakukannya. Itu juga bukan karena hal tersebut adalah pekerjaan yang
bersih, itu adalah pekerjaan yang kotor. Tetapi mengapa orang-orang
menyukainya? Bagaimana anda dapat mengatakan bahwa orang-orang tersebut
adalah pintar bila mereka berperilaku seperti ini? Coba pikirkan.
Pikirkanlah
hal ini dengan cermat. Jika anda benar-benar ingin berlatih, anda harus
memahami perasaan anda. Sebagai contoh, di antara para bhikkhu, samanera,
atau umat awam, kepada siapa seharusnya kalian bergaul? Jika kalian
bergaul/berkumpul dengan orang yang suka bicara banyak, mereka
menyebabkan kalian bicara banyak juga.
Orang-orang
suka berkumpul dengan mereka yang suka mengobrol banyak dan membicarakan
hal-hal yang tidak karuan. Mereka bisa duduk dan mendengarkannya selama
berjam-jam. tetapi bila itu adalah mendengar Dhamma, pembicaraan tentang
latihan, tak banyak yang akan didengar. Seperti bila memberikan
percakapan Dhamma: Begitu saya mulai berkata... 'Namo Tassa Bhagavato'...
(Baris pertama dari kata-kata
penghormatan dalam tradisi Pali, disebutkan sebelum memulai suatu
percakapan Dhamma resmi. 'Evam' adalah kata pali untuk mengakhiri suatu
percakapan/khotbah Dhamma.) mereka semua mulai mengantuk. Mereka tidak
berminat pada percakapan ini sama sekali. Ketika saya telah sampai pada
'Evam', mereka semua membuka mata dan terjaga. Setiap kali ada
percakapan Dhamma, orang-orang pada mengantuk. Bagaimana mereka dapat
memperoleh manfaatnya dari ini kalau begitu?
Ini adalah
kesempatan kalian, sekarang kalian telah ditahbiskan. Hanya ada satu
kesempatan ini, jadi perhatikanlah baik-baik. Lihatlah pada benda-benda/hal-hal
dan pertimbangkan jalan mana yang akan kalian pilih. Kalian sekarang
bebas. Kemana kalian akan pergi dari situ? Kalian sedang berdiri di
persimpangan jalan antara jalan keduniawian dan jalan Dhamma. Jalan mana
yang akan kalian pilih? Inilah saatnya untuk memutuskan. kalian
sendirilah yang membuat pilihannya. Jika kalian dibebaskan, itu adalah
pada titik ini.
LIHATLAH KETAKUTAN MU... Suatu hari, ketika malam menjelang, tiada yang
lainnya... Jika saya berunding dengan diri sendiri, saya tak akan pernah
pergi, jadi saya mengajak seorang pa-kow dan pergi.
"Jika tiba saatnya mati maka biarlah mati. Jika pikiranku bandel dan
bodoh maka biarlah ia mati..." begitulah saya memikirkan untuk diri
sendiri. Sesungguhnya di dalam hati saya tidak ingin pergi tetapi saya
paksakan diri". Bila demikian keadaannya, lalu jika kamu tunggu sampai
semuanya beres maka kamu tak akan pernah pergi. Kapan kamu akan melatih
dirimu?" Oleh karena itu saya pergi juga.
Sebelumnya saya tidak pernah tinggal di tanah perkuburan. Ketika
saya sampai di sana, tiada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan
saya. Si pa-kow ingin berada di samping saya tetapi tidak saya
berikan. Saya menyuruhnya diam di kejauhan. Sebenarnya saya ingin dia
berada di dekat saya untuk menemani, tetapi tidak saya lakukan. Saya
biarkan ia pergi, kalau tidak saya akan mengharapkan dukungannya.
"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini".
Saya takut, tetapi saya tertantang. Bukannya saya tidak takut,
tetapi saya punya semangat. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus
mati.
Ketika hari mulai gelap saya mendapat kesempatan, yaitu orang-orang
datang membawa sesosok jenazah. Beruntunglah saya! Saya bahkan tak bisa
merasakan kaki saya menyentuh tanah, saya begitu ingin keluar dari sana.
Mereka menginginkan saya melakukan upacara pemakaman tersebut tetapi
saya tak mau terlibat, saya hanya menyingkir. Tak lama kemudian, setelah
mereka pergi, saya kembali dan menemukan bahwa mereka telah mengubur
jenazah tepat di samping tempat saya.
Sekarang apa yang harus saya kerjakan? Ini bukannya karena di sini
dekat desa, yang sekitar tiga kilometer jaraknya.
"Baik, jika saya akan mati, biarlah saya mati..."
Jika kalian tak pernah berani melakukannya, kalian tak akan pernah
mengetahui bagaimana sesungguhnya. Ini sungguh merupakan satu pengalaman.
Ketika hari bertambah gelap saya bigung kemana harus lari di tengah
daerah pekuburan.
"Oh, biarlah mati. Orang lahir dalam kehidupan ini hanyalah untuk
mati".
Segera setelah matahari terbenam sang malam mengisyaratkan agar saya
masuk kedalam "glot"
("Glot"
—payung besar milik "dhutanga" Thai atau para bhikkhu yang
berdiam di hutan, yang digantungkan di pohon, di mana mereka memasang
jala nyamuk (kelambu) sebagai tempat tinggal selama berada di hutan.
Ketika hari telah gelap, saya masuk kedalam kelambu saya. Rasanya
bagaikan saya mempunyai tembok berlapis tujuh di sekeliling saya.
Melihat mangkuk saya yang setia di sisi saya bagaikan melihat seorang
teman lama. Kadangkala hanya sebuah mangkuk bisa menjadi teman!
Keberadaannya di sisi saya sungguh menyenangkan. Paling tidak saya
mempunyai mangkuk sebagai teman.
Sepanjang malam saya duduk di dalam kelambu mengamati badan jasmani.
Saya tidak rebahan ataupun tertidur sejenak, saya hanya duduk tenang.
Saya tidak bisa mengantuk walaupun saya ingin bisa mengantuk, saya
begitu takut. Ya, saya takut, meskipun demikian saya melakukannya. Saya
duduk sepanjang malam.
Sekarang siapa yang punya keberanian untuk praktek seperti itu?
Cobalah dan alamilah. Jika pengalamannya seperti ini, siapa yang berani
pergi dan tinggal di daerah perkuburan? Jika kalian tidak menjalankannya
sendiri, kalian tidak memperoleh hasil, kalian belum praktek
sesungguhnya. Kali ini saya sudah mempraktekkannya.
Ketika fajar menyingsing saya merasa, "Oh! Saya berhasil!" Saya
begitu gembira, saya hanya ingin siang hari, tanpa malam hari sama
sekali. Saya ingin memusnahkan sang malam dan menyisakan siang hari saja.
Saya begitu senang, saya telah berhasil. Saya berpikir, "Oh,
sesungguhnya tidak ada apapun, hanya ada ketakutan saya, itulah semuanya".
Setelah pergi berpindapata dan makan, saya merasa baikan. Matahari
bersinar, membuat saya merasa hangat dan enak. Saya beristirahat dan
berjalan sebentar. Saya berpikir, "malam ini saya akan bermeditasi
dengan lebih baik dan tenang, karena saya sudah melaluinya malam tadi.
Mungkin tidak ada yang lebih dari itu".
Selanjutnya, ketika lewat tengah hari, tahukah kalian apa yang
terjadi? Datang lagi jenazah yang lain, kali ini jenazah yang besar (Pada
malam pertama tampaknya jenazah seorang anak keci).
Mereka membawa jenazah itu dan memperabukannya tepat di sebelah tempat
saya, tepat di depan
"glot"
saya. Ini bahkan lebih buruk dari kemarin malam!
"Baik", saya pikir, "dengan membawa jenazah dan membakarnya di sini
akan membantu praktek saya".
Tetapi saya tetap tidak melakukan upacara apapun untuk mereka, saya
tunggu mereka sampai pergi sebelum melihatnya.
Membakar badan/jenazah itu untuk saya amati sepanjang malam, tak
dapat saya katakan bagaimana sebenarnya. Kata-kata tidak dapat
menggambarkannya. Tak ada yang bisa saya sampaikan untuk menggambarkan
rasa takut saya. Di kegelapan malam, ingat itu. Api pembakaran jenazah
berkelip-kelip merah dan hijau serta nyala api meletup-letup pelan. Saya
ingin melakukan meditasi jalan di depan jenazah itu tetapi saya hampir
tidak bisa melakukannya. Akhirnya saya masuk ke dalam kelambu saya. Bau
busuk dari daging yang terbakar tetap ada sepanjang malam.
Dan hal ini, sebelum semuanya benar-benar terjadi...
Ketika nyala api berkelip-kelip lemah saya membelakangi api itu.
Saya lupa tentang tidur, saya bahkan tak bisa memikirkannya, mata saya
kaku ketakutan. Dan tak ada orang yang bisa ditoleh, hanya ada saya.
Saya harus percaya pada diri sendiri. Saya tak bisa berpikir harus ke
mana, tak ada tempat untuk berlari pada malam yang kelam itu.
"Baik, saya akan duduk dan mati di sini. Saya tak akan pindah dari
tempat ini".
Di sini, berbicara dengan pikiran biasa, apakah ia mau melakukannya?
Apakah ia akan membawa kalian pada situasi semacam itu? Jika kalian
berusaha untuk menimbang-nimbang, kalian tak akan pernah pergi. Siapa
yang mau melakukan hal ini? Jika kalian tidak mempunyai keyakinan yang
kuat pada ajaran Sang Buddha, kalian tak akan pernah melakukannya.
Sekarang, sekitar pukul sepuluh malam, saya duduk membelakangi api.
Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi terdengar suara langkah kaki
terseret dari api di belakang saya. Apakah peti jenazahnya telah hancur?
Atau mungkin seekor anjing mendekati jenazah itu? Tetapi tidak, suara
itu lebih mirip langkah pasti seekor kerbau.
"Oh, tak apalah..." Tetapi selanjutnya ia mulai berjalan ke arah
saya, persis seperti orang! Ia berjalan di belakang saya, langkahnya
berat, seperti seekor kerbau, tetapi bukan...! Gemerisik daun di bawah
langkah kaki tampak berputar ke depan. Baik, saya hanya bisa bersiap
untuk yang terburuk, kemana lagi harus pergi? Tetapi semuanya tidak
terjadi, ia hanya berkeliling di depan dan selanjutnya pergi ke arah
pa-kow. Selanjutnya semua tenang. Saya tidak tahu apa yang terjadi,
tetapi ketakutan membuat saya berpikir tentang berbagai kemungkinan.
Satu setengah jam kemudian, saya kira, langkah kaki tersebut datang
kembali dari arah pa-kow. Persis seperti orang! Ia datang tepat
ke arah saya, kali ini menuju ke arah saya bagaikan mau menubruk saya!
Saya memejamkan mata dan tak mau membukanya.
"Saya akan meninggal dengan mata terpejam".
Ia lebih mendekat sampai akhirnya berhenti di hadapan saya dan duduk
tidak bergerak. Saya merasa seolah-olah ia melambai-lambaikan tangan di
depan mata saya yang terpejam. Oh! Memang begitu! Saya membuang
segalanya, lupa semua tentang Buddho, Dhammo dan Sangho. Saya melupakan
semuanya, hanya ada rasa takut dalam diri saya, menumpuk sepenuhnya.
Pikiran saya tak bisa pergi kemana pun, hanya ada rasa takut. Sejak saya
dilahirkan saya belum pernah mengalami rasa takut seperti ini. Buddho
dan
Dhammo
telah menyingkir, saya tidak tahu kemana. Hanya ada rasa takut yang
mengalir di dada sampai terasa menyesakkan.
"Baik, biarlah begitu, tak ada yang bisa dikerjakan".
Saya duduk bagaikan tidak menyentuh tanah dan hanya mengamati apa
yang terjadi. Rasa takut begitu menguasai saya, bagaikan kendi yang
penuh terisi air. Jika kalian mengisi kendi hingga penuh, lalu menuang
sedikit lagi, kendi itu akan meluap. Begitu pula, rasa takut berkembang
dalam diri saya sampai mencapai titik puncak dan mulai meluap.
"Mengapa aku begitu takut?" Suara dalam diri saya bertanya.
"Saya takut akan kematian", suara yang lain menjawab.
"Baik, sekarang di manakah kematian itu? Mengapa panik? Cari di mana
tempat kematian. Di manakah kematian?"
"Mengapa, kematian ada di dalam diriku!"
"Jika kematian ada di dalam diriku, kemanakah kamu akan lari untuk
menghindarinya? Jika kamu lari kamu mati, jika kamu tetap di sini kamu
mati. Kemana pun kamu pergi ia pergi bersamamu karena kematian berada di
dalam dirimu, tidak ada tempat bagimu untuk melarikan diri. Apakah kamu
takut atau tidak, kamu akan mati, tidak ada tempat untuk menghindari
kematian".
Segera setelah saya berpikir begitu, pemahaman saya sepenuhnya
berubah. Semua rasa takut hilang semudah membalikkan telapak tangan. Ini
sungguh menakjubkan. Begitu besar rasa takut tadinya toh itu bisa hilang
begitu saja! Rasa tidak takut muncul di tempat rasa takut tadi. Sekarang
batin saya bangkit lebih tinggi dan lebih tinggi sampai saya merasakan
bagaikan berada di awan.
Segera setelah saya mengalahkan rasa takut, hujan mulai turun. Saya
tidak tahu hujan macam apakah itu, anginnya begitu kencang. Tetapi saya
tidak takut mati lagi. Saya tidak takut bahwa dahan-dahan di pohon bisa
jatuh menimpa saya. Saya tidak mempedulikannya. Hujan bergemuruh
bagaikan aliran air yang deras di musim panas, sungguh lebat. Ketika
hujan reda semuanya basah kuyub.
Saya duduk tidak bergerak.
Lalu apakah yang saya lakukan selanjutnya, dengan keadaan basah
kuyub seperti itu? Saya menangis! Air mata membasahi kedua pipi saya.
Saya menangis karena berpikir, "Mengapa aku duduk di sini bagaikan anak
yatim piatu atau anak yang ditinggalkan, duduk, berbasah kuyub di bawah
hujan bagaikan orang yang tidak memiliki apapun, bagaikan orang bujangan?".
Selanjutnya saya berpikir, "Semua orang yang duduk nyaman di rumah
saat ini mungkin sama sekali tidak menduga bahwa ada seorang bhikkhu
yang duduk di sini, berbasah kuyub di bawah curah hujan sepanjang malam
seperti ini. Apakah tujuannya semua itu?" Dengan berpikir begitu saya
mulai menyesali akan air mata yang telah mengalir.
"Air mata ini bukanlah barang yang baik, biarlah mereka mengalir
keluar semuanya".
Beginilah cara saya berlatih.
Sekarang saya tidak tahu bagaimana saya bisa menjelaskan hal-hal
seterusnya. Saya duduk... duduk dan mendengar. Setelah mengalahkan
perasaan saya, saya hanya duduk dan mengamati semua hal yang muncul
dalam diri saya, begitu banyak hal yang bisa diketahui tetapi tidak
mungkin untuk dijabarkan. Dan saya merenungkan kata-kata Sang Buddha....
Paccattam veditabbo viññuhi.(Baris
terakhir ungkapan tradisional Pali yang mencantumkan sifat-sifat Dhamma.
Bahwa saya sudah menahan penderitaan seperti itu dan duduk di bawah
curah hujan... siapakah yang mengalami bersama saya? Hanya saya saja
yang bisa mengetahuinya. Begitu banyak air mata namun rasa takut lenyap.
Siapakah yang bisa menjadi saksi? Mereka yang berada di rumahnya di kota
tak bisa mengetahuinya, hanya saya yang bisa melihatnya. Itu merupakan
pengalaman pribadi. Meskipun saya ceritakan pada orang lain mereka tidak
akan mengerti sepenuhnya, itu merupakan sesuatu untuk dirasakan oleh
tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri, lebih banyak saya merenungkan hal
ini, ia menjadi lebih jelas. Saya menjadi lebih kuat, keyakinan saya
menjadi lebih kokoh, sampai fajar menyingsing.
Sang fajar ketika saya membuka mata, semua tampak kuning.
Semalam sesungguhnya saya ingin buang air kecil tetapi perasaan
telah menghalanginya. Pada pagi hari ketika saya bangkit dari duduk di
manapun yang saya lihat tampak kuning, seperti sinar matahari pagi pada
hari lain. Ketika saya buang air kecil, ada darah di sana.
"Eh? Apakah usus saya sobek atau ada sesuatu?" Saya agak takut... "Mungkin
benar ada yang sobek di dalam".
"Baik, lalu kenapa? Jika memang sobek siapa yang harus disalahkan?"
Segera suatu suara berkata. "Jika sobek tetap sobek, jika saya mati
tetap mati. Saya hanya duduk di sini, saya tidak melakukan kejahatan
apapun. Jika akan meledak, biarlah meledak", kata suara itu.
Batin saya bagaikan sedang berdebat dan berperang dengan dirinya
sendiri. Satu suara dari sisi lain berkata, "Hei, ini berbahaya!" Suara
yang lain akan menjawab, menegur dan mengesampingkannya.
Air seni saya tercemar oleh darah.
"Hmm. Di manakah saya bisa mendapatkan obat?"
"Saya tak akan mempedulikan hal itu. Bagaimanapun, seorang bhikkhu
tak mungkin memotong tanaman untuk obat. Jika saya mati, lalu kenapa?
Apa lagi yang harus dilakukan? Jika saya mati ketika sedang berlatih
seperti ini maka saya sudah siap. Jika saya mati karena melakukan
keburukan itu tidak baik, tetapi mati karena berlatih seperti ini saya
siap".
Jangan ikuti suasana-hati kalian. Lihatlah dirimu sendiri. Praktek
ini membutuhkan pertaruhan kehidupan kalian. Kalian harus sudah menangis
paling tidak dua atau tiga kali. Itu baik, itulah praktek. Jika kalian
mengantuk dan ingin berbaring maka jangan biarkan sampai tertidur.
Singkirkan rasa kantuk sebelum kalian berbaring. Tetapi lihatlah diri
kalian, kalian tidak mengetahui bagaimana cara berlatih.
Kadang-kadang, saat kalian kembali dari berpindapata dan kalian
merenungkan makanan itu sebelum dimakan, kalian tidak bisa tenang,
pikiran kalian bagaikan seekor anjing gila. Air liur mengalir, kalian
begitu lapar. Kadang-kadang kalian bahkan tidak mempedulikan perenungan,
kalian langsung makan. Itu adalah suatu malapetaka. Jika batin tak mau
tenang dan sabar maka singkirkan mangkuk kalian dan jangan makan.
Latihlah dirimu sendiri, itulah praktek. Jangan hanya mengikuti pikiran
kalian. Singkirkan mangkuk kalian, berdiri dan tinggalkan, jangan
izinkan diri kalian makan. Jika ia begitu ingin makan dan begitu keras
kepala maka jangan biarkan ia makan. Air liur akan berhenti mengalir.
Jika kekotoran-kekotoran batin tahu bahwa ia tak akan mendapatkan apapun
untuk dimakan maka mereka akan takut. Besok mereka tak berani mengganggu
kalian, mereka takut tak mendapatkan apapun untuk dimakan. Cobalah jika
kalian tidak mempercayai saya.
Orang-orang tidak mempercayai praktek, mereka tidak berani untuk
benar-benar melakukannya. Mereka takut akan kelaparan, mereka takut mati.
Jika kalian tidak mencobanya kalian tak mengetahui yang sebenarnya.
Kebanyakan kita tak berani melakukannya, tak berani mencobanya, kita
takut.
Jika tiba saatnya makan dan semacamnya, saya sudah mengalaminya lama
sekali, sehingga saya mengerti seperti apa mereka itu. Dan itu juga
hanyalah hal kecil. Jadi praktek bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari
dengan mudah.
Pertimbangkan: Apakah yang paling penting di antara semuanya? Tiada
yang lain, kecuali kematian. Kematian adalah hal yang terpenting di
dunia ini. Pertimbangkan, praktekkan, selidiki... Jika kalian tak
mempunyai pakaian, kalian tak akan mati. Jika kalian tak mempunyai buah
pinang untuk dikunyah atau rokok untuk dihisap, kalian tetap tak akan
mati. Tetapi jika kalian tidak mempunyai nasi atau air, maka kalian akan
mati. Saya melihat di dunia ini hanya dua hal ini yang penting. Kalian
memerlukan nasi dan air untuk memberi makan tubuh ini. Jadi saya tidak
tertarik pada yang lainnya, saya puas dengan apapun yang diberikan.
Selama saya mendapatkan nasi dan air, itu cukuplah untuk praktek, saya
merasa puas.
Apakah itu cukup bagi kalian? Semua yang lainnya hanyalah barang
tambahan, kalian memperolehnya atau tidak, itu tidaklah penting. Kalian
memperolehnya atau tidak, itu bukanlah masalah, bahan-bahan yang
terpenting hanyalah nasi dan air.
"Jika saya hidup seperti ini mampukah saya bertahan?" Kutanyai diri
sendiri, "Tampaknya cukup untuk dilewati dengan baik. Paling tidak saya
bisa mendapatkan nasi pada saat berpindapata di desa manapun, sejumput
dari setiap rumah. Air biasanya tersedia. Hanya dua ini saja cukup..."
Saya tidak bertujuan untuk menjadi kaya.
Berkenaan dengan praktek, benar dan salah biasanya berdampingan.
Kalian harus berani melakukannya, berani praktek. Jika kalian belum
pernah ke tanah perkuburan, kalian harus melatih diri untuk pergi. Jika
kalian tidak bisa pergi saat malam, pergilah di siang hari. Selanjutnya
latihlah diri kalian untuk pergi sore sampai kalian bisa pergi saat
menjelang malam dan tinggal di sana. Maka kalian akan melihat efek-efek
dari praktek itu. Selanjutnya kalian akan mengerti.
Batin ini sekarang sudah diperdaya sebanyak berapa kali kehidupan
yang tidak kita ketahui. Kita menghindari apapun yang tidak kita sukai
atau cintai, kita hanya menuruti ketakutan-ketakutan kita. Dan kita
katakan kita sedang praktek. Ini tidak bisa disebut "praktek"! Jika itu
adalah praktek yang sejati, kalian bahkan akan mempertaruhkan kehidupan
kalian. Jika kalian benar-benar telah memutuskan untuk praktek, mengapa
kalian memperhatikan urusan-urusan yang sepele?... "Saya hanya mendapat
sedikit, kalian memperoleh banyak". "Kamu berdebat denganku maka aku
berdebat denganmu..." Saya sama sekali tidak memiliki pikiran-pikiran
semacam ini karena saya tidak mencari hal-hal demikian. Apapun yang
dilakukan orang lain itu urusan mereka. Pergi ke vihara lain, saya tidak
melibatkan diri dalam urusan-urusan seperti itu. Bagaimanapun tinggi
atau rendah praktek orang lain, saya tak akan mencampurinya, saya hanya
mengurusi urusan saya sendiri. Dengan begitu saya berani praktek, dan
praktek itu membangkitkan kebijaksanaan dan pandangan terang.
Jika praktek kalian benar-benar telah mengenai sasaran maka kalian
benar-benar praktek. Siang atau malam kalian tetap berlatih.
Pada malam hari, ketika sunyi, saya akan duduk bermeditasi, lalu
turun untuk berjalan, bergantian ke muka dan ke belakang, semalam paling
tidak dua atau tiga kali. Berjalan lalu duduk, terus berjalan lagi...
Saya tidak bosan, saya menikmatinya.
Kadang-kadang turun hujan rintik-rintik dan saya merenungkan saat
saya dulu bekerja di ladang padi. Celana kerja saya masih basah dari
hari sebelumnya tetapi saya harus bangun sebelum fajar dan mengenakannya
lagi. Selanjutnya saya harus ke kolong rumah untuk mengeluarkan kerbau.
Yang bisa saya lihat dari si kerbau hanyalah lehernya saja, karena di
situ sangat berlumpur. Saya jangkau talinya yang terbungkus lumpur.
Selanjutnya ekor kerbau akan dikibaskan dan ujungnya akan memercikku
dengan lumpur. Kaki saya pedih karena kutu air dan saya akan berjalan
dengan merenungkan, "Mengapa hidup begitu menyengsarakan?" Dan sekarang
di sini saya sedang bermeditasi-jalan... apakah arti sedikit hujan bagi
saya? Dengan berpikir begitu saya mendorong diri saya dalam praktek.
Jika praktek sudah memasuki sang arus maka tidak ada apapun yang
bisa dibandingkan dengannya. Tiada penderitaan seperti penderitaan
seorang pencari Dhamma, dan tiada kebahagiaan seperti kebahagiaannya
juga. Tidak ada semangat yang bisa dibandingkan dengan semangat seorang
pencari Dhamma dan tak ada kemalasan yang bisa dibandingkan dengannya
pula. Para pelaksana Dhamma adalah hebat. Itulah sebabnya saya katakan
jika kalian benar-benar praktek itu merupakan suatu pemandangan untuk
dilihat.
Tetapi kebanyakan dari kita hanya membicarakan praktek tanpa
melaksanakan atau mencapainya. Praktek kita bagaikan seorang yang
atapnya bocor di satu sisi sehingga ia tidur di sisi lain rumah itu.
Ketika cahaya matahari masuk pada sisi itu ia berguling ke sisi lain,
dan selalu berpikir "Kapan aku bisa mempunyai rumah yang layak seperti
yang lainnya?" Ketika seluruh atap berlubang maka ia akan bangun dan
meninggalkannya. Ini bukanlah cara melaksanakan sesuatu, tetapi
begitulah orang pada umumnya.
Batin kita, kekotoran-kekotoran batin kita... jika kalian ikuti
mereka, mereka akan menimbulkan kesulitan. Lebih banyak kalian
mengikutinya lebih merosot praktek kalian. Dengan praktek yang
sesungguhnya, kadang-kadang kalian bahkan akan takjub melihat semangat
kalian. Apakah orang lain praktek atau tidak, jangan pedulikan,
laksanakan saja praktek kalian sendiri secara terus-menerus. Siapapun
yang datang atau pergi tidaklah masalah, kerjakan saja praktek itu.
Kalian harus melihat ke dalam diri sendiri sebelum hal itu bisa disebut
"praktek". Jika kalian benar-benar praktek maka tidak ada konflik/pertentangan
di dalam batin kalian, di sana hanya ada Dhamma.
Di mana saja kalian masih merasa janggal, di mana saja kalian masih
kurang, di sanalah kalian harus melatih diri kalian. Jika kalian belum
memecahkannya janganlah menyerah. Setelah selesai dengan satu hal kalian
melekat pada hal lain, begitu terus-menerus sampai itu berakhir. Kapan
saja kalian melekat, bertahanlah sampai kalian memecahkannya, jangan
berhenti. Jangan merasa puas sampai itu berakhir. Arahkan semua
perhatian kalian pada titik itu. Ketika duduk, berbaring, atau berjalan,
amatilah tepat di situ.
Bagaikan seorang petani yang belum menyelesaikan sawahnya. Setiap
tahun ia menanam padi tetapi tahun ini ia belum menyelesaikannya,
sehingga pikirannya melekat pada pekerjaan itu, ia tidak bisa
beristirahat. Pekerjaannya belum selesai. Bahkan pada saat ia bersama
teman-temannya, ia tidak bisa santai, setiap saat ia dibayangi oleh
pekerjaannya yang belum rampung. Atau seperti seorang ibu yang
meninggalkan bayinya di atas loteng di dalam rumah ketika ia memberi
makan hewan di bawah: ia selalu memikirkan bayinya, kalau-kalau ia
terjatuh dari rumah. Walaupun ia mungkin melakukan pekerjaan lain,
bayinya tak pernah lepas dari pikirannya.
Semua ini sama bagi kita dan praktek kita —kita tak pernah
melupakannya. Walaupun kita mungkin mengerjakan hal lain, praktek kita
tak pernah lepas dari pikiran kita, ia selalu bersama kita, siang dan
malam. Semuanya harus seperti itu jika kalian ingin memperoleh kemajuan.
Pada awalnya kalian harus mempercayai seorang guru untuk memberi
petunjuk serta menasehati kalian. Ketika kalian mengerti, maka
praktekkanlah. Bila guru telah memberi petunjuk, kalian ikuti
petunjuk-petunjuk itu. Jika kalian mengerti praktek itu, maka tidaklah
perlu bagi sang guru untuk mengajar kalian, lakukanlah pekerjaan itu
sendiri. Bilamana kelengahan atau sifat-sifat buruk muncul kenalilah
sendiri, ajarilah diri kalian sendiri. Lakukanlah latihan itu sendiri.
Batin adalah satu-satunya yang mengetahui, yang menjadi saksi. Batin
mengetahui jika kalian masih sangat dibodohi atau hanya sedikit dibodohi.
Kapan saja kalian masih salah cobalah untuk berlatih tepat pada titik
itu, curahkanlah tenaga padanya.
Praktek adalah seperti itu. Hal itu hampir seperti menjadi gila,
atau kalian bahkan bisa mengatakan bahwa kalian gila. Jika kalian
benar-benar praktek kalian memang gila, kalian "memberontak". Kalian
sudah mengubah persepsi/pemahaman dan kemudian kalian menyesuaikan
persepsi kalian. Jika kalian tidak menyesuaikannya, ia akan tetap
menyusahkan dan menyedihkan seperti sebelumnya.
Jadi ada banyak penderitaan dalam praktek, tetapi jika kalian tidak
mengenali penderitaan kalian sendiri, kalian tidak akan mengetahui
Kesunyataan Mulia tentang Penderitaan. Untuk mengetahui penderitaan,
untuk memusnahkannya, pertama-tama kalian harus mengalaminya. Jika
kalian ingin menembak seekor burung tetapi tidak pergi dan mencarinya,
bagaimana kalian akan pernah menembaknya? Penderitaan, penderitaan...
Sang Buddha mengajarkan tentang penderitaan: Penderitaan karena
kelahiran, penderitaan karena usia tua... jika kalian tidak mau
mengalami penderitaan kalian tak akan melihat penderitaan. Jika kalian
tidak melihat penderitaan kalian tak akan mengerti penderitaan. Jika
kalian tidak mengerti penderitaan kalian tak akan bisa bebas dari
penderitaan.
Sekarang orang tidak mau melihat penderitaan, mereka tidak mau
mengalaminya. Jika mereka menderita di sini mereka lari ke sana. Kalian
tahu? Mereka hanya menyeret penderitaan mereka di sekitar mereka, mereka
tak pernah mengatasinya. Mereka tidak merenungkan atau menyelidikinya.
Mereka berusaha melarikan diri dari penderitaan secara fisik. Selama
kalian masih tidak tahu, kemana pun kalian pergi, kalian akan menemui
penderitaan. Bahkan jika kalian naik pesawat terbang untuk
menghindarinya, ia akan naik pesawat terbang bersama kalian. Jika kalian
menyelam di bawah air, ia akan menyelam bersama kalian, karena
penderitaan berada di dalam diri kita. Tetapi kita tidak mengetahuinya.
Jika ia berada di dalam diri kita, ke mana kita bisa lari untuk
menghindarinya?
Mereka pikir mereka telah menghindari penderitaan tetapi
sesungguhnya tidak, penderitaan pergi bersama mereka. Mereka membawa
serta penderitaan tanpa disadari. Jika kita tidak mengerti penderitaan
maka kita tidak bisa mengerti sebab penderitaan. Jika kita tidak
mengerti sebab penderitaan maka kita tidak bisa mengerti akhir
penderitaan, tidak ada jalan bagi kita untuk menghindarinya.
Kalian harus perhatikan hal ini dengan tekun sampai kalian tidak
meragukannya lagi. Kalian harus berani untuk melaksanakan praktek.
Jangan melalaikannya, baik ketika di dalam kelompok ataupun sedang
sendiri. Jika orang lain malas, itu bukan urusan kalian. Siapa pun yang
banyak melakukan meditasi jalan, banyak praktek... saya jamin hasilnya.
Jadi kalian benar-benar berlatih dengan konsisten, apakah orang lain
datang atau pergi atau yang lainnya, satu masa vassa saja sudah cukup.
Kerjakan seperti yang sudah saya ajarkan di sini. Dengarkan nasihat
guru, jangan berdalih, jangan keras kepala. Apapun yang beliau katakan
untuk dikerjakan, segeralah pergi dan kerjakan. Kalian tidak perlu takut
pada praktek, pengetahuan pasti akan muncul darinya.
Praktek adalah juga
patipada.
Apakah
patipada?
Prakteklah dengan tekun dan terus-menerus. Jangan berlatih seperti
Pendeta Tua Peh. Pada satu masa vassa ia memutuskan untuk tidak
berbicara tetapi ia mulai menulis catatan,... "Besok tolong gorengkan
nasi untukku". Ia ingin makan nasi goreng! Ia berhenti berbicara tetapi
mulai menulis begitu banyak pesan sehingga ia bahkan lebih bingung
daripada sebelumnya. Dalam satu menit ia akan menulis satu hal,
selanjutnya yang lain, betapa lucunya!
Saya tidak tahu mengapa ia bersusah-payah memutuskan untuk tidak
berbicara. Ia tidak mengetahui bagaimana praktek itu sebenarnya.
Sesungguhnya praktek kita adalah merasa puas dengan yang sedikit,
hanya bersikap wajar. Jangan risaukan apakah kalian merasa malas atau
rajin. Bahkan jangan katakan "aku rajin" atau "aku malas". Orang pada
umumnya hanya berlatih ketika mereka merasa rajin, jika mereka merasa
malas mereka tidak peduli. Beginilah orang pada umumnya. Tetapi para
bhikkhu seharusnya tidak berpikir seperti itu. Bila kalian rajin, kalian
berlatih; ketika kalian malas, kalian tetap berlatih. Jangan risaukan
hal lain, potong mereka, singkirkan mereka, latihlah dirimu sendiri.
Berlatihlah dengan terus-menerus, apakah siang atau malam, tahun ini,
tahun depan, apapun waktunya... jangan perhatikan pikiran rajin atau
malas, jangan cemas apakah hari panas atau dingin, berlatihlah. Ini
disebut
sammapatipada
—Praktek Benar.
Sebagian orang benar-benar mencurahkan diri mereka pada latihan
selama enam atau tujuh hari, selanjutnya, ketika mereka tidak memperoleh
hasil yang diinginkan, mereka menyerah dan kembali pada cara semula,
gemar mengobrol, bergaul, dan yang lainnya. Lalu mereka teringat praktek
itu serta berlatih lagi selama enam atau tujuh hari, menyerah lagi...
Ini seperti cara kerja kebanyakan orang. Pertama mereka melibatkan
dirinya... lalu, ketika berhenti, mereka bahkan tidak ingat untuk
membawa peralatan mereka, mereka hanya pergi dan meninggalkannya di sana.
Kelak, ketika tanah semua kering, mereka teringat pekerjaannya dan
mengerjakan sedikit lagi, hanya untuk ditinggalkan lagi.
Mengerjakan sesuatu dengan cara ini kalian tak akan pernah
memperoleh taman atau padi yang baik. Begitu juga praktek kita. Jika
kalian pikir
patipada
ini tidak penting, kalian tak akan sampai kemana pun dengan praktek ini.
Sammapatipada
tak dapat disangkal sangatlah penting. Lakukanlah secara terus-menerus.
Jangan dengarkan suasana-hati kalian. Lalu kenapa jika suasana-hati
kalian baik atau buruk? Sang Buddha tidak peduli dengan hal itu. Beliau
telah mengalami semua hal yang baik dan buruk, hal-hal yang benar dan
salah. Itulah praktek Beliau. Hanya mengambil apa yang kalian sukai dan
membuang apa yang tidak kalian sukai, itu bukan merupakan praktek, tapi
itu merupakan malapetaka. Kemana pun kalian pergi kalian tak akan pernah
puas, di manapun kalian tinggal di sana ada penderitaan.
Berlatih seperti ini adalah bagaikan kaum Brahmana yang melaksanakan
kurban mereka. Mengapa mereka lakukan itu? Karena mereka menginginkan
sesuatu sebagai gantinya. Beberapa di antara kita berlatih seperti itu.
Mengapa kita berlatih? Karena kita mencari kelahiran-kembali, bentuk
keberadaan yang lain, kita ingin mencapai sesuatu. Jika kita tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan maka kita tidak mau berlatih, tepat
seperti kaum Brahmana melaksanakan upacara kurban mereka. Mereka
melakukan hal itu karena nafsu-keinginan.
Pada suatu ketika ada seorang Thera yang mengikuti tradisi
Mahanikai.
Tetapi ia menilai itu kurang keras jadi ia mengambil penahbisan
Dhammayuttika
(Mahanikai
dan Dhammayuttika merupakan dua tradisi sangha Theravada di
Thailand).
Lalu ia mulai berlatih. Kadangkala ia berpuasa selama lima belas hari,
selanjutnya ketika makan ia hanya memakan daun dan rumput. Ia pikir
memakan daging merupakan karma buruk, dan akan lebih baiklah bila
memakan daun dan rumput.
Setelah beberapa saat... "Hmm. Menjadi seorang bhikkhu tidaklah
begitu baik, ia tidak menyenangkan. Sangat sulit untuk menjaga latihan
vegetarian saya sebagai seorang bhikkhu. Mungkin saya akan lepas jubah
dan menjadi seorang
pa-kow.
Jadi ia lepas jubah dan menjadi
pa-kow
sehingga ia bisa mengumpulkan daun dan rumput untuk dirinya sendiri
serta menggali akar dan ubi jalar. Ia terus begitu untuk beberapa saat
sampai akhirnya ia tidak mengetahui apa yang harus ia kerjakan. Ia
menyerah. Ia berhenti sebagai bhikkhu, berhenti sebagai
pa-kow,
ia melepaskan semuanya. Saat ini saya tidak tahu apa yang dikerjakannya.
Mungkin ia sudah meninggal, saya tidak tahu. Ini semua karena ia tidak
bisa menemukan sesuatu yang cocok untuk batinnya. Ia tidak menyadari
bahwa ia hanya mengikuti kekotoran-batin. Kekotoran-batin
mengendalikannya tetapi ia tidak mengetahuinya.
"Apakah Sang Buddha lepas jubah dan menjadi seorang
pa-kow?
Bagaimana Sang buddha berlatih? Apa yang Beliau kerjakan?" Ia tidak
mempertimbangkan hal ini. Apakah Sang Buddha pergi dan makan daun serta
rumput seperti sapi? Jadi, jika kalian ingin makan seperti itu silahkan
—jika itu semua adalah yang bisa kalian lakukan, —tetapi janganlah
mencela orang lain. Apapun patokan praktek yang kalian rasa cocok
bertahanlah dengan itu. "Jangan mencungkil atau memahat terlalu banyak
atau kalian tak akan mempunyai pegangan yang baik" (Ungkapan
Thai yang berarti "Jangan berlebih-lebihan dalam mengerjakan sesuatu").
Kalian akan tertinggal tanpa hasil apapun dan akhirnya hanya menyerah.
Sebagian orang memang seperti itu. Jika saatnya meditasi jalan,
mereka benar-benar melakukannya selama lima belas hari atau lebih.
Mereka bahkan tidak mempedulikan makan, hanya berjalan. Selanjutnya
ketika mereka selesai, mereka hanya berbaring dan tidur. Mereka tidak
cermat mempertimbangkannya sebelum mereka mulai berlatih. Pada akhirnya
tak ada satupun yang cocok dengan mereka. Menjadi bhikkhu tidak sesuai
baginya, menjadi
pa-kow
tidak sesuai baginya... jadi mereka mengakhirinya tanpa hasil.
Orang seperti itu tidak mengerti praktek, mereka tidak menyelidiki
alasan untuk berlatih. Pikirkanlah mengapa kalian berlatih. Mereka
mengajarkan praktek ini untuk melepas. Batin ingin mencintai orang ini
dan membenci orang itu... hal-hal ini bisa muncul tetapi jangan mengira
mereka sebagai kenyataan. Jadi untuk apa kita berlatih? Hanya agar kita
dapat melepaskan hal-hal itu. Bahkan ketika kalian mencapai kedamaian,
lepaskanlah kedamaian itu. Jika pengetahuan muncul, lepaskan pengetahuan
itu. Jika kalian tahu maka biarlah kalian tahu, tetapi jika kalian
menyimpan pengetahuan sebagai milik kalian maka kalian akan berpikir
bahwa kalian mengetahui sesuatu. Seterusnya kalian akan berpikir bahwa
kalian lebih baik dari yang lain. Setelah beberapa saat, kalian tak bisa
hidup di mana pun, di mana pun kalian hidup persoalan akan timbul. Jika
kalian berlatih secara salah, itu bagaikan kalian sama sekali tidak
berlatih.
Berlatihlah sesuai dengan kemampuan kalian. Apakah kalian banyak
tidur? Cobalah untuk berbuat sebaliknya. Apakah kalian banyak makan?
Cobalah untuk makan sedikit, lakukan praktek sebanyak yang kalian
perlukan, gunakanlah
sila,
samadhi
dan
pañña
sebagai dasar kalian. Lalu tambahkan juga praktek
dhutanga (Dhutanga
—tiga belas praktek yang diizinkan oleh Sang buddha, di luar dan
melebihi tata-tertib atau disiplin umum (vinaya), untuk mereka
yang ingin berlatih lebih ecara tapa brata.)
Praktek
dhutanga
ini untuk menggali kekotoran-kekotoran batin. Kalian mungkin merasakan
praktek-praktek dasar tetap belum mampu mencabut kekotoran-kekotoran
batin, maka kalian harus menggabungkannya dengan praktek
dhutanga.
Praktek
dhutanga
ini sungguh berguna. Sebagian orang tidak bisa membasmi kekotoran-batin
mereka dengan dasar
sila
dan
samadhi,
mereka harus menyertakan praktek
dhutanga
untuk membantunya. Praktek
dhutanga
memotong banyak hal. Hidup di bawah pohon... dan lain-lain. Hidup di
bawah pohon tidaklah bertentangan dengan aturan tata-tertib
(vinaya).
Atau hidup di tanah perkuburan, itu juga tidak bertentangan dengan
peraturan tata-tertib. Tetapi jika kalian memutuskan tidak
melaksanakannya, itu merupakan kesalahan. Cobalah melakukannya.
Bagaimana kiranya hidup di tanah perkuburan? Apakah sama dengan hidup
dalam satu kelompok?
DHU-TAN-GA:
diterjemahkan sebagai "praktek-praktek yang sulit untuk dilakukan". Ini
merupakan praktek para Siswa Mulia. Siapapun yang ingin menjadi seorang
Siswa Mulia harus menggunakan praktek
dhutanga
untuk memotong kekotoran-kekotoran batin. Adalah sulit untuk menjalani
praktek-praktek
dhutanga
tersebut dan sulit menemukan orang yang menjalankan praktek tersebut,
karena praktek-praktek tersebut menentang arus.
Seperti halnya dengan jubah: mereka mengatakan agar membatasi
jubahnya hanya pada tiga jubah dasar; merawat diri sendiri dengan
makanan sedekah; hanya makan dari mangkuk; hanya makan apa yang
diperoleh dari perjalanan
pindapata,
dan tidak akan menerima makanan yang diberikan oleh umat setelah itu.
Di Thailand Tengah mudah menjalankan praktek terakhir ini,
makanannya cukup memadai, karena mereka memberikan banyak makanan dalam
mangkuk kalian. Tetapi ketika kalian berada di Timur-laut Thailand ini
"dhutanga"
di sini mempunyai perbedaan yang hampir tidak kentara —di sini kalian
menerima nasi putih! Kebiasaan di sini hanya memberikan nasi dan makanan/lauk
lain pula, tetapi di sekitar sini kalian hanya menerima nasi putih.
Praktek
dhutanga
ini sungguh menjadi tapabrata. Kalian hanya memakan nasi putih, apapun
yang dibawa untuk diberikan setelah itu tidak kalian terima. Selanjutnya
makan hanya satu kali dalam sehari, pada satu kali duduk, hanya dari
satu mangkuk —ketika kalian sudah selesai makan, kalian berdiri dari
tempat duduk dan tidak makan lagi pada hari itu.
Inilah yang disebut praktek-praktek
dhutanga.
Sekarang siapa yang mau berlatih? Saat ini sulit untuk menemukan orang
yang cukup bertanggung-jawab untuk mempraktekkan
dhutanga
karena praktek-praktek tersebut banyak persyaratannya, tetapi itulah
sebabnya mereka begitu bermanfaat.
Apa yang orang sebut praktek pada saat ini bukanlah praktek
sesungguhnya. Jika kalian benar-benar berlatih itu bukanlah hal
sederhana. Orang pada umumnya tidak berani benar-benar berlatih, tidak
berani untuk benar-benar melawan arus. Mereka tidak ingin melakukan
apapun yang bertentangan dengan perasaan mereka. Mereka tidak ingin
melawan kekotoran-kekotoran batin, mereka tidak ingin memukulnya atau
bebas dari mereka.
Di dalam praktek kita, mereka mengatakan agar jangan mengikuti
selera/suasana-hati kalian sendiri. Pertimbangkan: kita telah dibodohi
sejak kehidupan-kehidupan yang tak terhitung banyaknya untuk mempercayai
bahwa batin adalah kita sendiri. Sesungguhnya bukan begitu, tetapi ia
hanyalah penipu. Ia menyeret kita pada keserakahan, menyeret kita pada
pencurian, perampasan, nafsu keinginan, dan kebencian. Hal-hal itu
bukanlah milik kita. Tanyailah diri kalian sekarang juga: apakah kalian
ingin jadi baik? Semua ingin jadi baik. Sekarang, bila melakukan semua
hal itu, apakah baik? Nah! Orang-orang melakukan perbuatan jahat tetapi
mereka ingin menjadi baik. Itulah sebabnya saya katakan semua itu tipuan,
itulah mereka.
Sang Buddha tidak ingin kita mengikuti batin ini, Beliau ingin kita
untuk melatihnya. Jika ia pergi ke satu arah maka bersembunyilah ke arah
lain. Jika ia ke sana maka bersembunyilah lagi di sini. Secara sederhana:
apapun yang diinginkan batin, jangan biarkan ia memilikinya. Itu
seolah-olah seperti kita telah berteman lama tetapi akhirnya kita sampai
pada satu titik di mana gagasan kita tidak lagi selaras. Kita berpisah
dan menempuh jalan masing-masing. Kita tidak lagi saling memahami,
kenyataannya kita bahkan berdebat, jadi kita berpisah. Itu benar, jangan
ikuti batin kalian sendiri. Siapapun yang mengikuti batinnya, mengikuti
apa yang disukai, diingini, dan yang lainnya, orang itu sesungguhnya
belum berlatih sama sekali.
Inilah sebabnya mengapa saya katakan bahwa apa yang orang sebut
praktek sesungguhnya bukan praktek... itu malapetaka. Jika kalian tidak
berhenti dan melihat, jangan mencoba berlatih, kalian tak akan melihat,
karena tak akan mencapai Dhamma. Secara jujur, dalam praktek ini, kalian
harus melibatkan kehidupan kalian. Bukan berarti ini tidak sulit, bahkan
praktek ini meminta banyak penderitaan. Terutama pada tahun pertama atau
kedua, ada banyak penderitaan. Para bhikkhu dan samanera muda akan
melewati masa-masa yang sulit.
Saya menemui banyak kesulitan di masa yang lampau, terutama dengan
makanan. Apa yang bisa kalian harapkan? Menjadi bhikkhu pada usia dua
puluh tahun ketika kalian sedang gemar makan dan tidur... beberapa hari
saya akan duduk sendirian dan hanya memimpikan makanan. Saya ingin
memakan setup pisang, atau rujak pepaya, dan air liur saya mulai
mengalir. Ini merupakan bagian dari latihan. Semua hal ini tidaklah
mudah. Persoalan makanan dan makan bisa membawa seseorang melakukan
banyak karma buruk. Ambil contoh seseorang yang baru tumbuh dewasa, yang
baru saja gemar makan dan tidur, lalu memaksanya hidup dalam jubah ini,
sehingga perasaannya bergolak. Ini bagaikan membendung aliran air yang
deras, kadang-kadang bendungan itu rusak. Jika selamat itu baik, tetapi
jika tidak ia gagal.
Meditasi saya pada tahun pertama tidak ada yang lain, hanya makanan.
Saya begitu gelisah... Kadang-kadang saya duduk di sana dan sepertinya
saya benar-benar memasukkan pisang ke dalam mulut saya. Saya seperti
merasakan diri saya memotong-motong kecil pisang itu dan memasukkannya
ke dalam mulut saya. Dan inilah semua bagian dari praktek itu.
Jadi janganlah takut pada hal itu. Sekarang kita semua sudah
terpedaya/tertipu selama tak terhitung banyaknya kehidupan, jadi untuk
melatih diri sendiri, memperbaiki diri sendiri, bukanlah hal yang mudah.
Tetapi jika ia sulit maka ia berharga untuk dikerjakan. Mengapa kita
merisaukan hal-hal yang mudah? Kerjakanlah hal-hal yang sulit, siapapun
bisa mengerjakan hal-hal yang mudah. Kita harus melatih diri sendiri
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
Itu pasti sama bagi Sang Buddha. Jika Beliau hanya mencemaskan
keluarga dan kerabatnya, kekayaan dan kesenangan-kesenangan inderawinya,
Beliau tak akan pernah menjadi Buddha. Hal-hal ini juga bukan hal remeh,
mereka adalah yang dicari-cari oleh orang pada umumnya. Jadi, menjadi
pertapa pada usia muda dan melepaskan semua hal itu adalah bagaikan mati.
Dan sekarang beberapa orang datang dan berkata, "Oh, itu mudah bagimu,
Luang Por. Anda tak pernah memiliki istri dan anak untuk dicemaskan,
jadi itu lebih mudah bagi Anda!" Saya katakan, "Jangan terlalu dekat
dengan saya ketika Anda berkata begitu, atau Anda akan terpengaruh!" ...seolah-olah
saya ini tidak mempunyai hati-nurani atau semacamnya!
Bagi orang kebanyakan, tidak ada persoalan yang sepele/remeh.
(semuanya dianggap hal yang penting —red).
Itulah semua tentang kehidupan. Jadi kita, pelaksana Dhamma, haruslah
sepenuhnya masuk ke dalam praktek, benar-benar berani melakukannya.
Jangan mempercayai pihak lain, hanya dengarkan ajaran Sang Buddha.
Tegakkan kedamaian di hati kalian. Pada saatnya kalian akan mengerti.
Berlatih, pertimbangkan, renungkan, dan buah dari praktek itu akan
muncul. Sebab dan akibatnya akan sebanding.
Jangan menyerah pada suasana-hati kalian. Pada awalnya, bahkan untuk
menemukan jumlah tidur yang tepat saja sangat sulit. Kalian mungkin
memutuskan untuk tidur dalam waktu tertentu tetapi tak mampu
mengerjakannya. Kalian harus melatih diri sendiri. Pukul berapa pun
kalian putuskan untuk bangun, bangunlah secepatnya begitu kalian terjaga.
Kadangkala kalian bisa melakukannya, tetapi kadangkala begitu kalian
terjaga kalian katakan pada diri sendiri "bangun!" dan ia tak mau
berpindah tempat! Kalian mungkin harus katakan pada diri sendiri, "Satu...
Dua... jika saya sampai pada hitungan ketiga dan tetap tidak bangun
biarlah saya masuk neraka!" Kalian harus mendidik diri sendiri seperti
itu. Ketika kalian sampai pada hitungan tiga kalian akan segera bangun,
kalian takut akan jatuh ke dalam neraka.
Kalian harus melatih diri sendiri, kalian tidak dapat melepaskan
latihan. Kalian harus melatih diri sendiri dari semua sudut. Jangan
hanya bersandar pada guru kalian, teman-teman kalian, atau kelompok
kalian sepanjang waktu, atau kalian tak akan pernah menjadi bijaksana.
Tidaklah penting mendengarkan begitu banyak petunjuk, dengarkanlah
petunjuk hanya satu atau dua kali dan kemudian lakukanlah.
Batin yang terlatih tidak berani menimbulkan kesulitan, walaupun di
dalam keadaan yang pribadi. Dalam batin seseorang yang terlatih, tidak
ada hal seperti "pribadi" atau "di depan umum". Semua para Suci memiliki
kepercayaan dalam hati mereka sendiri. Kita seharusnya seperti itu.
Sebagian orang menjadi bhikkhu hanya untuk mendapatkan kehidupan
yang mudah. Dari manakah datangnya kemudahan itu? Apakah sebabnya? Semua
kemudahan harus didahului oleh penderitaan. Dalam semua hal keadaan itu
sama: kalian harus bekerja sebelum kalian mendapatkan uang, bukankah
demikian? Kalian harus membajak sawah sebelum kalian mendapatkan padi.
Dalam semua hal, pertama-tama kalian harus mengalami kesulitan.
Sebagian orang menjadi bhikkhu untuk beristirahat dan santai, mereka
berkata mereka ingin duduk dan beristirahat sejenak. Jika kalian tidak
mempelajari buku-buku apakah kalian berharap bisa membaca dan menulis?
Itu tidak mungkin.
Inilah sebabnya mengapa pada umumnya orang yang sudah banyak belajar
dan menjadi bhikkhu tak pernah sampai kemana pun. Pengetahuan mereka
berbeda macamnya, pada jalan yang berbeda. Mereka tidak melatih diri
sendiri, mereka tidak melihat ke dalam batinnya. Mereka hanya mengaduk
batinnya dengan kebingungan, mencari hal-hal yang tidak menghasilkan
ketenangan dan pengendalian diri. Pengetahuan Sang Buddha bukanlah
pengetahuan duniawi, ia merupakan pengetahuan di atas duniawi, satu
jalan yang sama-sekali berbeda.
Inilah sebabnya mengapa siapapun yang memasuki kehidupan kebhikkhuan
Buddhis harus melepaskan derajat, status, atau posisi apapun yang telah
mereka peroleh sebelumnya. Bahkan ketika seorang raja menjadi pertapa ia
harus melepaskan status beliau yang sebelumnya, beliau tidak membawa
kekayaannya, status, pengetahuan atau kekuasaan dalam kehidupan
kebhikkhuan bersamanya. Praktek itu menyangkut membuang, melepaskan,
mencabut, menghentikan. Kalian harus memahami ini agar praktek bisa
berjalan.
Jika kalian sakit dan tidak mengobati penyakit itu dengan obat
apakah kalian pikir penyakit itu akan sembuh sendiri? Tempat apapun yang
kalian takuti, pergilah ke sana. Di mana pun ada makam atau tanah
perkuburan yang sangat menyeramkan, pergilah ke sana. Kenakan jubah
kalian, pergilah ke sana dan renungkanlah,
Aniccavata sankhara (Bagian
dari satu syair berbahasa Pali, biasanya dibacakan pada saat upacara
pemakaman. Arti keseluruhan syair itu adalah, "Aduh, semua hal yang
terjadi dari perpaduan bersifat sementara / Setelah timbul, mereka
lenyap /Setelah lahir, mereka mati/Berhentinya semua perpaduan sungguh
merupakan kebahagiaan sejati")...
Lakukanlah meditasi berdiri dan berjalan di sana, lihatlah ke dalam dan
kenali di mana letak ketakutan kalian. Semuanya akan sangat nyata.
Pahami kebenaran semua hal yang berkondisi. Tinggallah di sana dan
amatilah sampai malam menjelang serta keadaan menjadi makin malam dan
makin gelap, sampai kalian akhirnya bisa tinggal di sana sepanjang malam. Sang Buddha bersabda, "Siapapun yang melihat Dhamma ia melihat Sang Tathagata. Siapapun yang melihat Sang Tathagata ia melihat Nibbana". Jika kita tidak mengikuti contoh Beliau bagaimana kita akan melihat Dhamma? Jika kita tidak melihat Dhamma bagaimana kita akan mengenal Sang Buddha? Jika kita tak melihat Sang Buddha bagaimana kita akan mengenal sifat-sifat Sang Buddha? Hanya jika kita berlatih dalam langkah-langkah Sang Buddha kita akan mengetahui bahwa apa yang diajarkan Sang Buddha adalah mutlak pasti, bahwa ajaran Sang Buddha merupakan kebenaran tertinggi.
Kita semua memutuskan untuk menjadi
bhikkhu
dan
samanera
(Calon Bhikkhu) di dalam Buddha Sasana dengan tujuan untuk
menemukan kedamaian. Lalu, apakah kedamaian sejati itu? Kedamaian sejati,
kata Sang Buddha, tidaklah terlalu jauh, ia terletak di sini, di dalam
diri kita, tetapi kita cenderung mengabaikannya. Orang-orang mempunyai
gagasan-gagasan tentang menemukan kedamaian tetapi tetap cenderung
mengalami kebingungan dan pergolakan, mereka tetap cenderung kurang
yakin serta belum sepenuhnya berada di dalam praktek mereka. Mereka
belum mencapai tujuan.
Itu bagaikan kita pergi meninggalkan rumah untuk berkeliling ke
berbagai tempat yang berbeda. Apakah kita naik mobil atau berlayar naik
kapal, tidak peduli ke mana kita pergi, kita tetap belum sampai di rumah
kita. Selama kita belum sampai di rumah, kita tidak merasa puas, kita
tetap mempunyai urusan yang harus diselesaikan. Ini karena perjalanan
kita belum selesai, kita belum sampai di tempat tujuan. Kita pergi ke
mana-mana untuk mencari kebebasan.
Kalian semua para bhikkhu dan samanera di sini menginginkan
kedamaian. Bahkan diri saya sendiri, ketika masih muda, mencari
kedamaian ke mana-mana. Ke mana pun saya pergi saya tidak bisa merasa
puas. Pergi ke hutan atau mengunjungi berbagai guru, mendengarkan
berbagai ceramah Dhamma, saya tidak bisa menemukan kepuasan. Mengapa
demikian?
Kita mencari kedamaian di tempat-tempat yang tenang, di mana
tidak ada pemandangan, suara, bau-bauan, atau rasa... dengan berpikir
bahwa hidup sepi seperti ini adalah cara untuk menemukan kepuasan, bahwa
di sinilah letak kedamaian.
Tetapi sesungguhnya, jika kita hidup sangat sunyi di
tempat-tempat di mana tak ada sesuatu pun yang terjadi, dapatkah
kebijaksanaan timbul? Apakah kita akan sadar terhadap sesuatu?
Pikirkanlah itu. Jika mata kita tidak melihat pemandangan, bagaimana
jadinya? Jika hidung tidak mencium bau, bagaimana jadinya? Jika lidah
tidak mengecap rasa, bagaimana jadinya? Jika badan sama sekali tidak
mengalami perasaan apapun, bagaimana jadinya? Menjadi seperti itu
bagaikan menjadi seorang buta dan tuli, orang yang hidung dan lidahnya
rusak serta seluruhnya mati rasa oleh kelumpuhan. Akankah ada sesuatu di
sana? Meskipun demikian orang cenderung berpikir jika mereka pergi ke
tempat di mana tidak terjadi sesuatu mereka akan menemukan kedamaian.
Benar, saya sendiri telah berpikir begitu, saya pernah berpikir dalam
cara itu...
Ketika saya seorang bhikkhu muda yang baru mulai berlatih, saya
akan duduk bermeditasi dan suara-suara akan mengganggu saya. Saya akan
berpikir sendiri, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menenangkan batin
saya?" Maka saya ambil sedikit lilin lebah dan menyumbat telinga saya
sehingga saya tidak bisa mendengar apapun. Yang tinggal hanya suara
berdengung. Saya pikir itu akan menenangkan, tetapi tidak, ternyata
semua pemikiran dan kebingungan tidak muncul pada telinga. Ia muncul di
dalam batin. Itulah tempat untuk mencari kedamaian.
Untuk mengatakannya dengan cara lain, tidak peduli di manapun
kalian tinggal, kalian tak ingin melakukan apapun karena itu mengganggu
praktek kalian. Kalian tidak mau menyapu atau melakukan pekerjaan lain,
kalian hanya ingin diam dan menemukan kedamaian dengan cara itu. Guru
meminta kalian untuk membantu mengerjakan berbagai tugas atau kewajiban
harian lainnya tetapi kalian tidak sepenuh hati melakukannya karena
kalian rasa itu hanyalah persoalan luar.
Saya sudah berulang kali mengemukakan contoh salah seorang murid
saya yang ingin sekali "melepaskan" dan menemukan kedamaian. Saya
mengajar tentang "melepaskan" dan ia memahaminya bahwa melepaskan segala
sesuatu memang merupakan kedamaian. Sesungguhnya sejak pertama kali
datang ke sini ia tidak mau mengerjakan apapun. Bahkan ketika angin
menerbangkan separuh atap kutinya ia tidak peduli. Ia berkata bahwa itu
hanya keadaan luar. Jadi ia tidak peduli untuk membenahinya. Ketika
cahaya dan curah hujan masuk dari satu sisi ia pindah ke sisi lain. Itu
bukan urusannya. Urusannya hanya membuat batinnya damai. Hal-hal lainnya
merupakan gangguan, ia tidak mau terlibat. Begitulah cara ia melihatnya.
Pada suatu hari saya berjalan melewatinya dan melihat atap yang
roboh. "Eh!? Kuti siapa ini?" Seseorang memberitahu saya siapa
pemiliknya, dan saya berpikir, "Hmm. Aneh..." Jadi saya
berbincang-bincang dengannya, menjelaskan berbagai hal, seperti
kewajiban berkenaan dengan tempat tinggal kita,
senasanavatta.
"Kita harus mempunyai tempat tinggal, dan kita harus merawatnya. 'Melepaskan'
bukanlah seperti itu, melepaskan tidaklah berarti melalaikan tanggung
jawab kita. Itu adalah tindakan seorang yang bodoh. Hujan masuk di satu
sisi dan kamu pindah ke sisi lain, lalu cahaya masuk dan kamu pindah
lagi ke sisi itu. Mengapa begitu? Mengapa kamu tidak peduli untuk pergi
ke sana? "Saya memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang hal ini
kepadanya; kemudian, ketika saya sudah selesai, ia berkata:
"Oh, Luang Por, kadang-kadang Anda mengajar saya untuk melekat
dan kadang-kadang Anda mengajar saya untuk melepaskan. Saya tidak tahu
apa yang Anda ingin saya kerjakan. Bahkan ketika atap saya roboh dan
saya melepaskan sampai sebatas ini, Anda tetap mengatakan itu tidak
betul. Tetapi Anda mengajar saya untuk melepaskan! Saya tidak tahu apa
lagi yang akan Anda harapkan dari saya..."
Kalian lihat? Orang adalah seperti ini. Mereka bisa sebodoh ini.
Adakah obyek-obyek penglihatan yang bisa dilihat di dalam mata?
Jika tidak ada obyek luar yang terlihat apakah mata kita bisa melihat
sesuatu? Adakah suara di dalam telinga kita jika suara dari luar tidak
menyentuh? Jika tidak ada bebauan di luar apakah kita bisa menghirup bau?
Akankah ada rasa? Harus ada rasa yang menyentuh lidah sebelum orang bisa
merasakannya.
Di manakah sebab-sebabnya? Renungkanlah apa yang dikatakan Sang
Buddha: Semua
dhamma
(Kata
"dhamma" bisa digunakan dalam berbagai cara. Dalam pembicaraan
ini, Yang Ariya Achan menunjuk pada "Dhamma" —ajaran-ajaran
Sang Buddha; pada "dhamma" —"benda-benda", dan pada
"Dhamma" —pengalaman terhadap "Kebenaran" yang sangat
mendalam.)
timbul karena sebab. Jika kita tidak mempunyai mata, dapatkah kita
melihat pemandangan? Mata, telinga, hidung, lidah, jasmani, dan batin —inilah
sebabnya. Dikatakan bahwa semua
dhamma
timbul karena ada kondisi-kondisinya, bila
dhamma-dhamma
itu berakhir, itu karena kondisi penyebabnya telah berakhir. Untuk
mengakibatkan suatu kondisi muncul, maka kondisi penyebab harus timbul
terlebih dahulu.
Jika kita berpikir bahwa kedamaian terletak di mana tidak ada
sensasi-sensasi, akankah muncul kebijaksanaan? Akankah ada kondisi sebab
dan akibat? Akankah kita mempunyai sesuatu untuk dilatih? Jika kita
menyalahkan suara maka di mana ada suara, kita tak akan merasa tenang.
Kita pikir tempat itu tidak baik. Di mana saja ada pemandangan, kita
katakan itu tidak tenang. Jika demikian kasusnya maka untuk mencari
ketenangan kita harus menjadi orang yang semua inderanya telah mati,
buta dan tuli. Saya renungkan hal ini...
"Hmm. Ini aneh. Penderitaan timbul karena mata, telinga, hidung,
lidah, jasmani, dan batin. Jadi haruskah kita buta? Jika kita tidak
melihat apapun mungkin itu akan lebih baik. Tidak akan timbul
kekotoran-kekotoran batin jika orang itu buta, atau tuli. Apakah betul
begitu...?"
Tetapi, berpikir seperti ini adalah sama sekali salah. Jika
begitu kasusnya maka orang-orang yang buta dan tuli akan mencapai
pencerahan. Kekotoran-kekotoran tersebut semuanya akan sudah
diselesaikan jika kekotoran tersebut muncul di mata, telinga, dan
lain-lain. Inilah kondisi-kondisi penyebabnya. Jika sesuatu timbul, yang
merupakan sebab, di sanalah kita harus menghentikan mereka. Di mana
timbul sebab, di sanalah kita harus merenungkan.
Sesungguhnya, landasan-landasan indera mata, telinga, hidung,
lidah, jasmani, dan batin, merupakan hal yang bisa memudahkan timbulnya
kebijaksanaan, jika kita memahaminya sebagaimana adanya. Jika kita belum
sepenuhnya memahami mereka kita pasti mengingkarinya, dengan mengatakan
kita tidak mau melihat pemandangan, mendengar suara dan sebagainya,
karena mereka mengganggu kita. Jika kita memotong kondisi penyebabnya,
apa yang akan kita renungkan? Pikirkanlah itu. Di manakah akan ada sebab
dan akibat? Inilah cara berpikir yang salah pada sebagian dari kita.
Inilah sebabnya kita diajar untuk mengendalikan diri.
Pengendalian diri adalah Sila. Ada sila untuk pengendalian indera: mata,
telinga, hidung, lidah, jasmani dan batin: inilah sila kita, dan mereka
merupakan samadhi kita. Ingatlah cerita tentang Sariputta. Pada waktu
beliau belum menjadi seorang bhikkhu, beliau melihat Thera Assaji yang
sedang pergi berpindapata. Dengan melihat beliau, Sariputta berpikir,
"Pertapa ini sangat luar biasa. Ia bejalan tidak terlalu cepat
maupun lambat, jubahnya dikenakan dengan rapi, sikapnya sangat
terkendali". Sariputta tergugah oleh beliau sehingga mendatangi Yang
Ariya Assaji, memberi hormat dan bertanya kepada beliau,
"Maaf, tuan, siapakah Anda?"
"Saya seorang samana".
"Siapakah guru Anda?"
"Yang Ariya Gotama adalah guru saya".
"Apakah yang diajarkan oleh Yang Ariya Gotama?"
"Beliau mengajarkan bahwa semua hal timbul karena adanya
kondisi-kondisi. Ketika semuanya berakhir itu karena kondisi dari
penyebabnya sudah berakhir".
Ketika ditanya tentang Dhamma oleh Sariputta, Assaji hanya
menjelaskan secara singkat, beliau berbicara tentang sebab dan akibat.
Dhamma timbul karena berbagai kondisi. Mula-mula timbul sebab,
selanjutnya muncul akibat. Jika akibat ingin ditiadakan maka pertama-tama
sebabnya harus diakhiri. Itulah semua yang beliau katakan, tetapi itu
cukup bagi Sariputta (Pada
waktu itu Sariputta memperoleh pengetahuan yang sangat mendalam yang
pertama dalam Dhamma, mencapai Sotapanna, atau "Pemasuk Arus").
Sekarang, ini merupakan satu sebab bagi munculnya Dhamma. Pada
waktu itu Sariputta memiliki mata, ia memiliki telinga, ia memiliki
hidung, lidah, jasmani, dan batin. Semua dari panca inderanya lengkap.
Jika beliau tidak memiliki indera, akan cukupkah sebab-sebab bagi
kebijaksanaan timbul di dalam dirinya? Akankah beliau menyadari sesuatu?
Tetapi kita pada umumnya takut dengan kontak/hubungan.
Di samping itu juga, meskipun kita suka dengan kontak tetapi
kita tidak mampu mengembangkan kebijaksanaan darinya: sebaliknya kita
berulang kali menurutinya melalui mata, telinga, hidung, lidah, jasmani,
dan batin, merasa senang di sana dan tersesat di dalam obyek-obyek
indera. Begitulah keadaannya. Landasan-landasan indera ini bisa memikat
kita pada kesenangan dan kenikmatan, atau mereka mampu menuntun kita
pada pengetahuan dan kebijaksanaan.
Indera-indera ini mempunyai kerugian dan manfaat, tergantung
pada kebijaksanaan kita.
Jadi sekarang marilah kita pahami hal itu, setelah menjadi
samana/pertapa dan melaksanakan latihan, kita harus menjadikan segala
sesuatu sebagai praktek. Bahkan hal-hal yang buruk sekalipun. Kita harus
mengetahui mereka semuanya. Mengapa? Agar kita bisa mengetahui kebenaran.
Jika kita berbicara tentang praktek kita tidak hanya mengartikan hal-hal
yang baik dan menyenangkan bagi kita. Bukan begitu keadaannya. Di dunia
ini, terdapat hal-hal yang kita senangi, terdapat pula yang tidak.
Semuanya ada di dunia ini, tidak di tempat lainnya. Biasanya apa yang
kita sukai lalu kita inginkan; begitu juga terhadap teman-teman para
bhikkhu dan samanera. Baik bhikkhu maupun samanera yang tidak kita sukai,
kita tak mau bergaul dengan mereka, kita hanya mau bersama mereka yang
kita sukai. Bukankah begitu? Ini adalah memilih sesuai dengan kesukaan
kita. Apapun yang tidak kita sukai kita tidak mau melihat ataupun
mengetahuinya.
Sesungguhnya Sang Buddha menginginkan kita untuk mengalami
hal-hal ini.
Lokavidu
—lihatlah dunia ini dan ketahuilah ia dengan jernih. Jika kita tidak
mengetahui kebenaran dunia dengan jernih maka kita tak bisa pergi ke
manapun. Dengan hidup di dunia maka kita harus memahami dunia ini. Para
Ariya di masa lalu, termasuk Sang Buddha, semua hidup dengan hal-hal ini,
mereka hidup di dunia ini, tidak di tempat lain. Mereka tidak lari ke
dunia lain untuk menemukan kebenaran. Tetapi mereka memiliki
kebijaksanaan. Mereka mengendalikan indera-indera mereka. Praktek
sesungguhnya adalah memeriksa semua hal ini dan memahami mereka
sebagaimana apa adanya.
Oleh karena itu Sang Buddha mengajar kita untuk mengenali
landasan-landasan indera, titik-titik sentuhan kita. Mata melihat
bentuk-bentuk dan mengirim mereka "masuk" untuk menjadi
pemandangan-pemandangan. Telinga mendengar suara, hidung mencium bau,
lidah mengecap rasa, jasmani menyentuh benda-benda yang dapat diraba,
dan dengan demikian kesadaran timbul. Di mana kesadaran timbul di
situlah kita harus melihat dan memahaminya sebagaimana mereka adanya.
Jika kita tidak mengetahui hal-hal ini sebagaimana mereka adanya maka
kita akan terpikat ataupun membenci mereka. Di mana sensasi/perasaan
timbul, di situlah kita bisa memperoleh pencerahan, di situlah
kebijaksanaan bisa timbul.
Tetapi kadangkala kita tidak menghendaki hal-hal berjalan
seperti itu. Sang Buddha mengajarkan pengendalian, tetapi pengendalian
bukanlah berarti kita tidak melihat apapun, mendengar apapun, mencium,
mencicipi, merasakan, atau memikirkan suatu apapun. Bukan begitu artinya.
Jika para praktisi (mereka yang berlatih) tersebut tidak mengerti hal
ini maka begitu mereka melihat atau mendengar sesuatu, mereka ketakutan
dan melarikan diri. Mereka tidak menghadapinya. Mereka melarikan diri,
dengan berpikir bahwa melakukan itu akhirnya kejadian-kejadian tadi akan
kehilangan kekuatannya terhadap mereka, bahwa mereka pada akhirnya mampu
mengatasi hal itu. Tetapi mereka tak akan bisa. Mereka tidak bisa
mengatasi apapun dengan cara itu. Jika mereka melarikan diri tanpa
mengetahui kebenarannya, kelak hal yang sama akan muncul untuk
dihadapinya lagi.
Sebagai contoh, para pelaksana yang tidak pernah puas, apakah
mereka berada di vihara, hutan, atau gunung. Mereka mengembara dalam "ziarah
dhutanga"
mencari ini, itu dan yang lainnya, serta berpikir bahwa dengan cara itu
mereka akan menemukan kepuasan. Mereka pergi, lalu kembali... tidak
melihat apapun. Mereka berusaha ke puncak gunung... "Ah! Inilah
tempatnya, sekarang saya betul". Mereka merasakan kedamaian untuk
beberapa hari dan selanjutnya merasa jemu. "Oh, baik, pergi ke pantai".
"Ah, di sini indah dan sejuk. Sungguh menyenangkan". Setelah beberapa
saat mereka juga jemu berada di pantai... jemu pada hutan, jemu pada
gunung, jemu pada pantai, jemu pada segala sesuatu. Ini bukanlah jemu
dalam pengertian yang benar (Yaitu
nibbida, tidak tertarik pada daya pikat kenikmatan duniawi),
sebagai Pandangan Benar, ia hanya merupakan kebosanan, semacam Pandangan
Salah. Pandangan mereka tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Ketika mereka kembali ke vihara... "Sekarang, apa yang akan
kukerjakan? Saya sudah melihat semuanya dan kembali tanpa hasil apapun".
Maka mereka membuang mangkuknya dan lepas jubah. Mengapa mereka lepas
jubah? Karena mereka tidak mendapatkan pegangan pada prakteknya, mereka
tidak melihat apapun untuk dikerjakan. Mereka pergi ke selatan dan tidak
melihat apapun; pergi ke utara dan tidak melihat apapun; pergi ke pantai,
ke gunung, ke dalam hutan, dan tetap tidak melihat apapun. Jadi semuanya
habis... mereka "mati". Begitulah yang terjadi. Itu karena mereka
terus-menerus malarikan diri dari berbagai hal. Kebijaksanaan tidak
timbul.
Sekarang ambil contoh yang lain. Andaikan ada seorang bhikkhu
yang memutuskan untuk menghadapi hal-hal, tidak melarikan diri. Ia
merawat dirinya sendiri. Ia memahami dirinya sendiri dan juga memahami
hal-hal yang ada bersamanya. Ia terus-menerus menangani persoalan.
Misalnya, seorang kepala vihara. Jika seseorang menjadi kepala suatu
vihara maka selalu ada persoalan yang harus ditangani, selalu ada aliran
kejadian yang memerlukan perhatian. Mengapa begitu? Karena orang selalu
mengajukan pertanyaan. Pertanyaannya tak pernah berakhir, jadi kalian
harus selalu bersiap siaga. Kalian terus-menerus harus memecahkan
berbagai persoalan, persoalan kalian sendiri maupun orang lain. Oleh
karena itu kalian harus selalu sadar. Sebelum kalian bisa tidur sebentar
mereka sudah membangunkan kalian lagi dengan persoalan yang lain. Jadi
hal ini menyebabkan kalian merenungkan dan memahami berbagai hal. Kalian
menjadi terampil: terampil menghadapi diri sendiri dan terampil
menghadapi orang lain. Terampil dalam berbagai macam hal.
Keterampilan ini timbul karena adanya kontak/hubungan, dari
menghadapi dan menyelesaikan persoalan, dari tidak melarikan diri. Kita
secara jasmani tidak lari tetapi kita "melarikan diri" di dalam batin,
menggunakan kebijaksanaan kita. Kita memahaminya dengan kebijaksanaan,
di sini juga. Kita tidak melarikan diri dari persoalan apapun.
Inilah sumber kebijaksanaan. Orang harus bekerja, harus
berhubungan dengan berbagai hal. Misalnya, hidup di vihara besar seperti
ini kita semua harus membantu merawat semua benda di sini. Melihat hal
itu dari satu sisi kalian bisa mengatakan bahwa semua itu merupakan
kekotoran. Hidup dengan banyak bhikkhu dan samanera, dengan banyak umat
awam yang datang dan pergi, banyak kekotoran bisa timbul. Ya, saya
mengakui hal itu... tetapi kita harus hidup seperti itu untuk
perkembangan kebijaksanaan serta membebaskan diri dari kebodohan. Jalan
manakah yang akan kita pilih? Apakah hidup untuk membebaskan diri dari
kebodohan ataukah untuk menambah kebodohan kita?
Kita harus merenungkan. Ketika mata, telinga, hidung, lidah,
jasmani, dan batin mengadakan kontak, kita seharusnya tenang dan
berhati-hati. Ketika penderitaan timbul, siapakah yang menderita?
Mengapa penderitaan itu timbul? Kepala vihara harus mengawasi banyak
murid. Itu bisa merupakan penderitaan. Kita harus memahami penderitaan
ketika ia muncul. Pahamilah penderitaan. Jika kita takut pada
penderitaan dan tidak mau menghadapinya, di manakah kita akan
memeranginya? Jika penderitaan timbul dan kita tidak mengetahuinya,
bagaimana kita bisa menyelesaikannya? Ini teramat penting —kita harus
mengenali penderitaan.
Melepaskan diri dari penderitaan berarti mengerti jalan keluar
dari penderitaan itu, ia tidak berarti melarikan diri dari tempat di
mana penderitaan itu muncul. Dengan melakukan hal itu berarti kalian
membawa serta penderitaan kalian. Jika suatu ketika penderitaan timbul
lagi kalian terpaksa harus melarikan diri lagi. Ini tidaklah mengatasi
penderitaan, ini tidaklah memahami penderitaan.
Jika kalian ingin memahami penderitaan, kalian harus menyelidiki
keadaan yang sedang dihadapi. Sang ajaran mengatakan bahwa ketika
persoalan timbul ia harus diselesaikan di situ juga. Di mana ada
penderitaan tepat di situ pula kebahagiaan akan timbul, ia berhenti di
tempat ia muncul. Jika penderitaan timbul, kalian harus merenungkannya
tepat di sana, kalian tidak harus melarikan diri. Kalian harus
menyelesaikan persoalan tepat di tempatnya. Orang yang melarikan diri
dari penderitaan karena takut adalah orang yang paling bodoh di antara
semuanya. Ia hanya akan menambah kebodohan saja.
Kita harus mengerti: penderitaan tidak lain adalah Kesunyataan
Mulia Pertama, bukankah begitu? Apakah kalian akan memandangnya sebagai
sesuatu yang buruk?
Dukkha sacca, samudaya sacca, nirodha sacca, magga sacca (Kesunyataan
tentang Penderitaan, Kesunyataan tentang Sebabnya, Kesunyataan tentang
Berhentinya, dan Kesunyataan tentang Sang Jalan (menuju berhentinya
penderitaan): Empat Kesunyataan Mulia)..
Melarikan diri dari hal-hal ini tidaklah berlatih sesuai dengan
Dhamma yang sejati. Kapankah kalian akan melihat Kesunyataan tentang
Penderitaan? Jika kita tetap melarikan diri dari penderitaan kita tak
akan pernah mengenalinya. Penderitaan adalah sesuatu yang seharusnya
kita kenali —jika kalian tidak mengamatinya, kapan kalian bisa
mengenalinya? Tidak puas di sini, kalian lari ke sana; tidak puas di
sana kalian melarikan diri lagi. Kalian selalu berlarian. Jika begitu
cara kalian berlatih, kalian akan berpacu dengan Kemalangan di seluruh
negeri ini!
Sang Buddha mengajar kita agar "lari" dengan menggunakan
kebijaksanaan. Sebagai contoh: seandainya kalian menginjak duri atau
serpihan kaca dan ia menancap di kaki kalian. Ketika kalian berjalan itu
kadang-kadang terasa sakit, kadangkala tidak. Suatu kali kalian
menginjak batu atau tunggul pohon dan hal ini sungguh menyakitkan, maka
kalian mengamati kaki kalian. Tetapi tidak menemukan apapun dan kalian
mengabaikannya serta berjalan lagi. Akhirnya kalian menginjak sesuatu
yang lain, dan rasa sakit timbul lagi.
Selanjutnya hal ini terjadi berulang kali. Apakah sebab rasa
nyeri itu? Sebabnya yaitu serpihan kaca atau duri yang menancap di kaki
kalian. Rasa nyeri itu selalu mengikuti. Setiap kali arasa sakit muncul,
kalian melihat dan mengamati sejenak, tetapi tidak melihat serpihan itu,
kalian biarkan saja. Sesaat kemudian ia melukai lagi sehingga kalian
kembali mengamati.
Ketika penderitaan muncul kalian harus memperhatikannya,
janganlah mengabaikannya. Kapan saja kepedihan timbul... "Hmm...
serpihan itu masih di sana". Setiap kali muncul rasa sakit, di sana
timbul pula pikiran bahwa serpihan itu harus diambil. Jika tidak kalian
ambil kelak akan menimbulkan lebih banyak rasa sakit. Rasa sakit itu
akan muncul berulangkali, sampai keinginan untuk mencabut duri itu
selalu muncul di dalam diri kalian. Akhirnya sampailah pada satu titik
di mana kalian memutuskan untuk mencabut duri tadi —karena ia
menyakitkan!
Sekarang usaha kita dalam berlatih harus seperti itu. Bilamana
ia menyakitkan, bilamana ada gesekan, kita harus menyelidikinya.
Hadapilah persoalan itu dengan berani. Cabut duri itu dari kaki kalian,
keluarkanlah. Bilamana batin kalian melekat, kalian harus
memperhatikannya. Bilamana kalian mengamatinya maka kalian akan mengerti;
lihat dan rasakanlah sebagaimana adanya.
Praktek kita haruslah tetap dan gigih. Mereka menyebutnya
viriyarambha
—mengusahakan usaha yang terus-menerus. Ketika muncul perasaan tak
menyenangkan pada kaki kalian, misalnya, kalian harus mengingatkan diri
sendiri untuk mencabut duri itu, janganlah melepaskan ketetapan hati
kalian. Begitu juga ketika penderitaan muncul di batin, kita harus
mempunyai ketetapan hati untuk mencabut berbagai kekotoran-batin, untuk
membuang mereka. Ketetapan hati ini harus selalu ada, jangan pernah
padam. Akhirnya berbagai kekotoran itu bisa kita tangani dan bisa kita
akhiri.
Jadi mengenai kebahagiaan dan penderitaan, apakah yang harus
kita lakukan? Jika kita tidak mengalami kejadian-kejadian itu apakah
yang bisa kita pakai sebagai sumber untuk menimbulkan kebijaksanaan?
Jika tidak terdapat sebab, bagaimana akibat bisa muncul? Semua
dhamma
timbul karena sebab. Jika akibat/hasilnya lenyap/berakhir itu karena
sebabnya telah berhenti. Begitulah sebenarnya, tetapi banyak di antara
kita yang tidak memahaminya. Orang hanya ingin lari dari penderitaan.
Pengetahuan semacam ini kuranglah memadai. Sebetulnya kita perlu
mengenali dunia di mana kita hidup ini, kita tidak perlu lari ke manapun.
Kalian seharusnya mempunyai sikap bahwa bertahan itu baik... dan pergi
juga baik. Pikirkanlah hal ini dengan cermat.
Di manakah letak kebahagiaan dan penderitaan? Apapun yang tidak
kita genggam, lekati atau tetapkan, seolah-olah ia tidak ada di sana.
Penderitaan tidak muncul. Penderitaan muncul dari perwujudan
(bhava).
Jika terdapat perwujudan maka ada kelahiran.
Upadana
—penggenggaman atau kemelekatan —inilah prasyarat yang menciptakan
penderitaan. Kapan saja penderitaan muncul, perhatikanlah. Jangan
melihat terlalu jauh, lihatlah tepat pada saat ini. Lihatlah pada batin
dan jasmani kalian sendiri. Ketika penderitaan muncul... "Mengapa ada
penderitaan?" Lihatlah saat ini juga. Ketika muncul kebahagiaan, apakah
sumber kebahagiaan itu? Lihatlah tepat di situ. Kapan saja hal-hal ini
muncul, sadarilah. Baik kebahagiaan maupun penderitaan timbul dari
kemelekatan.
Para pelaksana Dhamma zaman dahulu melihat batin mereka dengan
cara ini. Hanya ada muncul dan lenyap. Tidak ada yang kekal. Mereka
merenungkan dari semua sudut dan melihat tidak ada yang lebih pada batin
ini, tidak ada yang tetap. Hanya ada timbul dan tenggelam, tenggelam dan
timbul, tidak ada yang terbuat dari substansi yang kekal. Ketika sedang
berjalan atau duduk mereka melihat berbagai keadaan dengan cara ini.
Kapan saja mereka mengamati di sana hanya ada penderitaan, hanya itu.
Bagaikan sebuah bola besi besar yang baru saja dibakar di dalam tungku.
Semuanya panas. Jika kalian pegang di bagian atas terasa panas, pegang
di bagian sisi juga panas —semua bagian panas. Tidak ada bagian yang
dingin.
Sekarang apabila kita tidak mempertimbangkan keadaan ini, kita
tak mengetahui apapun tentang mereka. Kita harus melihat dengan jelas.
Jangan "terlahir" menjadi sesuatu, jangan masuk ke dalam kelahiran.
Ketahuilah proses kalahiran. Bentuk pikiran seperti, "Oh, saya tak tahan
pada orang itu, ia mengerjakan apapun dengan salah", tak akan muncul
lagi. Atau, "Saya menyukai si anu...", keadaan-keadaan seperti ini juga
tidak timbul. Yang tersisa hanyalah standar kelaziman duniawi dari suka
dan tidak suka, tetapi pengucapan dan pemikiran adalah dua hal yang
berbeda. Kita harus menggunakan kelaziman dunia untuk berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya, tetapi di dalam (batin) kita harus
kosong. Batin harus berada di atas semua itu. Kita harus menempatkan
batin melebihi hal ini. Inilah kediaman Para Suci. Kita semua harus
mengarah ke sini dan berlatih sesuai dengan itu. Jangan terperangkap di
dalam keragu-raguan.
Sebelum saya mulai berlatih, saya berpikir sendiri, "Agama
Buddha ada di sini, tersedia bagi semua orang tetapi mengapa hanya
beberapa orang yang berlatih sedangkan yang lain tidak? Atau jika mereka
berlatih, mereka hanya melakukannya sesaat lalu menyerah. Atau bagi
mereka yang tidak menyerah tetapi tetap tidak bekerja keras dan
mengerjakan latihan? Mengapa begini?" Jadi saya memutuskan sendiri, "Baiklah...
saya akan melepaskan jasmani atau batin ini pada rentang-kehidupan ini
dan berusaha untuk mengikuti ajaran Sang Buddha sampai bagian yang
terkecil. Saya akan mencapai pemahaman dalam rentang-kehidupan ini juga...
karena jika tidak, saya tetap akan tenggelam dalam penderitaan. Saya
akan melepaskan segalanya dan tekun berusaha, tidak masalah berapa
banyak kesulitan atau penderitaan yang harus saya tanggung, saya akan
gigih. Jika saya tidak melakukannya saya akan tetap bimbang".
Dengan pikiran itu saya menjalankan latihan. Tidak masalah
berapa banyak kebahagiaan, penderitaan atau kesulitan yang harus saya
pikul, akan saya lakukan. Saya amati seluruh kehidupan saya bagaikan ia
hanya berlangsung sehari semalam. Saya melepaskannya. "Saya akan
mengikuti ajaran Sang Buddha, saya akan mengikuti Dhamma sampai memahami
—mengapa dunia yang maya ini begitu malang?" Saya ingin mengetahuinya,
saya ingin menguasai Sang Ajaran, jadi saya mulai menjalankan praktek
Dhamma.
Seberapa banyakkah kehidupan duniawi yang kita sebagai bhikkhu
tinggalkan? Jika kita pergi demi kebaikan, berarti kita melepaskan
semuanya, tidak ada yang tidak kita lepaskan. Semua keadaan duniawi yang
orang lain nikmati, dibuang: pemandangan, suara, bau, rasa, kecapan dan
perasaan... kita buang mereka semua. Tetapi kita mengalaminya. Jadi para
pelaksana Dhamma harus merasa puas dengan yang sedikit dan tetap
obyektif (tidak memihak). Baik mengenai ucapan, makanan, atau apapun,
kita harus mudah merasa puas: makan seadanya, tidur seadanya, hidup
sederhana. Seperti yang mereka katakan, "orang biasa" adalah ia yang
hidup sederhana. Lebih banyak kalian berlatih, lebih banyak kalian bisa
mendapatkan kepuasan di dalam praktek kalian. Kalian akan melihat ke
dalam hati/batin kalian sendiri.
Dhamma adalah
paccattam,
kalian harus memahaminya untuk diri sendiri. Memahami untuk diri sendiri
berarti berlatih untuk diri kalian sendiri. Kalian dapat bergantung pada
seorang guru hanya 50% dari Sang Jalan. Bahkan ajaran yang sudah saya
berikan hari ini pada dasarnya tidak berguna, walaupun ia berharga untuk
didengarkan. Tetapi jika kalian mempercayainya semuanya karena saya
mengatakan begitu maka kalian tak akan menggunakan ajaran itu
sebagaimana mestinya. Jika kalian percaya sepenuhnya pada saya maka
kalian tampak bodoh. Dengarkan ajaran, lihat manfaatnya, praktekkan
untuk diri sendiri, lihat ke dalam diri kalian sendiri, kerjakan untuk
diri kalian sendiri... ini jauh lebih bermanfaat. Kalian akan memahami
cita rasa Dhamma untuk diri kalian sendiri.
Inilah sebabnya Sang Buddha tidak membahas hasil dari praktek
secara terperinci, karena itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
disampaikan hanya dengan kata-kata. Bagaikan berusaha menjelaskan
berbagai warna pada seseorang yang buta sejak lahir, "Oh, ini begitu
putih", atau "ini kuning cerah", misalnya. Kalian tak dapat menyampaikan
warna-warna tersebut pada mereka. Kalian bisa mencoba tetapi itu tak
akan memberikan banyak manfaat.
Sang Buddha mengembalikannya pada masing-masing individu —melihat
dengan jelas untuk dirimu sendiri. Jika kalian jelas melihat untuk diri
sendiri maka kalian akan mendapatkan bukti yang jelas dalam diri kalian.
Apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian akan
bebas dari keragu-raguan. Meskipun seseorang mungkin berkata, "praktek
kalian tidak betul, semuanya salah", kalian tetap tak akan goyah, karena
kalian mempunyai bukti sendiri.
Seseorang pelaksana Dhamma haruslah seperti ini ke manapun ia
pergi. Orang lain tidak bisa menjelaskan kepada kalian, kalian harus
memahaminya untuk diri sendiri.
Sammaditthi,
Pengertian Benar, harus ada di sana. Praktek kita masing-masing haruslah
seperti itu. Mengerjakan praktek sejati seperti ini selama sebulan dari
lima atau sepuluh kali Masa Vassa sangatlah langka.
Alat-alat indera kita harus selalu bekerja. mengetahui rasa puas
dan tidak puas, sadar terhadap suka dan tidak suka. mengetahui yang
tampak dan mengetahui yang lebih dari itu. Yang Tertampak dan Yang
Melebihinya haruslah disadari secara serentak. Baik dan buruk harus
dilihat sebagai sesuatu yang berdampingan, muncul bersama-sama. Inilah
buah dari praktek Dhamma.
Jadi apapun yang berguna bagi kalian dan orang lain, apapun yang
bermanfaat bagi kalian dan orang lain, disebut "mengikuti Sang Buddha".
Saya sudah berulang kali membicarakan hal ini. Hal-hal yang seharusnya
dikerjakan, tampaknya diabaikan oleh orang-orang. Misalnya pekerjaan di
vihara, norma-norma praktek, dan sebagainya. Saya sudah berulang kali
membicarakan hal itu tetapi orang-orang tampaknya tetap tidak mau
memperhatikan. Ada yang tidak tahu, ada yang malas dan tak dapat
diganggu, dan ada yang benar-benar bimbang dan ragu.
Suatu kali saya pergi untuk hidup di utara. Saat itu saya hidup
bersama dengan banyak bhikkhu, mereka semua sudah berumur tetapi yang
baru-baru ditahbiskan, yang memiliki dua atau tiga vassa. Saat itu saya
memiliki sepuluh vassa. Tinggal bersama dengan para bhikkhu berumur
tersebut, saya memutuskan untuk melaksanakan berbagai kewajiban —menerima
mangkuk-mangkuk mereka, mencuci jubah-jubah mereka, membersihkan
tempolong mereka, dan sebagainya. Saya tidak berpikir bahwasanya saya
mengerjakannya untuk orang-orang tertentu, tetapi saya hanya
mempertahankan praktek saya. Jika orang lain tidak menjalankan kewajiban,
saya akan melakukannya sendiri. Saya melihatnya sebagai kesempatan baik
bagi saya untuk memperoleh manfaat. Hal itu membuat saya merasa enak dan
memberikan satu rasa kepuasan.
Pada hari-hari
uposatha (Hari-hari
khusus, yang diselenggarakan setiap dua minggu, di mana para bhikkhu
mengakui palanggaran mereka serta menguncarkan tata disiplin
Patimokkha.)
saya mengetahui berbagai tugas wajib. Saya akan pergi dan membersihkan
ruang uposatha dan menyiapkan air untuk mencuci dan minum. Yang lain
sama sekali tidak mengetahui tentang kewajiban ini, mereka hanya
memandangi. Saya tidak mengkritik mereka, karena mereka tidak tahu. Saya
mengerjakan kewajiban itu sendiri, dan setelah melakukannya saya merasa
puas terhadap diri saya, saya mendapat inspirasi dan banyak kekuatan di
dalam praktek saya.
Kapan saja saya bisa mengerjakan sesuatu di vihara, apakah di
dalam
kuti
saya sendiri atau
kuti
orang lain, jika tampak kotor, akan saya bersihkan. Saya tidak
melakukannya terhadap orang-orang tertentu, saya tidak melakukannya
untuk menarik perhatian seseorang, tetapi saya mengerjakannya hanya
untuk mempertahankan suatu praktek yang baik. Membersihkan
kuti
atau tempat tinggal itu seperti membersihkan sampah dalam batin kalian
sendiri.
Inilah sesuatu yang harus kalian ingat. Kalian tidak perlu
mencemaskan keselarasan, ia otomatis akan ada di sana. Hiduplah bersama
dengan Dhamma, dengan kedamaian dan pengendalian diri, latihlah batin
kalian agar seperti itu dan tidak ada persoalan yang akan timbul. Jika
ada pekerjaan berat yang harus dilakukan, semua orang akan membantu dan
dalam waktu tidak lama pekerjaan itu sudah selesai, ia bisa diselesaikan
dengan mudah. Itulah cara yang terbaik.
Saya pernah menjumpai beberapa contoh lain... tetapi meskipun
demikian saya menggunakannya sebagai suatu kesempatan untuk berkembang.
Misalkan, hidup di suatu vihara besar, mungkin para bhikkhu dan samanera
bersepakat di antara mereka untuk mencuci jubah pada hari tertentu. Saya
akan pergi memasak kayu nangka (Kayu-hati
dari pohon nangka direbus dan warna yang dihasilkan dipakai untuk
mewarnai dan mencuci jubah para bhikkhu yang hidup di hutan.)
Sekarang ada beberapa bhikkhu yang menunggu orang lain untuk merebus
kayu nangka lalu ikut bergabung dan mencuci jubah mereka, membawanya
kembali ke
kuti
mereka, menjemur dan beristirahat. Mereka tidak perlu menyalakan api,
tidak perlu membersihkannya setelah selesai... mereka pikir mereka
melakukan hal yang baik bahwa mereka itu pandai. Inilah puncak kebodohan.
Orang semacam ini hanya menambah kebodohan mereka karena mereka tidak
mengerjakan apapun, mereka menyerahkan semua pekerjaan pada orang lain.
Mereka menunggu sampai semuanya siap lalu datang bergabung dan
memanfaatkannya, ini sangat mudah bagi mereka. Ini hanyalah menambah
kebodohan saja. Tindakan itu tidak memberikan manfaat apapun bagi mereka.
Ada orang berpikiran bodoh seperti ini. Mereka bergelak dari
kewajiban dan berpikir bahwa itu cerdik, tetapi sesungguhnya hal itu
sangatlah bodoh. Jika kita mempunyai sikap seperti itu kita tak akan
bisa bertahan.
Oleh karena itu, apakah ketika berbicara, makan, atau melakukan
apapun, renungkanlah pada diri sendiri. Kalian boleh saja ingin hidup
senang, makan enak, tidur nyenyak dan sebagainya, tetapi kalian tidak
bisa. Untuk apa kita datang kemari? Jika secara teratur merenungkan hal
ini, kita akan selalu siap siaga. Dengan siaga seperti ini kalian akan
mengedepankan usaha dalam segala sikap-badan. Jika kalian tidak
mengedepankan usaha, kejadiannya akan berbeda... Duduk, kalian duduk
bagaikan kalian ada di kota; berjalan, kalian berjalan bagaikan kalian
ada di kota... kalian hanya ingin pergi dan bermain di kota bersama umat
awam.
Jika tak ada usaha di dalam praktek, batin akan cenderung ke
arah itu. Kalian tidak menentang dan melawan batin kalian sendiri,
kalian membiarkannya berhembus sesuai dengan angin suasana-hati kalian.
Inilah yang disebut mengikuti suasana-hati sendiri. Seperti seorang anak,
jika kita menuruti semua keinginannya akankah ia menjadi seorang anak
yang baik? Jika orang tua menuruti semua keinginan anak mereka, apakah
itu baik? Walaupun pada awalnya mereka menuruti, pada saat ia bisa
berbicara mereka kadangkala boleh memukul pantatnya karena mereka takut
di kemudian hari ia menjadi bodoh. Latihan batin kita harus seperti ini.
Kalian harus mengetahui diri kalian sendiri dan mengetahui bagaimana
melatih diri kalian sendiri. Jika kalian tidak mengetahui bagaimana cara
melatih batin kalian, menunggu dan berharap seseorang untuk melatihnya
bagi kalian, maka kalian akan menemui kesulitan.
Jadi janganlah berpikir bahwa kalian tidak bisa berlatih di
tempat ini. Praktek tidak mempunyai batasan. Apakah ketika berdiri,
berjalan, duduk, atau berbaring, kalian selalu bisa praktek. Bahkan
ketika menyapu halaman vihara atau melihat cahaya matahari, kalian bisa
menyadari Dhamma. Tetapi sebelumnya kalian harus memiliki
sati.
Mengapa demikian? Karena kalian bisa menyadari Dhamma kapan saja, di
mana saja, jika kalian rajin bermeditasi.
Janganlah lengah. Waspadalah, bersiap siagalah. Ketika berjalan
saat berpindapata, di sana muncul berbagai jenis perasaan, dan semua itu
adalah Dhamma yang baik. Ketika kalian kembali ke vihara dan memakan
makanan kalian, di sana ada banyak Dhamma yang baik bagi kalian untuk
amati. Jika kalian mempunyai usaha yang terus-menerus, semua hal itu
bisa dijadikan obyek perenungan, di sana akan timbul kebijaksanaan,
kalian akan melihat Dhamma. Inilah yang disebut
dhamma-vicaya (Bojjhanga
—Tujuh Faktor Pencerahan: sati —kesadaran; dhamma-vicaya
—penyelidikan terhadap berbagai dhamma; viriya —usaha; piti
—kegiuran/kegairahan; passaddhi —ketenangan; samadhi —konsentrasi;
dan upekkha —keseimbangan.).
Jika terdapat
sati,
kesadaran, di sana akan ada
dhamma-vicaya
sebagai hasilnya. Ini merupakan faktor-faktor pencerahan. Jika kita
mempunyai kesadaran maka kita tak akan menyepelekan sesuatu, di sini
akan ada penyelidikan terhadap dhamma. Hal-hal ini menjadi faktor untuk
memahami Dhamma.
Jika kita sudah mencapai tingkatan ini maka praktek kita tidak
mempedulikan siang atau malam lagi, ia terus berlangsung tanpa memandang
waktu. Tidak akan ada yang menodai praktek, atau jika ada kita akan
segera mengetahuinya. Hendaklah selalu ada
dhamma-vicaya
di dalam batin kita, melihat ke dalam Dhamma. Jika praktek kita sudah
memasuki arus, maka batin akan cenderung seperti ini. Ia tak akan
menyeleweng pada hal lain... "Saya pikir saya akan pergi berkeliling ke
sana atau mungkin ke tempat yang lain... di sana, di propinsi itu,
pastilah sangat menarik..." Itu adalah cara duniawi. Maka tidak lama
kemudian prakteknya akan berakhir.
Jadi tetapkanlah hati kalian. Bukan hanya dengan duduk dan mata
terpejam kalian bisa mengembangkan kebijaksanaan. Mata, telinga, hidung,
lidah, jasmani, dan batin selalu bersama kita, maka bersiagalah selalu.
Belajarlah terus. Saat melihat pohon atau hewan, semuanya bisa menjadi
kesempatan untuk belajar. Bawalah semua ke dalam. Lihatlah dengan jelas
di dalam batin kalian. Jika sensasi/perasaan tertentu memberi pengaruh
kuat dalam hati, saksikanlah itu untuk diri sendiri, janganlah
mengabaikannya.
Ambil perbandingan sederhana: membakar batu-bata. Pernahkah
kalian melihat tungku pembakaran batu-bata? Mereka menyalakan api
kira-kira dua atau tiga kaki di depan tungku, selanjutnya semua asap
terarah ke sana. Melihat ilustrasi ini kalian bisa memahami praktek
dengan lebih jelas. Untuk membuat alat pembakaran batu-bata yang benar,
kalian harus membuat api sedemikian rupa agar semua asap masuk ke dalam,
tidak ada yang tersisa. Semua panas masuk ke dalam tungku, dan pekerjaan
bisa cepat diselesaikan. Kita, para pelaksana Dhamma, harus mengalami hal-hal dalam cara ini. Semua perasaan kita akan diarahkan ke dalam untuk diubah menjadi Pandangan Benar. Melihat pemandangan, mendengar suara, mencium bau, mencicipi rasa, dan sebagainya, batin membawa semuanya ke dalam untuk diubah menjadi Pandangan Benar. Dengan demikian perasaan-perasaan itu akan menjadi pengalaman-pengalaman yang membangkitkan kebijaksanaan.
Pada suatu ketika ada seorang bhikkhu Barat, seorang
murid saya. Setiap kali ia melihat para bhikkhu dan samanera Thai lepas
jubah ia akan berkata, "Oh, betapa memalukan! Mengapa mereka melakukan
itu? Mengapa begitu banyak bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah?" Ia
terkejut. Ia bersedih atas lepas jubahnya para bhikkhu dan samanera
Thai, karena ia baru saja mengenal agama Buddha. Ia tergugah, ia merasa
mantap. Menjadi bhikkhu merupakan satu-satunya hal yang harus dilakukan,
ia berpikir ia tak akan pernah lepas jubah. Siapa pun yang lepas jubah
adalah orang bodoh. Ia akan melihat masyarakat Thai mengenakan jubah
sebagai bhikkhu dan samanera pada awal Masa Vassa dan lepas jubah pada
akhir masa itu… "Oh, betapa menyedihkan! Saya merasa amat prihatin
kepada para bhikkhu dan samanera Thai itu. Bagaimana bisa mereka
melakukan hal itu?"
Nah, dengan berjalannya sang waktu beberapa di antara bhikkhu
Barat mulai lepas jubah, akhirnya ia melihat hal itu sebagai sesuatu
yang tidak begitu penting. Pada awalnya, ketika ia mulai berlatih, ia
gelisah karenanya. Ia pikir menjadi seorang bhikkhu merupakan sesuatu
yang sangat penting. Ia pikir akan mudah menjalaninya.
Ketika orang tergugah, semua tampak begitu tepat dan baik. Tidak
ada yang bisa mengukur perasaan mereka, jadi mereka terus melangkah dan
memutuskannya untuk diri mereka sendiri. Tetapi mereka sebenarnya tidak
mengerti bagaimana sesungguhnya praktek itu. Mereka yang mengerti akan
mempunyai landasan yang benar-benar kuat di dalam hati mereka —meskipun
begitu mereka tidak perlu memamerkannya.
Untuk saya sendiri, ketika pertama kali saya ditahbiskan,
sesungguhnya saya tidak melakukan banyak praktek, tetapi keyakinan saya
begitu besar. Saya tak tahu mengapa, mungkin ia sudah ada sejak lahir.
Para bhikkhu dan samanera yang ditahbiskan bersama saya, pada akhir Masa
Vassa, semuanya lepas jubah. Saya berpikir sendiri, "Eh? Ada apakah
gerangan dengan orang-orang ini?" Akan tetapi, saya tidak berani
mengatakan apapun kepada mereka karena saya sendiri belum yakin terhadap
perasaan saya, saya sangat bingung. Tetapi di dalam hati saya merasa
bahwa mereka semua bodoh. "Adalah sulit untuk bisa ditahbiskan, tapi
mudah untuk lepas jubah. Orang-orang ini tidak banyak memiliki kebajikan,
mereka pikir jalan duniawi lebih bermanfaat daripada jalan Dhamma". Saya
berpikir seperti itu tetapi saya tidak mengatakan apapun, saya hanya
mengamati batin saya sendiri.
Saya akan melihat para bhikkhu yang ditahbiskan bersama saya
silih berganti lepas jubah. Kadangkala mereka berdandan serta kembali ke
vihara untuk pamer. Saya akan melihat mereka dan berpikir bahwa mereka
gila, tetapi mereka berpikir mereka tampak rapi. Saya katakan pada diri
sendiri bahwa cara berpikir seperti itu salah. Meskipun begitu saya
tidak mengatakannya, karena saya sendiri masih ragu-ragu. Saya masih tak
yakin berapa lama keyakinan saya ini akan bertahan.
Ketika semua teman saya sudah lepas jubah saya
singkirkan semua keprihatinan, tak ada lagi yang tersisa untuk saya
perhatikan. Saya mengambil Patimokkha (Pokok
aturan keviharaan, yang dibaca dalam bahasa Pali setiap dua minggu
sekali.) dan tekun
mempelajarinya. Tidak ada lagi yang mengganggu dan membuang waktu saya,
saya curahkan perhatian pada praktek. Saya tetap tidak mengatakan apapun
karena saya merasa bahwa untuk berlatih sepanjang hidup, mungkin tujuh
puluh, delapan puluh atau bahkan sembilan puluh tahun serta
mempertahankan usaha yang gigih tanpa menjadi lamban atau kehilangan
ketetapan hati, tampaknya sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.
Mereka yang telah pernah ditahbiskan akan ditahbiskan lagi,
mereka yang telah pernah lepas jubah akan lepas jubah lagi. Saya hanya
mengamati mereka semua. Saya tidak peduli apakah mereka tinggal atau
pergi. Saya akan melihat teman-teman saya pergi, tetapi perasaan di
dalam diri saya mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak melihat
dengan jelas. Bhikkhu Barat itu mungkin berpikir begitu. Ia akan melihat
orang menjadi bhikkhu hanya untuk satu Masa Vassa, dan ia menjadi sedih.
Selanjutnya ia mencapai tingkatan yang kita sebut… jemu; jemu
dengan Kehidupan Suci. Ia meninggalkan praktek dan akhirnya lepas jubah.
"Mengapa kamu lepas jubah? Sebelumnya, ketika kamu melihat para
bhikkhu Thai lepas jubah kamu akan berkata, "Oh, memalukan! Betapa
menyedihkan, betapa memilukan! Sekarang, ketika kamu sendiri ingin lepas
jubah, mengapa kamu tidak merasa menyesal?"
Ia tidak menjawab. Ia hanya
berjalan tersipu-sipu.
Ketika sampai pada latihan
batin, sangatlah sulit untuk menemukan ukuran yang baik jika kalian
belum mengembangkan "kesaksian" di dalam diri kalian. Dalam banyak
persoalan luar kita bisa mengandalkan umpan balik pihak lain, ada ukuran
dan contohnya. Tetapi ketika semua menggunakan Dhamma sebagai patokan…
Apakah kita telah memiliki Dhamma? Apakah kita berpikir dengan benar
atau tidak? Dan seandainya itu benar, apakah kita tahu bagaimana
melepaskan kebenaran atau apakah kita tetap melekat padanya?
Kalian harus merenungkan sampai kalian mencapai titik di mana
kalian melepaskan, inilah hal yang penting… sampai kalian mencapai titik
di mana tak ada apapun yang tersisa, di mana di sana bukanlah baik bukan
pula buruk. Kalian tinggalkan. Ini berarti kalian melepaskan segalanya.
Jika semua sudah lenyap maka tak ada yang tersisa; jika masih ada yang
tersisa maka itu belum lenyap semuanya.
Jadi mengenai latihan batin ini, kadangkala kita
mungkin mengatakan mudah. Memang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit
untuk melakukannya. Ia sulit karena ia tidak memuaskan
keinginan-keinginan kita. Kadang-kadang tampaknya seolah-olah ada
bidadari-bidadari (Devaputta
mara —si Mara, atau
Penggoda, yang muncul dalam bentuk yang tampaknya penuh kebaikan.)
yang membantu kita. Semua
berjalan baik, apapun yang kita pikirkan atau ucapkan tampaknya selalu
benar. Selanjutnya kita pergi dan melekat pada kebenaran itu dan tak
lama kemudian kita salah melangkah dan semua jadi buruk. Inilah
kesulitannya. Kita tidak memiliki norma/standar untuk mengukurnya.
Orang-orang yang memiliki keyakinan besar, diberkahi dengan
keyakinan dan perasaan tetapi kurang di dalam kebijaksanaan, mereka bisa
jadi sangat baik di dalam samadhi tetapi mereka kurang memiliki
pengertian. Mereka hanya melihat satu sisi saja, serta sungguh-sungguh
mengikutinya. Mereka tidak merenungkannya. Ini merupakan keyakinan yang
membuta. Di dalam agama Buddha itu kita sebut Saddha adhimokkha,
keyakinan yang membuta. Mereka sudah mempunyai keyakinan tetapi tidak
timbul dari kebijaksanaan. Tetapi mereka tidak melihatnya pada saat itu,
mereka percaya bahwa mereka mempunyai kebijaksanaan, sehingga mereka
tidak melihat di mana kesalahan mereka.
Oleh karena itu, mereka mengajar tentang Lima Kekuatan
(Bala): Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña. Saddha berarti
keyakinan; viriya berarti usaha yang gigih; sati berarti
kesadaran; samadhi berarti terpusatnya pikiran; pañña
berarti pengetahuan yang mencakup semuanya. Jangan katakan pañña
sebagai pengetahuan saja, tetapi pañña mencakup semuanya,
pengetahuan yang sempurna.
Sang Bijaksana telah memberi kita lima langkah ini sehingga kita
bisa mempergunakannya, pertama sebagai bahan untuk dipelajari,
selanjutnya sebagai norma pembanding pada keadaan praktek kita sendiri.
Misalnya, saddha —keyakinan. Apakah kita memiliki keyakinan,
apakah kita sudah mengembangkannya? Viriya: apakah kita memiliki
usaha yang gigih atau tidak? Apakah usaha kita betul atau salah? Kita
harus memperhatikan ini. Setiap orang mempunyai semacam usaha, tetapi
apakah usaha kita mengandung kebijaksanaan atau tidak?
Sati
juga sama. Bahkan seekor kucing pun mempunyai sati. Ketika ia
melihat seekor tikus, ada sati di sana. Mata si kucing menatap
pasti pada si tikus. Inilah sati seekor kucing. Setiap orang
memiliki sati, hewan mempunyainya, para penjahat mempunyainya,
para bijaksana memilikinya.
Samadhi, terpusatnya
pikiran —setiap orang juga mempunyai ini. Seekor kucing mempunyainya
ketika pikirannya terpusat untuk menangkap tikus dan memakannya. Ia
mempunyai perhatian yang satu. Sati si kucing adalah
sati
yang semacam ini; samadhi, perhatian yang satu pada apa yang
dikerjakan, juga ada di sana. Pañña, pengetahuan: seekor kucing
juga mempunyainya, tetapi bukan suatu pengetahuan yang luas, seperti
yang dimiliki oleh manusia. Ia tahu sebagaimana seekor hewan tahu, ia
mempunyai cukup pengetahuan untuk menangkap tikus sebagai makanan.
Kelima hal ini disebut "Kekuatan". Sudahkah kelima
Kekuatan ini muncul dari Pandangan Benar, sammaditthi, atau tidak?
Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña —sudahkah mereka timbul dari
Pandangan Benar? Apakah Pandangan Benar itu? Apakah norma kita untuk
mengukur Pandangan Benar? Kita harus memahaminya secara jelas.
Pandangan Benar adalah pengertian bahwa segala sesuatu tidaklah
pasti. Oleh karena itu Sang Buddha dan semua Para Ariya tidak melekat
kuat padanya. Mereka menggenggam, tetapi tidak melekat. Mereka tidak
membiarkan penggenggaman itu menjadi sebagai diri/suatu identitas.
Penggenggaman yang tidak membawa pada suatu perwujudan adalah keadaan
yang tidak dicemari oleh hawa nafsu. Tanpa mencari untuk menjadi ini
atau itu, yang ada hanyalah praktek itu sendiri. Ketika kalian melekat
pada suatu keadaan tertentu adakah kalian melekat pada kesenangan itu?
Jika ada ketidaksenangan, apakah kalian melekat pada ketidaksenangan itu?
Sebagian pandangan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur
praktek kita secara lebih tepat. Misalnya mengetahui bahwa
pandangan-pandangan seperti demikian: pandangan yang ini lebih baik
daripada yang lainnya, atau sama dengan yang lainnya, atau lebih bodoh
daripada yang lainnya; semua itu adalah pandangan yang salah. Kita bisa
merasakan hal ini tetapi kita juga mengetahuinya dengan kebijaksanaa,
bahwa mereka hanya timbul dan tenggelam. Mengira bahwa kita lebih baik
daripada yang lain tidaklah benar; mengira bahwa kita sama dengan yang
lain adalah tidak benar; mengira bahwa kita lebih rendah daripada yang
lain adalah tidak benar.
Pandangan yang benar adalah pandangan yang
menembus semua ini. Jadi ke mana kita akan pergi? Jika kita berpikir
bahwa kita lebih baik daripada yang lain, timbul kesombongan. Ia ada di
sana tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita pikir bahwa kita sama
dengan yang lain, maka kita akan lalai mengungkapkan rasa hormat dan
kerendahan hati pada saat-saat yang tepat. Jika kita berpikir bahwa kita
lebih rendah daripada yang lain, kita akan merasa tertekan, dengan
berpikir bahwa kita rendah, terlahir dengan kehidupan buruk dan
sebagainya. Kita masih melekat pada Lima Khandha (Lima
Khandha: Bentuk (rupa), perasaan (vedana),
pencerapan (sañña), gagasan atau bentuk-bentuk pikiran
(sankhara), dan kesadaran-indera (vññana). Ia membentuk
pengalaman batin-jasmani yang dikenal sebagai "diri".),
yang semuanya hanyalah proses perwujudan/dumadi dan kelahiran.
Inilah satu patokan/standar untuk mengukur diri kita sendiri.
Yang lainnya adalah: jika kita menemui pengalaman yang menyenangkan,
kita merasa bahagia; jika kita menemui pengalaman buruk, kita tidak
senang. Apakah kita mampu melihat pada hal-hal yang kita sukai dan yang
tidak kita sukai sebagai memiliki nilai yang sama? Ukurlah diri kalian
dengan patokan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai
pengalaman yang kita jumpai, jika kita mendengar sesuatu yang kita sukai,
apakah suasana hati kita berubah? Jika kita menjumpai suatu pengalaman
yang tidak kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Ataukah batin
kita tidak goyah? Melihat tepat di sini, kita mempunyai satu ukuran.
Pahamilah diri kalian sendiri, inilah saksi kalian. Janganlah
membuat keputusan ketika dipengaruhi oleh nafsu kalian. Nafsu bisa
melambungkan kita ke dalam pemikiran bahwa kita adalah sesuatu, yang
sebenarnya bukan. Kita harus sangat berhati-hati.
Ada begitu banyak sudut dan aspek yang harus dipertimbangkan,
tetapi jalan yang benar adalah tidak mengikuti nafsu kalian, melainkan
Kebenaran. Kita harus mengetahui yang baik dan yang buruk, dan ketika
kita mengetahuinya, lepaskanlah mereka. Jika kita tidak melepaskan, kita
tetap berada di situ, kita tetap "ada" kita tetap "punya". Jika kita
tetap "ada" maka di sana terdapat sisa, ada timbunan proses dumadi dan
kelahiran.
Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan agar hanya menilai diri
sendiri, jangan menilai orang lain, tidak peduli betapa baik atau
jahatnya mereka. Sang Buddha hanya menunjukkan sang Jalan, dengan
mengatakan "Seperti inilah Kesunyataan". Sekarang, apakah batin kita
seperti itu atau tidak?
Misalnya, seandainya seorang bhikkhu mengambil sesuatu milik
bhikkhu lain, lalu bhikkhu yang lain itu menuduhnya, "Kamu mencuri
barang-barang saya". "Saya tidak mencurinya saya hanya mengambilnya".
Lalu kita meminta bhikkhu ketiga untuk memutuskan. Bagaimana ia harus
memutuskannya? Beliau mungkin harus meminta bhikkhu yang bersalah untuk
menghadap sidang Sangha. "Ya, saya mengambilnya, tapi saya tidak
mencurinya". Atau berdasarkan aturan lain, seperti
pelanggaran-pelanggaran parajika atau sanghadisesa: "Ya,
saya melakukannya, tapi saya tidak mempunyai kehendak". Bagaimana kalian
bisa mempercayai itu? Ini rumit. Jika kalian tidak bisa mempercayai,
yang bisa kalian lakukan adalah menyerahkan tanggung-jawab kepada si
pelaku, itu terserah padanya.
Tetapi kalian harus mengetahui bahwa kita tidak dapat
menyembunyikan hal-hal yang muncul di dalam batin kita. Kalian tidak
bisa menutupinya, baik itu perbuatan salah maupun benar. Apakah
perbuatan itu baik atau buruk, kalian tidak bisa meniadakannya hanya
dengan mengabaikannya, karena hal-hal ini cenderung untuk mengungkapkan
dirinya sendiri. Mereka menyembunyikan dirinya sendiri, mereka
mengungkapkan dirinya sendiri, mereka muncul dan lenyap sendiri. Mereka
semua otomatis. Beginilah cara kerja mereka.
Janganlah mencoba untuk menebak atau
berspekulasi terhadap hal-hal ini. Selama masih ada avija (ketidaktahuan),
mereka belumlah tuntas. Pada suatu ketika seorang Kepala Dewan
Kebersihan bertanya kepada saya, "Luang Por, apakah batin seorang
anagami (Anagami
(yang tidak kembali lagi): "Tingkat" kesucian yang ketiga, yang dicapai
dengan membebaskan diri dari lima "belenggu yang lebih rendah" (semuanya
berjumlah sepuluh), yang mengikat batin pada keberadaan duniawi. Dua
"tingkat" yang pertama adalah sotapanna ("pemasuk arus")
dan sakadagami (yang kembali satu kali lagi), dan yang terakhir
adalah arahat ("Yang telah selesai atau yang sempurna").)
sudah bersih?"
"Ia sebagian bersih".
"Eh? Seorang anagami sudah membuang keinginan-keinginan
inderawinya, bagaimana bisa batinnya belum bersih?"
"Ia mungkin telah melepaskan keinginan-keinginan
inderawinya, tetapi di sana masih ada sesuatu yang tersisa, bukan? Masih
ada avijja. Jika masih ada sesuatu yang tersisa maka tetap ada
sesuatu yang tersisa. Itu bagaikan mangkuk makan para bhikkhu. Terdapat
mangkuk-besar ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-besar
ukuran kecil; lalu mangkuk-sedang ukuran besar, mangkuk-besar ukuran
sedang, mangkuk-sedang ukuran kecil; selanjutnya ada mangkuk-kecil
ukuran besar, mangkuk-kecil ukuran sedang, mangkuk-kecil ukuran kecil…
Tidak peduli betapa kecilnya itu tetap ada mangkuk di sana, bukan?
Demikianlah halnya dengan sotapanna, sakadagami, anagami. Mereka
memang sudah melenyapkan kekotoran tertentu, tetapi hanya sebatas
tingkatan mereka. Apapun yang tetap tertinggal, para suci itu tidak
melihatnya. Jika mereka mampu, mereka semuanya telah menjadi Arahat.
Mereka masih belum bisa melihat semuanya.
Avijja
merupakan yang tidak terlihat. Jika batin sang
anagami
sepenuhnya diluruskan maka ia bukan lagi seorang
anagami,
tetapi ia sudah sepenuhnya sempurna
(Arahat).
Jadi di sana masih ada sesuatu yang tersisa.
"Apakah batin dia suci?" "Benar, agak suci, tetapi tidak 100%".
Apalagi yang bisa saya jawab? Ia berkata kelak ia akan datang
lagi dengan bertanya lebih lanjut tentang hal itu. Ia bisa memeriksa hal
itu, standarnya ada di sana.
Janganlah lengah, waspadalah. Sang Buddha menasihati agar kita
waspada. Berkenaan dengan latihan batin ini, saya juga mengalami
saat-saat tergoda, kalian tahu. Saya kerapkali tergoda untuk mencoba
banyak hal. Tetapi mereka selalu seperti tidak sampai pada sang Jalan.
Ini sungguh bagaikan berlaga di dalam batin seseorang, semacam
keangkuhan. Ditthi —pandangan-pandangan, dan mana —kesombongan,
ada di sana. Cukup sulit untuk hanya menyadari keberadaan kedua hal ini.
Suatu ketika ada seseorang yang ingin menjadi bhikkhu di sini.
Ia membawa jubahnya, memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu untuk
mengenang almarhumah ibunya. Ia memasuki vihara, meletakkan jubahnya,
dan, tanpa memberi hormat kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia memulai
dengan meditasi jalan tepat di depan ruang utama… bolak-balik,
bolak-balik, ia seperti akan menunjukkan kesanggupannya.
Saya pikir, "Oh, jadi ada juga orang seperti ini!" Ini disebut
saddha adhimokkha —keyakinan yang membuta. Ia pasti sudah memutuskan
untuk mencapai pencerahan sebelum senja atau semacam itu, ia pikir hal
itu sangat mudah. Ia tidak melihat siapapun, hanya menundukkan kepala
dan berjalan bagaikan kehidupannya bergantung pada hal itu. Saya biarkan
ia meneruskannya, tetapi saya pikir, "Oh, teman, kamu pikir sesederhana
itukah?" Pada akhirnya saya tidak tahu untuk berapa lama ia bertahan,
saya bahkan tidak berpikir ia telah ditahbiskan.
Begitu batin memikirkan sesuatu kita mengeluarkannya,
mengeluarkannya setiap saat. Kita tidak menyadari bahwa itu hanyalah
kebiasaan perkembangbiakan batin. Ia menyamarkan dirinya sebagai
kebijaksanaan dan tercetak keluar dalam bagian yang sangat rinci.
Perkembangbiakan batin ini tampak sangat cerdik, jika kita tidak
mengetahuinya kita akan mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Tetapi
jika ia tiba pada saat yang genting, ia bukanlah hal yang sebenarnya.
Ketika muncul penderitaan, di manakah yang disebut kebijaksanaan itu?
Apakah ia bermanfaat? Akhirnya ia hanyalah perkembangbiakan saja.
Jadi tetaplah bersama Sang Buddha. Seperti yang sudah saya
katakan berkali-kali, dalam praktek kita harus melihat ke dalam dan
menemukan Sang Buddha. Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha masih tetap
hidup sampai dengan hari ini, periksalah dan temukan beliau. Di manakah
beliau? Di anicca, periksa dan temukanlah beliau di sana,
pergilah dan sembahlah beliau: anicca, ketidakpastiaan. Bagi para
pemula, kalian bisa berhenti tepat di sana.
Jika batin berusaha mengatakan padamu, "Saya seorang
sotapanna sekarang", pergi dan menyembahlah pada sang Sotapanna.
Ia akan mengatakan padamu, "Semuanya tidak pasti". Jika kalian bertemu
seorang sakadagami, pergi dan hormatilah dia. Jika ia melihatmu
ia hanya akan mengatakan, "Bukan satu hal yang pasti!" Jika ada seorang
anagami, pergi dan sembahlah dia. Ia hanya akan mengatakan satu
hal… "Tidak pasti". Bahkan jika kalian bertemu seorang arahat,
pergi dan sembahlah dia, dia bahkan akan lebih tegas mengatakan, "Semuanya
bahkan lebih tidak pasti!" Kalian akan mendengar kata-kata Para Suci… "Segala
sesuatu tidak pasti, jangan melekat pada apapun".
Jangan hanya memandangi Sang Buddha seperti seorang yang tolol.
Jangan melekat pada segala sesuatu, mencengkeram kuat tanpa melepaskan.
Lihatlah segala sesuatu sebagai fungsinya Yang Tertampak kini, kemudian
alihkan mereka pada Yang Melebihinya. Itulah yang harus kalian lakukan.
Harus ada Yang Tertampak dan harus ada Yang Melebihinya.
Jadi saya katakan, "Pergilah kepada Sang Buddha". Di manakah
Sang Buddha? Sang Buddha adalah Sang Dhamma. Semua Ajaran di dunia ini
dapat dimuat dalam satu ajaran ini: anicca. Pikirkanlah itu.
Sebagai bhikkhu saya sudah mencarinya lebih dari empat puluh tahun dan
inilah semua yang saya temukan. Anicca dan ketahanan kesabaran.
Inilah cara mendekati ajaran Sang Buddha… anicca: semuanya tidak
pasti.
Tidak peduli betapa yakinnya sang batin, katakan padanya: "Tidak
pasti!" Bilamana si batin ingin menangkap sesuatu sebagai hal yang pasti,
katakanlah, "Ia tidak pasti, ia bersifat sementara". Hadapkanlah dengan
hal ini. Dengan menggunakan Dhamma Sang Buddha semua sampai pada hal ini.
Ia bukanlah itu, ia hanyalah perwujudan/fenomena yang bersifat sementara.
Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian melihat
segala sesuatu seperti itu. Apakah timbul rasa suka atau tidak suka,
kalian lihat semuanya dalam cara ini. Inilah yang mendekatkan pada Sang
Buddha, dekat pada Sang Dhamma.
Sekarang saya merasa bahwa inilah cara berlatih yang lebih
berharga. Semua praktek saya sejak awal sampai sekarang adalah seperti
ini. Saya sesungguhnya tidak bersandar pada kitab suci, tetapi saya juga
tidak mengabaikan mereka. Saya tidak bersandar pada seorang guru tetapi
saya juga tidak sepenuhnya "melakukannya sendiri". Praktek saya semuanya
"bukanlah ini maupun itu."
Sesungguhnya ia merupakan persoalan "menyelesaikan", yaitu,
berlatih sampai selesai, dengan mulai melaksanakan praktek dan
selanjutnya mengamatinya sampai selesai, melihat Yang Tertampak dan juga
Yang Melebihinya.
Saya sudah membicarakan hal ini, tetapi beberapa
di antara kalian mungkin tertarik untuk mendengarkannya lagi: jika
kalian berlatih terus-menerus dan mempertimbangkan semuanya dengan
cermat, akhirnya kalian akan mencapai titik ini. Pada awalnya kalian
bergegas maju, bergegas kembali, dan bergegas berhenti. Kalian
meneruskan latihan seperti ini sampai kalian mencapai titik di mana
tampaknya maju bukanlah seperti itu, kembali bukanlah seperti itu, dan
berhenti pun bukanlah seperti itu! Selesai. Inilah akhirnya, jangan
mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini, ia selesai tepat di sini.
Khinasavo
—mereka yang sudah menyelesaikan. Ia tidak maju, tidak mundur, dan tidak
berhenti. Tidak ada berhenti, tidak ada maju, dan tidak ada kembali. Ia
sudah selesai. Pertimbangkan ini, sadarilah dengan benar dalam batin
kalian. Di sana kalian akan menemukan bahwa sesungguhnya tidak ada
apapun juga.
Apakah ini sesuatu yang lama atau baru bagi kalian, itu
tergantung pada kalian, pada kebijaksanaan dan ketajaman kalian. Orang
yang tidak mempunyai kebijaksanaan atau ketajaman tak akan dapat
memahaminya. Lihatlah pada pohon, seperti pohon mangga atau nangka. Jika
mereka tumbuh di dalam satu rumpun, pohon yang satu pada awalnya bisa
lebih besar dan selanjutnya yang lain akan melengkung, tumbuh keluar
dari yang besar tadi. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruh
mereka untuk melakukan itu? Inilah Alam. Alam mengandung baik dan buruk,
benar dan salah. Ia dapat cenderung menjadi benar ataupun menjadi salah.
Jika kita menanam suatu jenis pepohonan secara berdekatan, maka pohon
tersebut akan besar dengan batangnya melengkung menjauh dari pohon yang
lebih besar. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruhnya begitu?
Inilah Alam, atau Dhamma.
Demikian juga tanha, nafsu-keinginan, membawa kita pada
penderitaan. Sekarang, jika kita merenungkannya, hal itu akan
mengeluarkan kita dari keinginan, kita akan menguasai tanha.
Dengan menyelidiki tanha kita akan menggoyahkannya, menjadikannya
lebih ringan secara bertahap sampai semuanya lenyap. Sama halnya dengan
pohon: adakah seseorang yang memerintahkan agar mereka tumbuh seperti
itu? Mereka tak bisa bicara atau pindah tetapi mereka tahu bagaimana
caranya untuk tumbuh menghindari rintangan. Bilamana terkekang dan
berjejal serta sulit tumbuh, mereka akan membelok keluar.
Tepat di sinilah Dhamma, kita tidak harus mencarinya ke mana
pun. Orang yang cerdik akan melihat Dhamma seperti ini. Secara alam
pohon tidak mengetahui apapun, mereka bergerak sesuai dengan hukum alam,
tetapi mereka cukup mengerti untuk tumbuh menghindari bahaya, untuk
condong ke tempat yang cocok.
Seperti itulah orang yang waspada. Kita pergi meninggalkan
kehidupan rumah tangga karena kita ingin mengatasi penderitaan. Apakah
yang membuat kita menderita? Jika kita mengikuti jejaknya di dalam batin,
kita akan menemukannya. Apa yang kita sukai dan apa yang tidak kita
sukai adalah penderitaan. Jika mereka merupakan penderitaan maka
janganlah terlalu dekat pada mereka. Apakah kalian ingin jatuh cinta
dengan berbagai kondisi atau membenci mereka? …mereka semuanya tidak
pasti. Jika kita dekat kepada Sang Buddha, semua ini akan berakhir.
Jangan lupakan ini. Dan bersabarlah. Hanya dua saja sudah cukup. Jika
kalian memiliki pemahaman seperti ini, sangatlah baik.
Sesungguhnya di dalam praktek saya sendiri saya tidak mempunyai
guru yang memberikan ajaran sebanyak yang kalian peroleh dari saya. Saya
tidak mempunyai banyak guru. Saya ditahbiskan di sebuah vihara desa yang
sederhana dan hidup di berbagai vihara desa selama beberapa tahun. Di
dalam batin saya menaruh keinginan untuk praktek, saya ingin menjadi
cakap/pandai, saya ingin terlatih. Tak ada seorang pun yang memberikan
ajaran di vihara-vihara itu tetapi timbul inspirasi untuk berlatih. Saya
pergi dan saya mencari. Saya mempunyai telinga jadi saya bisa mendengar,
saya mempunyai mata jadi saya bisa melihat. Apa saja perkataan orang,
akan saya katakan pada diri sendiri, "Tidak Pasti". Bahkan ketika saya
mencium bau saya akan katakan pada diri sendiri, rasa yang menyenangkan,
atau tidak menyenangkan, atau timbul perasaan senang atau sakit dalam
badan, akan saya katakan pada diri sendiri, "Ini bukanlah hal yang pasti!"
Dan dengan begitu saya hidup bersama Dhamma.
Di dalam kesunyataan, semuanya tidaklah pasti, tetapi keinginan
kita menghendaki segala sesuatu menjadi pasti. Apa yan bisa kita lakukan?
Kita harus bersabar. Hal yang sangat penting adalah khanti —ketahanan
kesabaran. Jangan lepaskan Sang Buddha, yaitu apa yang saya sebut "ketidak-pastian"
—janganlah membuangnya.
Suatu saat saya ingin mengunjungi tempat keagamaan kuno dengan
berbagai bangunan biara kuno, yang dirancang oleh para arsitek, yang
dibangun oleh para seniman. Di beberapa tempat ada yang retak. Mungkin
satu di antara teman saya akan berujar, "Betapa memalukan, bukan? Ada
yang retak". Saya akan menjawab, "Jika tidak ada kasus seperti itu maka
tidak akan ada Sang Buddha, tidak akan ada Sang Dhamma. Ia retak seperti
itu karena selaras dengan ajaran Sang Buddha". Walau dari hati yang
paling dalam saya juga sedih melihat bangunan-bangunan itu retak tetapi
saya akan menghilangkan keharuan saya dan berusaha mengatakan sesuatu
yang akan bermanfaat bagi teman-teman dan saya sendiri. Meskipun begitu
saya juga merasa prihatin, saya tetap condong pada Dhamma.
"Jika tidak retak seperti itu tidak akan ada Sang Buddha!"
Saya menilai perkataan saya ini cukup sulit untuk dimengerti
oleh teman-teman saya… atau mungkin mereka tidak mendengarkan, tetapi
saya tetap mendengarkan.
Ini merupakan satu cara mempertimbangkan berbagai hal yang
sangat bermanfaat. Misalnya, seseorang bergegas masuk dan berkata, "Luang
Por! Apakah Anda mengetahui apa yang baru dikatakan si anu tentang Anda?"
Atau "Ia mengatakan demikian-demikian tentang Anda…" Mungkin kalian akan
marah. Begitu kalian mendengar kritikan, kalian segera siap untuk
bertikai! Inilah timbulnya suasana-hati. Kita harus mengetahui setiap
tahapan suasana-hati ini. Begitu kita mendengar perkataan semacam ini,
kita mungkin segera siap membahas, tetapi ketika memeriksa kebenaran
persoalan itu kita mungkin menemukan bahwa… "Ya ampun, mereka telah
mengatakan tentang hal-hal yang lain setelah itu".
Jadi ini merupakan kasus lain dari "ketidak-pastian". Oleh
karena itu mengapa kita harus menyerbu dan mempercayainya? Mengapa kita
begitu mempercayai apa yang dikatakan orang lain? Apapun yang kita
dengar harus kita perhatikan, bersikap sabar, memeriksa persoalan dengan
cermat… tetap tegak. Bukannya apapun yang singgah di dalam benak kita
semuanya kita tuliskan sebagai semacam kebenaran. Pernyataan manapun
yang mengabaikan ketidak-pastian, bukanlah pernyataan seorang bijaksana.
Ingatlah hal ini. Untuk kita sendiri, bilamana kita menolak
ketidak-pastian maka kita tidak lagi bijaksana, kita tidak lagi berlatih.
Apapun yang kita lihat atau dengar, apakah menyenangkan ataupun
menyedihkan, katakan saja "Ini tidak pasti!" Tekankan ini pada dirimu
sendiri, letakkanlah semuanya seperti ini. Janganlah membangunnya
menjadi persoalan pokok, letakkanlah hanya pada itu saja. Inilah titik
yang penting. Inilah titik di mana kekotoran-kekotoran batin padam. Para
praktisi Dhamma tidak boleh mengabaikannya.
Jika kalian mengabaikan hal ini, kalian hanya akan mendapatkan
penderitaan, hanya mendapatkan kesalahan. Jika kalian tidak jadikan hal
ini sebagai landasan dalam praktek kalian, kalian akan salah jalan…
tetapi kemudian kalian akan kembali pada jalur yang benar, karena dasar
ini sangat baik.
Sesungguhnya Dhamma sejati, intisari yang telah saya bicarakan
pada hari ini, tidaklah begitu pelik. Apapun yang kalian alami hanyalah
bentuk, hanyalah perasaan, hanyalah pencerapan, hanyalah kehendak, dan
hanyalah kesadaran. Hanya ada sifat-sifat dasar ini, di manakah ada
kepastian di dalam mereka?
Jika kita memahami sifat sejati dari berbagai benda seperti ini,
nafsu keinginan, kegilaan, dan kemelekatan akan berangsur hilang.
Mengapa mereka berangsur hilang? Karena kita memahami, kita tahu. Kita
beralih dari ketidak-tahuan menjadi pengertian. Pengertian lahir dari
ketidak-tahuan, kepastian lahir dari ketidak-pastian, kesucian lahir
dari kekotoran. Begitulah cara kerjanya.
Tidak menyingkirkan anicca, Sang Buddha —Inilah
yang dimaksudkan bahwa Sang Buddha tetap hidup. Untuk mengatakan bahwa
Sang Buddha telah masuk Nibbana tidaklah perlu benar. Dalam
pengertian yang lebih mendalam Sang Buddha tetaplah hidup. Itu mirip
sekali bagaimana kita mendefinisikan kata "bhikkhu". Jika kita
mengartikannya sebagai "orang yang meminta" (Yaitu
orang yang hidup dengan bergantung pada kemurahan hati orang lain.),
artinya sangat luas. Kita bisa mengartikannya seperti ini, tetapi
terlalu banyak menggunakan arti ini tidaklah begitu baik —kita tidak
tahu kapan harus berhenti meminta! Seandainya kita harus mendefinisikan
kata ini secara lebih mendalam, kita akan mengatakan: "Bhikkhu —orang
yang melihat bahayanya samsara". Bukankah hal ini lebih mendalam.
Ia tidak berjalan searah dengan pengertian yang terdahulu, ia berjalan
lebih dalam. Seperti itulah praktek Dhamma. Jika kalian tidak sepenuhnya
memahami Dhamma ia tampak sebagai satu cara, tetapi ketika kalian
sepenuhnya memahaminya, ia menjadi sesuatu yang lain lagi. Ia menjadi
tak ternilai, ia menjadi sumber kedamaian.
Ketika kita mempunya sati kita dekat dengan Dhamma. Jika
kita mempunyai sati kita akan melihat anicca,
ketidak-kekalan dari semua hal/benda. Kita akan melihat Sang Buddha dan
mengatasi penderitaan samsara, jika tidak sekarang maka pada saat
lain di masa yang akan datang.
Jika kita membuang sifat-sifat dari Para Ariya, Sang Buddha atau
Sang Dhamma, praktek kita akan mandul dan tak berbuah. Kita harus
merawat praktek kita terus-menerus, apakah kita sedang bekerja, duduk,
atau hanya berbaring. Ketika mata melihat bentuk, telinga mendengar
suara, hidung mencium bau, lidah merasakan cita-rasa, atau badan
mengalami sentuhan… dalam semua itu, jangan buang Sang Buddha, jangan
menyimpang dari Sang Buddha.
Ini adalah seorang yang sudah dekat pada Sang
Buddha, yang setiap saat memuja Sang Buddha. Kita mengenal berbagai cara
untuk memuja Sang Buddha, seperti di pagi hari mengalunkan
"Araham Samma Sambuddho Bhagava"
…Ini merupakan satu cara untuk memuja Sang Buddha tetapi bukan memuja
Sang Buddha dalam cara yang mendalam seperti yang telah saya jelaskan di
sini. Begitu pula denga kata "bhikkhu". Jika kita mendefinisikannya
sebagai "orang yang meminta" maka mereka akan tetap meminta… karena ia
diartikan seperti itu. Untuk mengartikannya dengan cara yang terbaik,
kita seharusnya mengatakan "Bhikkhu adalah orang yang melihat bahayanya
samsara".
Begitu pula dengan memuja Sang Buddha. Memuja
Sang Buddha hanya dengan mengucapkan ungkapan-ungkapan berbahasa Pali
sebagai suatu upacara di pagi dan sore hari, dapat dibandingkan dengan
mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang meminta". Jika kita
condong pada anicca, dukkha, dan anatta (Ketidak-kekalan,
Ketidak-sempurnaan, dan ketanpa-pemilikan.)
maka kapan saja mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung
mencium bau, lidah mengecap rasa, badan mengalami sentuhan, atau batin
mengenali kesan-kesan mental, pada setiap saat, ini bisa dibandingkan
dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang melihat
bahayanya samsara". Ini jauh lebih mendalam, menembus begitu
banyak hal. Jika kita memahami ajaran ini kita akan tumbuh dalam
kebijaksanaan dan pemahaman.
Ini disebut patipada. Kembangkan sikap ini di dalam
praktek, dan kalian akan berada di jalan yang benar. Jika kalian
berpikir dan merenungkan dalam cara ini, meskipun kalian mungkin berada
jauh dari guru kalian, kalian akan tetap dekat dengannya. Jika kalian
hidup dekat dengan sang guru secara fisik tetapi batin kalian belum
selaras dengan beliau maka kalian hanya akan menghabiskan waktu untuk
mencari-cari kesalahannya atau memuji-muji beliau. Jika ia melakukan
sesuatu yang kalian sukai, kalian akan mengatakan bahwa beliau baik, dan
jika ia melakukan sesuatu yang tidak kalian sukai, kalian akan
mengatakan ia tidak baik —dan sejauh itulah praktek kalian. Kalian tidak
akan mencapai apapun dengan membuang-buang waktu mengamati orang lain.
Tetapi jika kalian memahami ajaran ini kalian bisa menjadi seorang Ariya
pada saat ini.
Itulah mengapa pada tahun ini (tahun
Buddhis 2522, atau tahun 1979 Masehi.)
saya mengambil jarak dengan murid-murid saya, baik yang lama maupun yang
baru, dan tidak memberikan banyak ajaran: sehingga kalian semua bisa
sebanyak mungkin melihat berbagai hal untuk diri kalian sendiri. Untuk
para bhikkhu baru, saya telah menetapkan jadwal dan aturan-aturan vihara,
seperti: "jangan terlalu banyak bicara". Jangan melanggar aturan-aturan
yang sudah ada, aturan-aturan yang membawa pada jalan kepada pemahaman,
kepada hasil/pahala, dan Nibbana. Siapa pun yang melanggar
aturan-aturan ini bukanlah seorang pelaksana sejati, bukanlah seseorang
yang datang dengan tujuan murni untuk berlatih. Apakah yang bisa
diharapkan oleh orang semacam itu untuk dilihat? Biarpun setiap hari ia
tidur di dekat saya, ia tidak melihat saya. Biarpun ia tidur di dekat
Sang Buddha, ia tak akan melihat Sang Buddha, jika ia tidak berlatih.
Jadi mengenali Dhamma atau melihat Dhamma bergantung pada
praktek. Punyailah keyakinan, murnikan batin kalian. Jika semua bhikkhu
di vihara ini menempatkan kesadaran di dalam batin masing-masing, kita
tidak perlu menegur atau memuji siapa pun. Jika kemarahan atau
ketidaksukaan muncul, biarlah hal-hal itu pada batin saja, tetapi
amatilah dengan cermat!
Teruslah mengamati hal-hal itu. Selama masih ada sesuatu di sana
berarti kita masih tetap harus bekerja keras dan menggerinda tepat di
situ. Beberapa orang berkata, "Saya tak dapat memotongnya, saya tidak
mampu melakukannya", jika kita mulai berkata seperti itu, di sini hanya
akan ada segerombolan orang yang tidak berarti, karena tidak ada seorang
pun yang berusaha memotong kekotorannya sendiri.
Kalian harus berusaha. Jika kalian belum bisa memotongnya,
galilah lebih dalam. Galilah kekotoran-kekotoran itu, ambillah mereka.
Galilah mereka keluar walaupun mereka tampak keras dan bertahan. Dhamma
bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan mengikuti keinginan kalian.
Batin kalian mungkin merupakan satu cara, sedangkan kebenaran adalah
yang lainnya. Kalian harus melihatnya dari bagian muka dan meninjaunya
dari bagian belakang. Itulah sebabnya saya katakan, "semua itu tidak
pasti, semuanya berubah". Kebenaran dari ketidak-pastian ini, kebenaran yang singkat dan sederhana, yang secara bersamaan juga sangat mendalam dan tanpa cacat, cenderung diabaikan oleh orang-orang. Mereka cenderung melihat segala sesuatu secara berbeda. Janganlah melekat pada kebaikan, janganlah melekat pada keburukan. Mereka merupakan sifat dunia ini. Kita berlatih untuk bebas dari dunia ini, jadi bawalah keadaan-keadaan itu pada suatu akhir. Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan mereka, membuang mereka, karena mereka hanyalah menimbulkan penderitaan.
Ketika kelompok lima pertapa (
Pancavaggiya Bhikkhu,
atau "kelompok lima pertapa", yang mengikuti Sang Calon Buddha (Bodhisatta)
ketika Beliau mengembangkan berbagai praktek pertapaan, serta yang
meninggalkan Beliau ketika Beliau meninggalkan praktek tersebut menuju
praktek Jalan Tengah, dan segera setelah itu Sang Bodhisatta
mencapai Pencerahan Sempurna.)
meninggalkan Sang Buddha, Beliau memandang hal itu sebagai pukulan yang
menguntungkan, karena Beliau bisa melanjutkan praktek Beliau tanpa
rintangan. Dengan lima orang pertapa yang hidup bersama Beliau, suasana
mejadi tidak begitu tenang, Beliau menanggung berbagai tanggung-jawab.
Kini kelima pertapa telah meninggalkan Beliau karena mereka merasa bahwa
Beliau telah mengendurkan latihan dan kembali pada kesenangan.
Sebelumnya Beliau sangat tekun pada praktek pertapaan dan penyiksaan
diri. Dalam hal makan, tidur, dan sebagainya, Beliau telah menyiksa
dirinya secara hebat, tetapi hal itu sampai pada satu titik di mana
setelah diperiksa secara jujur, Beliau menyadari bahwa praktek-praktek
seperti itu tidaklah bermanfaat. Ia hanyalah suatu pandangan, yang
diptaktekkan atas dasar kesombongan dan kemelekatan. Beliau telah salah
memandang nilai-nilai duniawi dan menduganya sebagai kebenaran.
Misalnya, jika seseorang memutuskan untuk menerjunkan dirinya
dalam praktek pertapaan dengan tujuan untuk memperoleh pujian —praktek
semacam ini semuanya merupakan "semangat duniawi", praktek untuk
mendapatkan pujian dan kemasyhuran. Praktek dengan tujuan semacam ini
disebut "menilai jalan duniawi sebagai kebenaran".
Cara lain yang salah dalam praktek adalah "menilai pandangan
sendiri sebagai kebenaran". Kalian hanya mempercayai diri sendiri,
mempercayai praktek kalian sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan
orang lain, kalian melekat pada pilihan sendiri. Kalian tidak
mempertimbangkan praktek dengan cermat. Ini disebut "menilai diri
sendiri sebagai kebenaran".
Apakah kalian memandang dunia atau diri sendiri sebagai
kebenaran, —semuanya hanyalah kemelekatan membuta. Sang Buddha melihat
hal ini, dan melihat bahwa tidak ada "menyatu dalam Dhamma", praktek
demi kebenaran. Sehingga prakteknya tidak memberikan hasil, ia tetap
belum melepaskan kekotoran-kekotoran.
Selanjutnya Beliau berbalik dan mempertimbangkan kembali semua
hal yang sudah Beliau praktekkan sejak awal ditinjau dari segi hasilnya.
Apakah hasil dari semua praktek itu? Setelah memeriksa dengan seksama,
Beliau menyadari bahwa hal itu salah. Hal itu penuh kesombongan, dan
penuh dengan hal-hal duniawi. Di sana tak ada Dhamma, tak ada
pandangan-terang tentang
anatta
(tanpa-pribadi), tak ada kekosongan atau pelepasan. Mungkin di sana ada
sejenis pelepasan, tetapi ia adalah dari jenis yang masih belum melepas.
Setelah mempertimbangkan keadaan dengan berhati-hati, Sang
Buddha melihat bahwa seandainya pun Beliau menjelaskan hal-hal ini pada
kelima pertapa, mereka tak akan mampu untuk mengerti. Hal itu bukanlah
sesuatu yang bisa secara mudah Beliau sampaikan kepada mereka, karena
para pertapa itu masih sangat berakar pada cara lama dalam prakteknya
dan dalam melihat segala sesuatunya.
Setelah mempertimbangkan dengan dalam, Beliau melihat praktek
yang benar,
samma patipada:
batin adalah batin, jasmani adalah jasmani. Jasmani bukanlah
nafsu-keinginan atau kekotoran-batin. Meskipun seandainya kalian
melenyapkan si jasmani, kalian tidak akan melenyapkan
kekotoran-kekotoran batin. Ia bukanlah sembernya. Bahkan berpuasa dan
tidak tidur sama sekali sampai jasmani memjadi layu mengerikan, tak akan
melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Tetapi kepercayaan bahwa
kekotoran bisa disingkirkan dengan cara itu, ajaran penyiksaan diri,
sudah sangat mendarah daging pada kelima pertapa itu.
Sang Buddha selanjutnya mulai makan lebih banyak, makan seperti
biasa, praktek secara lebih wajar. Ketika kelima petapa melihat
perubahan cara praktek Sang Buddha, mereka mengira bahwa Beliau sudah
menyerah dan kembali pada kesenangan inderawi. Pemahaman seseorang telah
bergeser ke arah yang lebih tinggi, yang melampaui penampilan, sedangkan
orang lain melihat bahwa pandangan orang itu tergelincir ke bawah,
kembali pada kenikmatan. Penyiksaan diri sangat melekat dalam batin
kelima pertapa itu karena pada awalnya Sang Buddha telah mengajarkan dan
berlatih seperti itu. Sekarang Beliau melihat kesalahan itu. Dengan
melihat kesalahan tersebut secara jelas, Beliau mampu melepaskan hal itu.
Ketika kelima pertapa melihat Sang Buddha melakukan ini mereka
meninggalkan Beliau, karena merasa bahwa Beliau berlatih dengan salah
dan mereka tak ingin mengikuti Beliau lagi. Tepat seperti burung yang
meninggalkan pohon yang tidak bisa menyediakan tempat berteduh lagi,
atau ikan yang meninggalkan kolam yang terlalu kecil, kotor atau dingin,
demikianlah kelima pertapa meninggalkan Sang Buddha.
Jadi sekarang Sang Buddha memusatkan pada perenungan terhadap
Dhamma. Beliau makan lebih baik dan hidup secara lebih wajar. Beliau
membiarkan batin sebagai batin, jasmani sebagai jasmani. Beliau tidak
memaksakan praktek secara berlebihan, hanya sepantasnya untuk melepaskan
cengkraman keserakahan, keengganan dan khayalan. Selanjutnya Beliau
telah menjalani dua ekstrim:
kamasukhallikanuyogo
—jika timbul kebahagiaan atau cinta beliau akan terpikat dan melekat
padanya. Beliau akan memihak padanya dan tak akan membiarkannya pergi.
Jika Beliau menjumpai penderitaan Beliau akan melekat padanya juga.
Kedua ekstrim ini Beliau sebut
"kamasukhallikanuyogo"
dan
"attakilamathanuyogo".
Sang Buddha telah memahami berbagai keadaan. Dengan jelas Beliau
melihat bahwa kedua jalan ini bukanlah jalan bagi seorang
samana.
Melekat pada kebahagiaan, melekat pada penderitaan: seorang
samana
tidalah seperti itu. Melekat pada hal-hal itu bukanlah Sang Jalan.
Karena melekat pada hal-hal itu Beliau terikat pada pandangan tentang
pribadi dan dunia. Seandainya Beliau terus menggeluti kedua jalan ini,
Beliau tak akan pernah menjadi seorang yang memahami dunia dengan terang
dan jelas. Beliau akan tetap berlari dari satu kelahiran ke kelahiran
yang lain. Sekarang Sang Buddha memutuskan perhatian pada batin itu
sendiri dan mencermati latihan itu.
Semua segi dari alam berjalan sesuai dengan berbagai kondisi
pendukungnya, mereka bukanlah merupakan persoalan di dalam dirinya
sendiri. Misalnya penyakit dalam tubuh. Jasmani merasakan nyeri, sakit,
demam, selesma dan sebagainya. Mereka semua muncul begitu saja.
Sesungguhnya orang terlalu mencemaskan jasmaninya. Mereka begitu cemas
dan melekat pada jasmaninya karena pandangan salah, mereka tak bisa
melepaskannya.
Lihatlah ruangan ini. Kita membangun ruangan ini dan mengatakan
ini milik kita, tetapi cicak datang dan hidup di sini, tikus dan tokek
datang dan hidup di sini, dan kita selalu mengusir mereka, karena kita
menganggap bahwa ruangan ini milik kita, bukan milik tikus dan cicak.
Begitu pula dengan penyakit di dalam tubuh. Kita menganggap
tubuh ini sebagai rumah kita, sesuatu yang benar-benar milik kita. Jika
kita terkena sakit kepala atau perut, kita terganggu, kita tidak
menginginkan rasa nyeri dan penderitaan. Kaki ini "kaki kita", kita
tidak menginginkan mereka terluka, tangan ini "tangan kita", kita tidak
menginginkan mereka terluka. Kita melihat kepala sebagai "kepala kita",
kita tak menginginkan ada yang salah padanya. Kita membelanjakan berapa
pun untuk menyembuhkan semua rasa nyeri dan penyakit.
Di sinilah kita dikelabui dan menyimpang dari kebenaran. Kita
hanyalah pengunjung pada jasmani ini. Tepat seperti ruangan ini,
sesungguhnya ia bukan milik kita. Kita hanyalah penyewa sementara,
seperti para tikus, cicak, dan tokek... tetapi kita tidak mengetahuinya.
Begitulah jasmani ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak
ada tempat pribadi di dalam jasmani ini, tetapi kita mengejar dan
menangkapnya sebagai diri kita. Sebagai betul-betul "kita" dan "mereka".
Ketika jasmani berubah, kita tidak menginginkannya seperti itu. Tak
peduli sudah berapa kali kita diberitahu, kita tetap tidak memahaminya.
Jika saya katakan secara langsung kalian bahkan akan lebih bingung. "Ini
bukanlah dirimu sendiri", saya katakan demikian, dan kalian akan lebih
tersesat, kalian akan lebih keliru dan praktek kalian hanya akan
memperkuat sang diri/pribadi.
Jadi pada umumnya orang-orang tidak benar-benar melihat sang
diri ini. Ia yang melihat sang diri adalah ia yang melihat bahwa "ini
bukanlah sang diri maupun menjadi milik pribadi". Ia melihat diri/pribadi
sebagai apa adanya di semesta. Melihat pribadi melalui kekuatan
kemelekatan bukanlah melihat yang sesungguhnya. Kemelekatan mengganggu
seluruh pekerjaan. Tidaklah mudah untuk menyadari jasmani ini sebagai
apa adanya karena
upadana
melekat kuat pada semuanya.
Oleh karena itu dikatakan bahwa kita harus menyelidiki untuk
mengetahui secara jelas dengan kebijaksanaan. Ini berarti menyelidiki
sankhara
(Sankhara:
fenomena yang terkondisi. Penggunaan istilah ini dalam bahasa Thai
biasanya secara khusus menunjuk pada jasmani, walaupun sankhara
juga menunjuk pada perwujudan mental.)
sesuai dengan sifat alamiah mereka. Gunakan kebijaksanaan. Mengetahui
sifat alamiah
sankhara
adalah kebijaksanaan. Jika kalian tidak mengetahui sifat alamiah
sankhara
kalian selalu berselisih dengan mereka, selalu menolak mereka. Jadi,
apakah lebih baik melepaskan
sankhara
ataukah berusaha menentang atau menolak mereka? Sekalipun demikian kita
minta mereka dengan sangat untuk menuruti pengharapan-pengharapan kita.
Kita mencari berbagai cara untuk mengatur mereka atau "membuat janji"
dengan mereka. Jika jasmani sakit dan sedang merasa nyeri, kita tidak
menginginkannya begitu, maka kita mencari berbagai Sutta untuk dialunkan,
seperti
Bojjhango,
Dhammacakkap pavattanasutta,
Anattalakkhanasutta,
dan sebagainya. Kita tidak menginginkan jasmani dalam keadaan sakit,
kita ingin melindunginya, mengendalikannya. Sutta-sutta ini menjadi
suatu bentuk upacara mistik, yang menjadikan kita lebih terjerat di
dalam kemelekatan. Ini karena mereka mengalunkan sutta/paritta untuk
menangkal penyakit, untuk memperpanjang kehidupan dan sebagainya.
Sesungguhnya Sang Buddha memberi kita ajaran-ajaran ini untuk melihat
secara jelas tetapi kita akhirnya mengalunkan mereka untuk menambah
khayalan kita.
Rupam aniccam, vedana aniccam, sañña aniccam, sankhara aniccam, viññanam
aniccam (Bentuk/jasmani
adalah tidak kekal,perasaan tidaklah kekal, pencerapan tidaklah kekal,
kehendak tidaklah kekal, kesadaran tidaklah kekal.)...
Seharusnya kita tidak mengalunkan kata-kata ini untuk menambah khayalan
kita. mereka merupakan renungan untuk membantu kita mengetahui kebenaran
dari jasmani ini, sehingga kita bisa melepaskannya dan membuang
kerinduan/keinginan kita.
Ini disebut mengalunkan sesuatu untuk memotong, tetapi kita
cenderung mengalunkan sesuatu untuk memperluasnya, atau bila kita merasa
mereka terlalu panjang kita berusaha menyingkatnya, untuk memaksa
semesta memenuhi pengharapan kita. Ini semua merupakan khayalan. Semua
orang yang duduk di ruangan itu diperdaya, setiap orang dari mereka.
Mereka yang mengalunkan diperdaya, mereka yang mendengarkan diperdaya,
mereka semua diperdaya! Semua yang bisa mereka pikirkan adalah "Bagaimana
kita bisa menghindari penderitaan?" Lalu di manakah mereka pernah
berlatih?
Ketika penyakit datang, mereka yang telah mengetahui tidak
melihat adanya keanehan di sana. Dengan terlahirkan di dunia ini
tentulah membawa pengalaman diserang peyakit. Bagaimanapun, bahkan Sang
Buddha dan para Siswa Mulia, dalam perjalanan hidupnya terkena penyakit,
dan juga, dalam perjalanan hidupnya mereka merawatnya dengan obat. Bagi
mereka, hal itu hanyalah persoalan memperbaiki unsur-unsur. Mereka tidak
melekat pada jasmani secara membuta atau terikat pada upacara-upacara
mistik dan semacamnya. Mereka memperlakukan penyakit dengan Pandangan
Benar, mereka tidak memperlakukannya dengan khayalan. "Jika ia sembuh,
ya sembuh, jika tidak, ya tidak" —begitulah mereka melihatnya.
Mereka mengatakan bahwa sekarang ini agama Buddha di Thailand
sedang berkembang, tetapi bagi saya tampaknya agama Buddha merosot
sangat jauh. Ruangan Dhamma penuh dengan telinga yang memperhatikan,
tetapi mereka memperhatikan secara salah. Bahkan anggota masyarakat yang
senior pun seperti itu, jadi setiap orang hanya menuntun yang lainnya ke
dalam khayalan yang lebih besar.
Orang yang memahami hal ini akan mengetahui bahwa praktek yang
sejati hampir berlawanan dengan yang dikerjakan orang pada umumnya,
kedua kelompok ini hampir tidak bisa saling memahami. Bagaimana
orang-orang seperti itu akan mengatasi penderitaan? Mereka memiliki
sutta/paritta
untuk dapat menyadari kebenaran tetapi mereka berputar dan
menggunakannya untuk memperbesar khayalan mereka. Mereka membelakangi
jalan yang benar. Yang satu ke Timur, yang lainnya ke Barat —bagaimana
mereka bisa bertemu? Mereka bahkan tidak menjadi lebih dekat satu dengan
yang lainnya.
Jika kalian telah memeriksanya kalian akan mengetahui begitulah
persoalannya. Kebanyakan orang tersesat. Tetapi bagaimana kalian bisa
memberitahu mereka? Segala sesuatu telah menjadi tatacara, upacara, dan
upacara mistik. Mereka ber-chanting
(mengalunkan
sutta/paritta)
tetapi mereka mengalunkan dengan kebodohan, mereka tidak mengalunkan
dengan kebijaksanaan. Mereka belajar, tetapi mereka belajar dengan
kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Mereka mengetahui, tetapi mereka
mengetahui dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Jadi mereka
berakhir dengan kebodohan, hidup dengan kebodohan, mengetahui dengan
kebodohan. Begitulah adanya. Dan mengajar... semua yang mereka kerjakan
sekarang ini adalah mengajar orang-orang agar pandai, memberi mereka
pengetahuan, tetapi jika kalian meninjau dari segi kebenaran, kalian
melihat bahwa mereka benar-benar mengajar orang-orang untuk tersesat dan
terikat pada muslihat.
Dasar dari ajaran yang sebenarnya adalah untuk melihat
atta
sang diri/pribadi, sebagai kosong, tidak mempunyai identitas yang pasti.
Ia tidak berisi sesuatu yang hakiki. Tetapi orang belajar Dhamma untuk
memperkuat pandangan pribadi mereka, jadi mereka tidak ingin merasakan
penderitaan atau kesulitan. Mereka ingin agar semuanya menyenangkan.
Mereka mungkin ingin mengatasi penderitaan, tetapi jika masih tetap ada
pribadi bagaimana mereka bisa melakukannya?
Coba pikirkan... seandainya kita mempunyai satu benda yang
sangat mahal. Tepat pada saat benda itu telah kita miliki pikiran kita
berubah... "Sekarang, di mana saya bisa menyimpannya? Jika saya biarkan
di sana seseorang mungkin mencurinya" ...Kita menyusahkan diri sendiri
dalam suatu keadaan, berusaha menemukan tempat untuk menyimpannya. Dan
kapankah pikiran itu berubah? Ia berubah pada saat kita mempunyai benda
tadi —penderitaan segera timbul. Tidak peduli di mana kita meninggalkan
benda tadi kita tidak bisa santai, jadi kita mewarisi persoalan. Apakah
ketika sedang duduk, berjalan, atau berbaring, kita tenggelam di dalam
kecemasan.
Inilah penderitaan. Dan kapankah ia timbul? Ia timbul segera
setelah kita mengerti bahwa kita telah mendapatkan sesuatu, di sanalah
letak penderitaan. Sebelum kita memiliki benda itu tidak ada penderitaan.
Ia belum muncul karena belum ada benda baginya untuk dilekati.
Atta,
sang diri, juga begitu. Jika kita berpikir dengan pola "diriku", maka
segala sesuatu di sekeliling kita menjadi "milikku". Kebingungan
mengikutinya. Mengapa demikian? Penyebab semua itu adalah adanya sang
diri, kita tidak melepaskan apa Yang Tertampak untuk melihat Yang
Transenden (yang melampauinya). Kalian tahu, sang diri ini hanyalah yang
tertampak. Kalian harus mengelupas yang tertampak ini untuk melihat
intinya, yaitu Yang Transenden. Balikkan Yang Tertampak untuk menemukan
Yang Transenden.
Kalian bisa membandingkannya dengan padi yang belum diirik. Dapatkah
padi yang belum diirik itu dimakan? Tentunya bisa, tetapi kalian harus
mengiriknya dahulu. Pisahkan dari sekamnya dan kalian akan mendapatkan
beras di dalamnya.
Sekarang jika kita tidak mengirik sekamnya, kita tak mendapatkan
berasnya. Bagaikan seekor anjing tidur di atas tumpukan padi yang belum
diirik. Perutnya keroncongan "grok-grok-grok", tetapi yang bisa
dilakukannya hanya berbaring di sana, dengan pikiran "Di manakah dapat
kuperoleh sesuatu untuk dimakan?" Ketika dia lapar, dia meloncat
meninggalkan tumpukan padi dan berlari mencari sisa-sisa makanan.
Walaupun dia tidur tepat di atas timbunan makanan tetapi dia tidak
menyadarinya. Mengapa? Dia tidak bisa melihat beras. Anjing tidak bisa
memakan butiran padi yang belum diirik. Makanan ada di sana tetapi si
anjing tidak bisa memakannya.
Kita mungkin sudah belajar tetapi jika kita tidak praktek sesuai
dengan itu kita tetap tidak memahaminya, terlena seperti si anjing yang
tidur di atas tumpukan padi. Dia tidur pada setumpuk makanan tetapi dia
tidak mengetahuinya. Ketika dia lapar dia meloncat dan pergi mencari
makanan di tempat lain. Memalukan, bukan?
Sekarang ini juga sama: ada butir padi tetapi apa yang
menghalanginya? Sekam yang menyembunyikan butir padi, sehingga si anjing
tidak bisa memakannya. Dan ada Yang Transenden. Apa yang
menyembunyikannya? Yang Tertampak menyembunyikan Yang Transenden,
membuat orang hanya "duduk di atas tumpukan padi, tak bisa memakannya",
tidak bisa berlatih, tidak bisa melihat Yang Transenden. Dengan demikian
mereka hanya melekat pada penampilan dari waktu ke waktu. Jika kalian
melekat pada penampilan/yang tertampak maka penderitaan yang akan
terjadi, kalian akan dikepung oleh proses dumadi, kelahiran, usia tua,
penyakit dan kematian.
Janganlah berpikir bahwa dengan belajar dan tahu banyak, kalian
akan mengerti Buddha Dhamma. Hal itu bagaikan mengatakan kalian telah
melihat segala sesuatu yang bisa dilihat hanya karena kalian memiliki
mata, atau bahwa kalian telah mendengar segala sesuatu yang bisa
didengar hanya karena kalian memiliki telinga. Kalian mungkin melihat
tetapi kalian tidak melihat sepenuhnya. Kalian hanya melihat dengan "mata
luar", tidak dengan "mata dalam"; kalian mendengar dengan "telinga luar",
tidak dengan "telinga dalam".
Jika kalian membalik Yang Tertampak dan membuka Yang Transenden,
kalian akan menggapai kebenaran dan melihat dengan jelas. Kalian akan
merobohkan Yang Tertampak dan merobohkan kemelekatan.
Ini seperti buah yang manis: biarpun buahnya manis tetapi kita
harus mencobanya dulu sebelum kita bisa mengetahui bagaimana rasanya.
Sekarang buah itu, walaupun tidak seorangpun mencobanya, tetaplah selalu
manis. Tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Begitulah Dhamma Sang
Buddha. meskipun merupakan kebenaran, tetapi ia tidaklah benar bagi
mereka yang tidak sungguh-sungguh mengetahuinya. Tidak peduli betapa
unggul dan bagus keadaannya, ia tetap tidak berharga untuk mereka.
Sekarang mengapa orang merebut penderitaan? Siapakah di dunia
ini yang ingin memberi penderitaan pada dirinya? Tidak seorangpun
tentunya. Tidak seorangpun menginginkan penderitaan tetapi orangtetap
membuat sebab-sebab penderitaan, tepat bagaikan mereka berkelana untuk
mencari penderitaan. Di dalam batinnya orang mencari kebahagiaan, mereka
tidak menginginkan penderitaan. Lalu mengapa batin kita menciptakan
begitu banyak penderitaan? Kita tidak menyukai penderitaan tetapi
mengapa kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri? Sangatlah
mudah... itu semua karena kita tidak mengetahui penderitaan. Kita tidak
mengetahui penderitaan, tidak mengetahui sebab penderitaan, tidak
mengetahui akhir penderitaan, dan tidak mengetahui jalan yang membawa
pada akhir penderitaan. Itulah sebabnya orang berkelakuan seperti yang
mereka lakukan. Bagaimana mereka tidak menderita jika mereka tetap
berkelakuan seperti itu?
Orang-orang ini mempunyai
micchaditthi (
Micchaditthi
—Pandangan salah.)
tetapi mereka tidak menyadari bahwa itulah
micchaditthi.
Apapun yang kita ucapkan, percayai, atau kerjakan, yang mengakibatkan
penderitaan itu semuanya merupakan pendangan salah. Jika ia bukan
pandangan salah ia tak akan mengakibatkan penderitaan. Kita tidak mau
melekat pada penderitaan, tidak pula pada kebahagiaan atau pada keadaan
apapun. Kita akan membiarkan segala sesuatu pada keadaan alamiahnya,
seperti aliran arus air. Kita tidak perlu membendungnya, biarlah ia
mengalir terus secara alamiah.
Seperti itulah aliran Dhamma, tetapi aliran pikiran yang bodoh
berusaha untuk melawan Dhamma dalam bentuk pandangan salah. Sekarang ia
melayang ke mana-mana, melihat pandangan salah di sana, pada orang lain.
Tetapi, kita sendiri mempunyai pandangan salah, yaitu penderitaan masih
ada di sana karena pandangan salah —ini orang-orang tidak melihatnya.
Ini berharga untuk diamati. Apabila kita mempunyai pandangan salah kita
akan mengalami penderitaan. Jika tidak mengalaminya sekarang, ia akan
muncul kelak.
Orang akan tersesat di sini. Apakah yang menutupi mereka? Yang
Tertampak menutupi Yang Transenden, menghalangi orang-orang untuk
melihat segala sesuatu dengan jelas. Orang-orang memikirkan, mereka
belajar, mereka berlatih, tetapi mereka berlatih dengan kebodohan,
seperti orang yang telah kehilangan jati dirinya. Ia berjalan ke barat
tetapi berpikir bahwa ia berjalan ke timur, atau berjalan ke utara tapi
berpikir bahwa ia berjalan ke selatan. Sejauh itulah orang telah
tersesat. Praktek semacam ini hanyalah ampas dari suatu praktek yang
benar, kenyataannya ini merupakan malapetaka. Ini merupakan malapetaka
karena mereka berbalik dan pergi ke arah yang berlawanan, mereka
terjatuh dari sasaran praktek Dhamma yang benar/sejati.
Keadaan ini menyebabkan penderitaan dan orang berpikir bahwa
melakukan ini, mengingat itu, memikirkan ini, akan menjadi sebab
berhentinya penderitaan. Sama seperti seorang menginginkan banyak hal.
Ia berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin, dengan berpikir jika ia
memperoleh cukup maka penderitaannya akan berkurang. Beginilah cara
orang-orang berpikir, tetapi pemikiran mereka menyimpang dari jalan yang
benar, seperti orang pergi ke utara, yang lain pergi ke selatan, dan
percaya bahwa mereka pergi dalam jalan yang sama.
Berlatih untuk menyadari Dhamma adalah sesuatu yang paling baik
dari semuanya. Mengapa Sang Buddha mengembangkan semua Kesempurnaan (Sepuluh
paramita (kesempurnaan): kemurahan hati, kemoralan/sila,
pelepasan agung, kebijaksanaan, usaha, kesabaran, kejujuran, ketetapan
hati, kemauan baik, dan keseimbangan.)?
Sehingga Beliau bisa menyadari hal ini dan memungkinkan orang lain untuk
melihat Dhamma, mengerti Dhamma, berlatih Dhamma dan menjadi Dhamma —sehingga
mereka bisa melepaskan dan tidak dibebani.
"Jangan melekat pada sesuatu". Atau dengan cara lain: "Pegang,
tetapi jangan melekat". Ini juga benar. Jika kita melihat sesuatu yang
lain, ambillah... peganglah, tetapi jangan terlalu kuat. Peganglah cukup
lama untuk memikirkannya, untuk mengetahuinya, lalu lepaskanlah. Jika
kalian memegang tanpa membiarkannya berlalu, membawa tanpa meletakkan
beban, maka kalian akan berat. Jika kalian memungut sesuatu dan
membawanya sesaat, maka ketika ia menjadi berat kalian harus
meletakkannya, membuangnya. Janganlah membuat penderitaan untuk dirimu
sendiri.
Ini haruslah kita ketahui sebagai penyebab penderitaan. Jika
kita mengetahui penyebab penderitaan, penderitaan tidak bisa muncul.
Karena baik kebahagiaan ataupun penderitaan bisa muncul jika ada
atta,
sang diri. Pasti ada "aku" dan "milikku", pasti ada penampilan ini. Jika
semua hal ini muncul, batin langsung menuju ke keadaan Yang Melampaui/Transenden,
ia menyingkirkan penampilan. Ia menyingkirkan kesenangan, kebencian, dan
kemelekatan terhadap hal-hal itu. Seperti ketika suatu benda yang kita
hargai hilang... ketika kita menemukannya lagi, kecemasan kita lenyap.
Bahkan sebelum kita melihat benda/obyeknya, kecemasan kita bisa
berkurang. Mulanya kita berpikir ia hilang dan menderita karenanya,
tetapi ketika tiba-tiba kita ingat, "Oh, ya! Aku menaruhnya di sana,
sekarang aku ingat!" Segera setelah kita ingat ini, segera setelah kita
melihat kebenaran, bahkan sebelum kita melihat obyeknya, kita telah
merasa bahagia. Ini disebut "melihat di dalam", melihat dengan mata
batin, bukan melihat dengan mata luar. Jika kita melihat dengan mata
batin, meskipun kita belum melihat obyeknya kita sudah merasa ringan.
Begitu pula sama halnya dengan ini. Ketika kita mengembangkan
praktek Dhamma dan mencapai Dhamma, melihat Dhamma, maka bilamana kita
menemui persoalan kita segera memecahkan persoalan itu tepat di sana dan
pada saat itu. Ia sepenuhnya lenyap, diletakkan dan dilepas.
Sang Buddha menghendaki kita untuk kontak/berhubungan dengan
Dhamma, tetapi orang hanya berhubungan dengan kata-kata, buku, dan kitab
suci. Ini berhubungan dengan sesuatu tentang Dhamma, tetapi tidak
berhubungan dengan Dhamma yang sebenarnya seperti yang diajarkan oleh
Guru Agung kita. Bagaimana orang bisa berkata bahwa mereka berlatih
dengan baik dan benar? Mereka telah menyimpang jauh.
Sang Buddha dikenal sebagai
Lokavidu,
telah memahami dunia dengan jelas. Saat ini kita melihat dunia secara
baik, tetapi tidak dengan jelas. Semakin banyak yang kita tahu, semakin
gelap jadinya dunia ini, karena pengetahuan kita suram, itu bukan
pengetahuan yang jelas. Itu cacad. Ini disebut "mengetahui melalui
kegelapan", kurang cahaya dan sinar.
Orang-orang hanya melekat di sini dan ini bukan persoalan sepele.
Ini persoalan penting. Orang kebanyakan menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan tetapi mereka tidak mengetahui apakah sebab-sebab bagi
kebaikan dan kebahagiaan. Apapun dia, jika kita belum melihat
kerugiannya, kita tidak bisa melepaskannya. Tidak peduli betapa buruknya
dia, kita tetap tidak bisa melepaskannya jika kita belum sungguh-sungguh
melihat kerugiannya. Akan tetapi, bila kita benar-benar melihat kerugian
dari sesuatu dengan tanpa ragu lagi maka kita bisa melepaskannya.
Ketika telinga kalian mendengar suara, maka biarkan mereka
melakukan pekerjaannya. Ketika mata kalian melihat bentuk-bentuk, maka
biarkan mereka melakukan fungsinya itu. Ketika hidung kalian mencium bau,
biarlah ia melakukan pekerjaannya itu. Ketika jasmani kalian merasakan
sentuhan, maka biarkan ia melakukan fungsi alamiahnya. Jika kita
membiarkan indera kita melakukan fungsi alamiah mereka, di mana lagi
persoalan akan muncul? Tak ada persoalan.
Begitu pula dengan semua hal yang termasuk di dalam Yang
Tertampak, biarlah mereka sebagai Yang Tertampak. Dan kenalilah apa Yang
Transenden. Jadilah "Orang Yang Mengetahui", mengetahui tanpa menjadi
melekat, mengetahui dan membiarkan segala sesuatu berjalan pada jalan
alamiah mereka. Mereka hanyalah sebagaimana apa adanya.
Semua dari milik kita, adakah seseorang yang benar-benar
memiliki mereka? Apakah ayah kita memilikinya, atau ibu kita, atau
kerabat kita? Tidak ada seorangpun yang benar-benar mendapatkan sesuatu.
Itulah sebabnya Sang Buddha mengatakan agar membiarkan mereka,
melepaskan mereka. Ketahui mereka secara jelas. Ketahui mereka dengan
memegangnya, tetapi tidak melekat. Gunakan sesuatu dalam cara yang
bermanfaat, tidak dengan cara merugikan dengan memegangnya erat-erat
sampai timbul penderitaan.
Untuk memahami Dhamma kalian harus memahaminya dengan cara ini.
Yaitu memahami dalam suatu cara untuk mengatasi penderitaan. Pengetahuan
semacam ini sangatlah penting. Mengetahui bagaimana caranya membuat
suatu barang, menggunakan peralatan, mengetahui berbagai macam ilmu di
dunia dan sebagainya, semua itu mempunyai caranya sendiri, tetapi mereka
bukanlah pengetahuan yang tertinggi. Dhamma harus dipahami seperti apa
yang telah saya terangkan di sini. Kalian tidak harus mengetahui
semuanya, hanya sebegini cukuplah untuk pelaksana Dhamma —mengetahui
lalu melepaskan.
Tahukah kalian, tidaklah benar bahwa kalian harus mati dulu
sebelum kalian bisa mengatasi penderitaan. Kalian dapat mengatasi
penderitaan dalam kehidupan ini juga karena kalian tahu bagaimana
caranya memecahkan persoalan. Kalian mengetahui Yang Tertampak, kalian
tahu Yang Transenden. Kerjakanlah pada kehidupan ini, ketika kalian
berada di sini untuk berlatih. Kalian tak akan menemukannya di tempat
lain. Jangan melekat pada segala sesuatu. Boleh memegangnya, tetapi
janganlah melekat.
Kalian mungkin heran, "Mengapa Achan selalu mengatakan hal ini?"
Bagaimana mungkin saya mengajarkan yang lain, bagaimana mungkin saya
mengatakan yang lain, bila kebenaran memang seperti apa yang telah saya
katakan ini? Meskipun ini adalah kebenaran, janganlah melekat padanya!
Jika melekat padanya secara membuta ia menjadi suatu kebohongan. Seperti
seekor anjing... berusaha untuk menangkap kakinya. Jika kalian tidak
membiarkannya, si anjing akan berputar dan menggigit kalian. Coba
sajalah. Semua hewan bertingkah seperti itu. Jika kalian tidak
membiarkannya maka dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggigit.
Begitu pula dengan Yang tertampak. Kita hidup sesuai dengan kebiasaan,
mereka ada untuk kemudahan kita dalam kehidupan ini, tetapi mereka
bukanlah sesuatu untuk dilekati sedemikian keras sehingga mereka
menyebabkan penderitaan. Biarkan segala sesuatunya berlalu.
Jika kita merasa kita pasti benar, sehingga kita menolak untuk
membuka diri pada sesuatu atau orang lain, di sanalah kita salah. Ia
menjadi pandangan salah. Ketika penderitaan muncul, dari manakah ia
muncul? Penyebabnya adalah pandangan salah, buahnya adalah penderitaan.
Jika ia merupakan pandangan benar, ia tak akan menyebabkan penderitaan.
Jadi saya katakan, "Beri ruang, jangan melekat pada segala
sesuatu". "Benar" adalah merupakan suatu anggapan orang lain, biarkan ia
berlalu. "Salah" juga merupakan suatu keadaan lain yang nyata, dan
biarlah ia di sana. Jika kalian merasa kalian benar dan yang lain
menentang persoalan itu, janganlah berdebat, biarkanlah ia berlalu.
Segera setelah kalian tahu, lepaskan. Inilah cara yang langsung.
Pada umumnya orang tidak seperti ini. Orang jarang mengalah satu
sama lain. Itulah sebabnya sebagian orang, bahkan pelaksana Dhamma, yang
tetap tidak mengenali diri mereka sendiri, bisa mengatakan sesuatu yang
sangat bodoh dan berpikir bahwa mereka bijaksana. Mereka bisa mengatakan
sesuatu yang begitu bodoh yang menyebabkan orang lain tidak tahan untuk
mendengarnya, tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka lebih
pandai daripada yang lain. Orang lain bahkan tidak bisa mendengarkan itu
tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka bijak, bahwa mereka
benar. Mereka hanya mempertontonkan kebodohan mereka sendiri.
Itulah sebabnya orang bijaksana berkata, "Ucapan apapun yang
mengabaikan
anicca,
bukanlah ucapan seorang bijaksana, itu merupakan ucapan si dungu. Itu
merupakan ucapan yang menipu. Itu merupakan ucapan seorang yang tidak
mengetahui bahwa penderitaan akan muncul tepat di sana". Misalnya,
seandainya kalian telah memutuskan untuk pergi ke Bangkok besok dan
seseorang bertanya, "Apakah kalian akan ke Bangkok besok?"
"Saya berharap untuk pergi ke Bangkok. Jika tidak ada rintangan
saya mungkin akan pergi". Ini disebut berkata dengan Dhamma di dalam
batin, berkata dengan
anicca
di dalam batin, mempertimbangkan kebenaran, kesementaraan sifat dunia.
Kalian tidak hanya berkata, "Ya, saya pasti pergi besok". Jika ternyata
kalian tidak pergi apa yang akan kalian lakukan, memberitahu semua orang
yang telah kalian beritahu bahwa kalian akan pergi? Kalian hanya
omong-kosong.
Masih ada yang lebih daripada itu, praktek Dhamma menjadi
semakin halus. Tetapi jika kalian tidak melihatnya kalian mungkin akan
berpikir bahwa kalian berbicara benar pada saat kalian berbicara salah
dan menyimpang dari sifat alamiah dari segala sesuatunya di dalam setiap
perkataan kalian. Sekalipun demikian kalian berpikir bahwa kalian
berbicara kebenaran. Dengan sederhana: apapun yang kita katakan atau
lakukan yang menyebabkan timbulnya penderitaan, haruslah dipahami
sebagai
micchaditthi.
Ia merupakan khayalan dan kebodohan.
Kebanyakan para pelaksana tidak merenung dalam cara ini. Apapun
yang mereka sukai, mereka pikir itu benar dan mereka terus percaya pada
diri sendiri. Misalnya, mereka mungkin menerima hadiah atau gelar,
apakah dalam bentuk barang, pangkat, atau kata-kata pujian, mereka pikir
itu baik. Mereka menjadikannya sebagai semacam keadaan yang tetap. Jadi
mereka membengkak dengan kesombongan dan kecongkakan. Mereka tidak
mempertimbangkan, "Siapakah aku? Di manakah apa yang disebut dengan "kebaikan"
itu? Dari manakah ia datang? Apakah pihak lain juga memilikinya?"
Sang Buddha mengajarkan agar kita berprilaku yang wajar. Jika
kita tidak menggali di dalam, menganalisanya, dan mengamati pokok ini,
berarti ia masih terbenam di dalam diri kita. Berarti berbagai keadaan
ini masih terkubur di dalam batin kita —kita masih terbenam dalam
kekayaan, pangkat dan pujian. Karena mereka, kita menjadi seseorang yang
lain. Kita pikir kita lebih baik daripada sebelumnya, bahwa kita ini
sesuatu yang istimewa, dan berbagai kebingungan lalu muncul.
Sesungguhnya, dalam kebenaran tidak ada apapun dalam diri
manusia. Jadi apapun kita ini, ia hanyalah dalam penampilan luarnya.
Jika kita singkirkan Yang Tertampak dan melihat Yang Transenden, kita
melihat tak ada apapun di sana. Hanya ada sifat-sifat universal —kelahiran
di awalnya, perubahan di tengahnya, dan penghentian di akhirnya. Inilah
semua yang ada di sana. Jika kita melihat bahwa segala sesuatu adalah
seperti ini maka tidak timbul persoalan. Jika kita memahami ini, kita
akan mempunyai kepuasan dan kedamaian.
Jadi saya mengatakan untuk praktek dan juga melihat pada hasil
praktek kalian. Terutama di mana kalian menolak untuk mengikuti, di mana
ada pergesekan. Jika tak ada gesekan, tidak ada persoalan, semuanya
mengalir. Jika ada gesekan, mereka tidak mengalir, kalian membangun
suatu pribadi dan semua menjadi kokoh, seperti kumpulan kemelekatan.
Tidak ada proses memberi dan menerima.
Kebanyakan para bhikkhu dan pelaksana lainnya cenderung seperti
ini. Apa yang sudah mereka pikirkan di masa lalu, itu mereka lanjutkan.
Mereka menolak untuk mengubah, mereka tidak merenungkan. Mereka pikir
mereka benar sehingga mereka tidak mungkin salah; tetapi sesungguhnya "kesalahan"
terpendam di dalam "kebenaran", meskipun kebanyakan orang tidak
mengetahuinya. Mengapa demikian? "Ini benar" ...tetapi jika seseorang
berkata "itu tidak benar" kalian tidak akan menyerah, kalian akan
berdebat. Apakah ini?
Ditthi mana... Ditthi
berarti pandangan,
mana
berarti kemelekatan pada pandangan itu. Jika kita melekat, bahkan pada
apa yang benar, menolak untuk mengakui siapapun juga, maka ia menjadi
salah. Melekat kuat pada kebenaran hanyalah merupakan kemunculan dari
sang diri, tidak ada melepaskan di sana.
Ini merupakan hal yang memberikan banyak persoalan bagi manusia,
kecuali untuk para pelaksana Dhamma yang mengetahui bahwa persoalan/pokok
ini sangatlah penting. Mereka akan memperhatikannya. Jika hal itu muncul
ketika mereka berbicara, kemelekatan berpacu datang dalam pandangan.
Mungkin ia bertahan untuk beberapa saat, mungkin satu atau dua hari,
tiga atau empat bulan, satu atau dua tahun, ini untuk mereka yag lamban.
Bagi yang cepat, terjadi tanggapan langsung... mereka hanya melepaskan,
mereka memaksa batin untuk melepaskan tepat di sana dan pada saat itu.
Kalian harus melihat kedua fungsi ini beroperasi. Di sini ada
kemelekatan. Sekarang siapakah yang menahan kemelekatan itu? Kapan saja
kalian merasakan suatu kesan mental, kalian harus mengamati kedua fungsi
ini beroperasi. Ada kemelekatan, dan ada orang yang menghalangi
kemelekatan tersebut. Sekarang perhatikan kedua hal ini. Mungkin kalian
akan melekat untuk waktu lama sebelum kalian melepaskannya. Renungkan dan tetaplah berlatih seperti ini, kemelekatan menjadi lebih ringan, menjadi semakin kurang dan makin berkurang. Pandangan benar bertambah karena pandangan salah menyusut. Kemelekatan berkurang, ketidakmelekatan muncul. Inilah jalannya, ini untuk setiap orang. Itulah sebabnya saya katakan agar mempertimbangkan pokok ini. Belajarlah untuk memecahkan persoalan pada saat ini juga.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Source : http://www.kalyanadhammo.net/ |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||